Holding Ultra Mikro Hanya Sengsarakan Rakyat Kecil




PEGADAIAN merupakan harapan dan solusi bagi rakyat kecil dalam mencari sumber pendanaan secara mudah dan cepat. Tiap tahun bisa dilihat, masyarakat kelas bawah menyerbu kantor-kantor Pegadaian, terutama saat musim masuk sekolah dan lebaran.


Tidak hanya itu, Pegadaian juga menjadi solusi di saat momen penting dan genting yang membutuhkan pendanaan dalam waktu yang cepat, seperti saat akan menikahkan anak, membawa anak berobat, dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Para pelaku usaha ultra-mikro, seperti pedagang sayuran, pedagang bakso, petani, nelayan, warung kelontong dan lain-lain, sudah terbiasa memanfaatkan layanan Pegadaian untuk memenuhi tambahan modal.

Demikian juga ibu rumah tangga pun biasa mengakses Pegadaian untuk membeli beras maupun mencukupi kebutuhan harian.

Itulah keunggulan layanan Pegadaian dibanding Perbankan. Ada jalinan keintiman antara Pegadaian dengan nasabahnya. Pegadaian tidak sekedar dianggap sebagai institusi mati, lebih dari itu Pegadaian merupakan secercah harapan di saat-saat kesulitan menghimpit kehidupan.

Namun, saat ini Pemerintah bermaksud membuat holding ultra mikro yang akan melibatkan Bank BRI, Pegadaian dan PNM. Sejatinya bisnis ketiga institusi tersebut sangat berbeda. Bank BRI bisnisnya adalah menerima simpanan dan menyalurkan simpanan. Sementara Pegadaian dan PNM tidak memiliki bisnis menerima simpanan masyarakat.

Jika wacana holding ultra mikro tersebut terwujud, dikhawatirkan masyarakat kecil yang terbiasa mengakses Pegadaian akan mengalami kesulitan dalam mencari sumber-sumber pendanaan. Holding ultra mikro hanya akan menyengsarakan rakyat kecil.

Kultur yang berbeda dari ketiga institusi calon peserta holding tetap ingin diterabas Pemerintah. Sejumlah argumen kembangkan. Pertama, katanya, integrasi BUMN pada holding ini akan menciptakan efisiensi biaya dana (cost of fund) dari lembaga yang terlibat.

Kedua, katanya, sinergi jaringan agar ekspansi usaha bisa dilakukan dengan biaya yang lebih murah sehingga cost of serve dan acquire customer bisa menjadi lebih murah.

Ketiga, katanya, kehadiran holding tersebut diproyeksi menghasilkan sinergi digitalisasi dan platform pemberdayaan pelaku usaha kecil di Indonesia.

Oleh karena itu, berkenankan kami mengajukan pertanyaan. Pertama, soal integrasi BUMN pada holding ini akan menciptakan efisiensi biaya dana (cost of fund) dari lembaga yang terlibat. Benarkah?

Perlu diketahui, biaya dana (cost of fund) berpengaruh terhadap suku bunga pinjaman. Faktanya suku bunga kredit BRI masih tinggi. Menurut data di Website BRI, suku bunga kredit korporasi sebesar 8%, kredit ritel 8,25%, kredit mikro 14%, kredit konsumsi KPR 7,25%, kredit konsumsi Non KPR 8,75%.

Padahal suku bunga acuan Bank Indonesia (BI7DRR) sudah diturunkan hingga 3,5%. BRI sebagai bank yang mengusung nama “rakyat” masih enggan menyesuaikan dengan suku bunga BI7DRR.

Satu-satunya bunga murah hanya bunga pinjaman KUR yang hanya 6%. Namun KUR merupakan program pemerintah, bukan program BRI.

Selain menikmati limpahan kebijakan moneter Bank Indonesia dan sejumlah penugasan pemerintah, BRI juga menikmati lonjakan dana murah dari masyarakat. DPK BRI pada 2020 melonjak hingga 12,1%.

Namun, pengucuran kredit BRI hanya tumbuh 3,4%. Bisa dikatakan BRI “PELIT” mengucurkan kredit untuk menopang pertumbuhan ekonomi di saat Pandemi.

