Pemerintah Terlalu Cepat Keluarkan Kebijakan Bebas Visa 45 Negara

Jakarta (dpr.go.id) - Pelemahan nilai tukar rupiah yang menjadi salah satu alasan naiknya harga bahan pokok, merupakan gambaran masih lemahnya struktur ekonomi dalam negeri yang belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada impor bahan baku dan barang modal. Sementara menguatnya nilai dolar AS juga belum sepenuhnya menjadi keuntungan bagi kegiatan impor. Hal ini dikemukakan Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan Senin (22/6) di jakarta.

Kondisi ini tentu lebih menguntungkan bagi negara yang kuat di sektor industri manufaktur, yang mampu meningkatkan ekspornya. Sementara ekspor kita bergantung pada komoditas primer (bahan mentah) ketimbang produk manufaktur. Padahal harga banyak komoditas yang bersumber pada sumber daya alam sekarang sedang jatuh.

Menurut politisiGerindra ini, ekspor Indonesia pada Februari 2015 juga anjlok 16 persen. Di tengah-tangah masalah ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.69 Tahun 2015, mengenai pembebasan warga negara asing dari kepemilikan visa kunjungan untuk masuk kewilayah Indonesia.

Dengan Perpres itu sebanyak 30 negara akhirnya benar-benar mendapatkan bebas visa kenjungan. Lima belas negara lebih dahulu memperoleh fasilitas tersebut. Artinya, saat ini total ada 45 negara yang telah mendapatkan bebas visa kunjungan dari Indonesia. Izin tinggal kunjungan kepada orang asing yang memperoleh bebas visa kunjungan tersebut diberi waktu paling lama 30 hari. Izin tinggal itu tidak dapat diperpanjang ataupun dialihstatuskan menjadi izin tinggal.

Dia mengemukakan, kelompok negara penerima bebas visa kunjungan sesuai Perpres tersebut adalah 30 negara yang dinyatakan bebas visa kunjungan untuk tempat pemeriksaan imigrasi tertentu. Yaitu di Bandara Soekarno-Hatta (jakarta). Ngurah Rai (Bali), Kuala Namu (Medan), Juanda (Surabaya), dan Hang Nadim (Batam). Kemudian, Pelabuhan Laut Sri Bintan, pelabuhan laut Sekupang, Pelabuhan Laut Batam center, dan Pelabuhan laut Tanjung Uban (Riau).

Negara-negara di kelompok itu, antara lain, RRT, Rusia, Korsel, jepang, Amerika Serikat, Kanada, Selandia baru, Meksiko, Inggri, jerman, Perancis, Belanda, dan Italia. Lalu ada Spanyol, Swiss, Belgia, Swedia, Australia, denmark, Norwegia, Finlandia, Polandia, Hungaria, Ceko, Qatar, UEA, Kuwait, Bahrain, Oman, dan Afrika Selatan, 15 kelompok lainnya adalah negara tertentu yang dinyatakan bebas visa kunjungan ke Indonesia. Mereka adalah Thailand, Malaysia, singapura, Brunai Darusalam, Filiphina, Cile, Maroko, Peru, Vietnam, Ekuador, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Sisanya adalah pemerintahan administratif khusus dari negara tertentu yang bebas visa kunjungan ke Indonesia, yaitu Hongkong dan Makau.

Dikatakannya, kebijakan ini tentu akan menghapus income dari visa wisatawan yang datang ke Indonesia. Potensi kehilangan pemasukan dari biaya visa tentu juga sangat besar. Setelah biaya visa dihapus, penerimaan negara dari sektor pariwisata menjadi tidak langsung, yakni melalui belanja turis.

Di tambah lagi, masalah rata-rata lama tinggal para turis asing ini cenderung menurun. Jika pada tahun 2000 masih 12,26 hari, sejak 2002 rata-rata lama tinggal turis asing berkurang menjadi kurang dari 10 hari. Hingga tahun 2013 rata-rata lama tinggal 7,7 hari. “ Dari data ini bisa di simpulkan bahwa pembebasan visa selama 30 hari belum tentu mendatangkan keuntungan jika rata-rata turis hanya tinggal 7 hari, ada sekitar 20 hari yang terbuang sia-sia,” ungkapnya.

Sebaiknya kebijakan ini tersosialisasi lebih masif kepada seluruhpemangku kepentingan terkait, termasuk masyarakat. Jangan sampai masyarakat kaget dan tidak siap dalam menghadapi pembludakan turis asing. Pemerintah juga harus terlebih dahulu memantapkan koordinasi antar kementerian dan institusi terkait untuk mempertimbangkan dampak dari sisi nasional. “ Ini menjadi penting, sebab Indonesia bisa menjadi sasaran empuk isu-isu terorisme,” pungkas Heri. (spy,mp), foto : iwan armanias/parle/hr.

0 komentar:

Posting Komentar