Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan kembali mengomentari terkait kebijakan relaksasi kredit berupa penundaan cicilan hingga keringanan bunga 1 tahun untuk pengemudi ojek, sopir, nelayan dan UMKM seperti yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Maret lalu. Hal ini berkaitan dengan pandemi Covid-19 yang berimbas pada sektor ekonomi, khususnya industri keuangan.
Berdasarkan penelisikan pihaknya, kebijakan ini ‘disutradarai’ oleh Otoritas Jasa Keuangan atau OJK sebagai pembuat skenario program relaksasi atau restrukturisasi kredit yang wajib dilakukan oleh perbankan atau lembaga keuangan non perbankan kepada para debiturnya.
“Inisiatif baik OJK, berdasarkan fakta di lapangan tak seindah yang dibisikan OJK kepada Presiden. Banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga perbankan dan perusahaan pembiayaan dalam mengimplementasikan perintah POJK No. 11/2020,” kata Heri Gunawan kepada Radarsukabumi.com, Jumat (17/4/2020).
Setidaknya ada tiga kendala yang ditemukan oleh Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan. Yang pertama adalah para debitur hanya mengetahui pidato Presiden Jokowi tentang pemberian penundaan cicilan selama 1 tahun namun tidak tahu isi POJK. Akibatnya, pengajuan restrukturisasi kredit oleh para debitur kepada industri keuangan tak semulus yang dibayangkan.
“Di sini terlihat bahwa OJK kurang menyosialisasikan aturan yang dibuatnya,” ujar Wakil Ketua Fraksi Gerindra pada DPR RI.
Kendala kedua, kata Hergun lagi, sebagaimana yang disampaikan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) bahwa untuk menjalankan restrukturisasi kredit yang diajukan debitur, perusahaan pembiayaan juga membutuhkan restrukturisasi dari pihak perbankan maupun dari para pemegang surat berharga sebagai sumber dana utama mereka.
“Kasarnya, kalau perusahaan pembiayaan memberikan relaksasi 10 ke nasabah, harusnya perusahaan pembiayaan juga diberi relaksasi 10 juga oleh perbankan sebagai sumber dana-nya (mirroring). Ini yang luput diatur oleh POJK. Jadinya jalan sendiri-sendiri,” jelas Ketua DPP Partai Gerindra ini.
Untuk kendala ketiga yang merupakan bagian terpenting adalah OJK hanya memerintahkan kepada lembaga keuangan untuk melakulan restrukturisasi atas pinjaman para debiturnya. Namun di sisi lain OJK tidak memberi keringanan pungutan yang selama ini ditarik oleh OJK dari lembaga keuangan.
Pungutan OJK terhadap lembaga keuangan cukup besar nilainya yaitu 0,045 persen dari total aset yang dimiliki oleh lembaga keuangan. Pada 2019 total pungutan yang berhasil dikumpulkan OJK mencapai Rp5,99 triliun. Bahkan pada 2020 target pungutan mencapai Rp6,06 triliun.
“Kalau mau adil, semestinya OJK tidak hanya bisa mewajibkan industri lembaga keuangan untuk melakukan restrukturisasi kepada para debitur, tetapi OJK juga harus berani melakukan moratorium pungutannya selama pandemi Covid-19 ini terjadi. Semua di relaksasi, bagaimana dengan iuran industri ke OJK?” tutur legislator Senayan asal Sukabumi.
Hergun juga mengungkapkan, sebagai pembuat skenario kebijakan countercyclical dalam menghadapi dampak pandemi covid-19, OJK seharusnya mengetahui bahwa tidak hanya tukang ojek, sopir taksi, nelayan dan UMKM yang terdampak covid-19, perusahaan pembiayaan juga merasakan pukulan berat.
“Maka, OJK sudah seharusnya bertanggungjawab dengan menyiapkan skenario dari hulu hingga hilir, termasuk menyiapkan solusi atas permasalahan yang dihadapi perusahaan pembiayaan. OJK harus merelaksasi pungutan bagi industri keuangan yang melaksanakan restrukturisasi sebagaimana yang diperintahkan oleh OJK,” sebutnya.
Data terakhir menunjukkan, hampir semua perusahaan pembiayaan telah melaksanakan program restrukturisasi kepada para debiturnya. Misalnya, BRI sudah merestrukturisasi pinjaman senilai Rp14,9 triliun yang diajukan oleh 134.000 pelaku UMKM. Bank BTN sudah merestrukturisasi pinjaman senilai Rp. 2,7 triliun milik 17.000 debiturnya.
Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) melaporkan bahwa hingga 13 April 2020, anggota asosiasi sudah menyetujui restrukturisasi terhadap 65.363 debitur (24,9%) dari 262.138 debitur yang mengajukan restrukturisasi.
APPI juga menyatakam besarnya pengajuan restrukturisasi oleh para debitur mengakibatkan potensi kerugian yang ditanggung perusahaan pembiayaan mencapai Rp 24 triliun yang terdiri dari beban keuangan karena larangan mengeksekusi kendaraan jaminan mencapai Rp19 triliun dan beban bunga karena relaksasi penundaan cicilan hingga 3 bulan mencapai Rp5,2 triliun.
“Di sinilah dituntut pertanggungjawaban OJK. Setidaknya OJK bisa mengurangi beban yang ditanggung oleh lembaga keuangan dengan membebaskanya dari kewajiban membayar berbagai pungutan untuk menghidupi OJK,” tuntasnya. (izo/rs)
0 komentar:
Posting Komentar