Dengan kondisi demikian apakah masih percaya BRI akan mengucurkan dana murahnya untuk Pegadaian dan PNM? Bisnis adalah bisnis. Terhadap nasabahnya saja BRI tidak menaruh kepercayaan apalagi dengan nasabah dari Pegadaian dan PNM yang mayoritas merupakan nasabah level ultra mikro.

Selain itu, saat ini Pegadaian dan PNM telah dipercaya Pemerintah menyalurkan pembiayaan untuk UMi. Dikhawatirkan program ini akan terganggu dengan adanya holding ini.

Seperti diketahui, BRI melayani nasabah dari berbagai kalangan. Pada 2020 kredit BRI mengucur kepada segmen mikro mencapai 37,4%, konsumer 15,3%, Ritel dan menengah 29,4% dan Korporasi 17,9%.

Semua segmen yang dilayani BRI berbeda dengan segmen yang dilayani Pegadaian dan PNM dalam program pembiayaan UMi. Perlu diingat layanan UMi memiliki ciri khas yaitu unbankable.

Tidak ada jaminan layanan ini tidak akan diintervensi oleh aturan formalistik perbankan ala BRI. Bila ini terjadi maka pupus sudah harapan rakyat marjinal untuk mendapatkan akses pembiayaan yang cepat dan murah.

Kedua, soal sinergi jaringan akan menjadikan biaya ekspansi lebih murah, benarkah??

BRI digadang-gadang menjadi pemimpin holding karena keunggulannya memiliki kantor yang tersebar hingga ke pelosok.

Namun harus diingat, bisnis inti Pegadaian adalah berkaitan dengan emas. Di setiap kantor Pegadaian memiliki ahli menaksir emas dan memiliki penyimpanan emas. Apakah kantor BRI memilikinya? Jika dipaksakan memilikinya berapa biaya yang dibutuhkan di setiap kantor BRI?

Tampaknya, Direksi Pegadaian optimis dengan peluang ekspansi dari holding ini. Dalam pemaparan Pegadaian dijelaskan adanya holding akan menurunkan biaya operasional 1 outlet per tahun dari Rp460 juta menjadi Rp193 jt, sales person juga meningkat dari 1.564 orang menjadi 59.930 orang, dan jumlah agen juga melesat tinggi dari 9.764 menjadi 466.864 agen.

Agar tidak menjadi data yang menyesatkan perlu juga dijelaskan apakah penambahan agen sebanyak 466.864 akan bisa melayani permintaan gadai dari masyarakat?

Ketiga, soal akan menghasilkan sinergi digitalisasi dan platform pemberdayaan pelaku usaha kecil di Indonesia.

Sekarang era digitalisasi dan aplikasi penjualan online, namun seberapa luas platform milik BRI dikenal masyarakat?

Tanpa BRI, para pelaku Ultra Mikro sudah banyak yang tergabung dalam aplikasi online milik Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Gofood, GrabFood, dll.

Artinya sinergi di bidang digitalisasi dan platform pemberdayaan ultra mikro sudah tidak ada artinya lagi, karena para pelaku ultra mikro sudah selangkah lebih maju.

Selain permasalahan di atas, problem yang tidak kalah penting adalah tentang adanya sikap penolakan dari Serikat Pekerja (SP) PT Pegadaian terhadap rencana holding ini. Penolakan tersebut tidak bisa dianggap remeh.

Perlu dipertanyankan sejauhmana direksi Pegadaian dan Pemerintah melakukan komunikasi dengan SP Pegadaian?

Atas berbagai pertimbangan di atas, kami menyampaikan pendapat.

Pertama, tidak ada jaminan BRI tidak akan ikut campur dalam pengelolaan Pegadaian dan PNM setelah dilakukannya holding nanti.

Pelayanan Pegadaian dan PNM yang unik dan intim bisa lenyap tergantikan pelayanan model perbankan yang serba formalistik. Nasabah Pegadaian dan PNM mayoritas masih unbankable akan kesulitan menyesuaikan dengan pelayanan model perbankan tersebut.

