Jakarta (dpr.go.id) - Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan menegaskan, pengertian “penguasaan negara” dalam usaha ketenagalistrikan tidak sebatas konsep “memiliki semata, juga meliputi konsepsi merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), dan melakukan pengawasan (toezichtoundendaad)”’
Dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (24/6) Heri mengemukakan, lease back puluhan pembangkit listrik milik PLN kepada investor asal jadi. Untuk alasan apapun, skema lease back pembangkit listrik oleh China harus ditolak kaarena bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan UU No.30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Tenaga listrik, lanjutnya, berperan sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, sehingga usaha penyediaan tenaga listrik harus dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu.
Ia menegaskan, skema lease back pembangkit listrik menjadi jalan masuk liberalisasi ketenagalistrikan yang harus dilawan. Dengan menyewakan pembangkit kepada pihak asing (kontraktor China) berarti pemerintah telah menyerahkan penguasaannya atas cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. “Itu jelas berbahaya dan melawan konstitusi,” tegas Heri.
Diatas kertas, skema lease back adalah cara halus pemerintah menuntut tanggungjawab kontraktor China yang gagal membangun FTP 10.000 MW tahap 1. Namun, di sisi lain, langkah itu telah menggiring PLN hanya sebagai service companny (perusahaan penyedia jasa ketenagalistrikan).
Terlihat disini peran PLN “dibonsai” hanya sekedar mengurusi distribusi dan transmisi listrik, sedangkan pengelolaan pembangkit listrik diserahkan pada kalangan swasta. Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, “Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum”.
“Alasan apapun skema lease back pembangkit listrik oleh China harus ditolak, karena penyediaan tenaga listrik harus dikuasai oleh negara dan penyediaaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar listrik tersedia dalam jumlah yang cukup,” tegasnya.
Politisi Fraksi Partai Gerindra juga mengatakan bahwa PPD/FTPI 1 10.000 MW awalnya idenya JK pada saat menjadi Wapres di era SBY, proyek itu dibiayai dengan uang rakyat dan menggunakan produk China. Namun karena kapasitasnya tidak sesuai yang diharapkan, pemerintah akan menyewakan mesin-mesin pembangkit itu ke China lagi untuk diperbaiki dan dioperasikan oleh China.
Meski masin-mesin pembangkit itu sudah milik PLN, tidak berarti bahwa selama ini operator dalam negeri (grupnya PLN) tidak mampu ketidakoptimalan itu terjadi karena mesin-mesin buatan China itu tidak well-performed. China memberi barang dengan kualitas yang buruk. Selain itu, transfer ilmu dan teknologi tidak dijalankan sesuai dengan kontrak proyek yang ada.
Jika pada akhirnya pembangkit itu dijalankan oleh China maka PLN sudah pastikan membeli listriknya. Jadi uang hasil sewa yang diperoleh pemerintah akan kembali lagi ke China, ditambah lagi uang dari rakyat untuk membeli listriknya.
“Bangsa ini pasti akan rugi berlipat-lipat sedangkan China mendapat uang dari rakyat dari hasil jual barang, uang dari kerja proyek, uang dari penjualan listrik, termasuk biaya bahan bakar (batu bara) dari kita. Selanjutnya rakyat membayar seluruh biaya tersebut menggunakan dollar ,” ujarnya.
Ditegaskan kembali, lease back harus dicurigai sebagai cara liciknya menjual aset negara, selanjutnya sewa, tapi pada dasarnya penjualan pembangkit tenaga listrik terselubung. (spy,mp)/foto:iwan armanias/parle/iw.
0 komentar:
Posting Komentar