Ada kekhawatiran kekhasan pelayanan Pegadaian dan PNM bisa menghilang karena adanya holdingisasi ini. Apalagi bila diamati, BRI tampaknya akan lebih dominan.

Jika dipaksakan pelayanan model perbankan, maka secara berlahan para nasabah yang masih unbankable tersebut bisa berpindah ke Pegadaian Swasta.

Bila masyarakat berbondong-bondong pindah ke Pegadaian Swasta atau mencari pendanaan melalui Fintech illegal, maka hal tersebut bisa merugikan masyarakat itu sendiri karena bisa terjerat bunga yang lebih tinggi.

Kedua, tampaknya Pemerintah belum memahami karakter nasabah Pegadaian dan PNM. Bunga lebih murah dari BRI belum menjamin ketertarikan nasabah. Buktinya, saat ini Pegadaian Swasta dan Fintech banyak diserbu nasabah meskipun memasang bunga yang tinggi.

Holdingisasi mestinya dilakukan melalui kajian yang mendalam. Iming-iming dana murah dari BRI belum cukup dijadikan dasar untuk melakukan holdingisasi.

Kalau hanya ingin mengguyur dana murah, maka bisa dilakukan tanpa harus holding. Ada skema-skema lainnya yang bisa mengakomodasi keinginan Pemerintah untuk mengguyur dana murah kepada Pegadaian dan PNM.

Contoh konkrit misalnya, dana pembiayaan untuk pelaku usaha mikro yang pada APBN 2021 dianggarkan Rp2 triliun tidak perlu lagi dikucurkan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Pemerintah bisa langsung menugaskan kepada Pegadaian dan PNM untuk menyalurkan dana tersebut kepada para pelaku usaha ultra-mikro sehingga bunga yang harus dibayar masyarakat bisa lebih murah.

Demikian juga BRI bila merasa memiliki dana berlebih akibat melonjaknya Dana Pihak Ketiga (DPK) maka bisa menyalurkannya kepada Pegadaian dan PNM melalui skema pembiayaan dengan bunga yang kompetitif.

Ketiga, permasalahannya harus dipetakan terlebih dahulu secara komprehensif. Pada 2018 terdapat 57 juta usaha UMi di Indonesia. Dari 57 juta usaha UMi di Indonesia, 30 juta pelaku usaha UMi belum mendapat akses pendanaan formal. Artinya, kapasitasnya masih unbankable.

Solusinya, 30 juta pelaku usaha UMi tersebut dibesarkan dahulu melalui pembiayaan ultra mikro agar bisa naik kelas menjadi UMKM yang bankable.

Tugas Pemerintah adalah melakukan penguatan kelembagaan terhadap BUMN yang selama ini fokus pada pembiayaan ultra mikro yaitu Pegadaian dan PNM.

BRI bisa mengambil peran mendukung pembiayaan terhadap Pegadaian dan PNM tanpa harus mencaplok keduanya. Toh, bila 30 juta pelaku usaha ultra mikro tersebut naik kelas menjadi UMKM maka yang diuntungkan juga BRI karena paling siap dengan jaringan kantor yang paling banyak hingga ke pelosok-pelosok.

Jadi, polanya itu estafet. Segmen Ultra Mikro digarap oleh Pegadaian dan PNM. Segmen UMKM hingga korporasi digarap oleh BRI. Tidak dari hulu ke hilir digarap BRI semua.

Untuk itu, Fraksi Gerindra mendesak dan menyatakan sikap :

1. Sebagai bentuk dukungan terhadap pelaku ultra-mikro, seharusnya pemerintah memperkuat kelembagaan dan permodalan Pegadaian dan PNM, bukan membuat holding dengan perbankan.

2. Pemerintah hendaknya melakukan kajian yang lebih mendalam dan membuka dialog dengan para stakeholders terutama para pelaku usaha ultra-mikro dan serikat pekerja.

3. Pemerintah sebaiknya menghentikan wacana holding ultra mikro karena dikhawatirkan akan menutup akses pembiayaan terhadap masyarakat terbawah yang masih berstatus unbankable.


0 komentar:

Posting Komentar