Oleh : Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Gerindra
Banyak pihak mendesak agar DPR membentuk Pansus Jiwasraya. Pansus diyakini akan mampu mengurai dan mencarikan solusi atas kemelut Jiwasraya. Di antara argumen membentuk Pansus karena opini tentang Jiwasraya berkembang semakin liar. Masing-masing pihak berbicara menurut perspektif dan kepentingannya.
Perang opini pun terjadi, diskursus yang tidak produktif harus segera dihentikan. Jiwasraya membutuhkan solusi secepatnya. Jiwasraya mulai gagal bayar klaim polis nasabah JS Saving Plan sejak Oktober 2018 sebesar Rp. 802 milyar. Jumlah gagal bayar terus membengkak, periode Oktober-November 2019 jumlah gagal bayar mencapai Rp. 12,4 triliun. Selain itu masih ada 5,5 juta pemegang polis yang menunggu kejelasan.
Upaya mengusut skandal Jiwasraya bisa ditempuh melalui 2 jalur, yakni hukum dan politik. Penyelesaian melalui jalur hukum sudah memasuki babak baru dengan dicekalnya 10 orang oleh Kejaksaan Agung.
Pencekalan dilakukan setelah Kejaksaan Agung mengumumkan adanya kerugian negara yang mencapai Rp. 13,7 triliun. Kesepuluh orang tersebut berpeluang dinaikkan statusnya menjadi tersangka. Kejagung menyebutkan Jiwasraya memilih berinvestasi dengan risiko tinggi demi mengejar keuntungan besar. High risk high return.
Jiwasraya menempatkan 22,4% dari aset keuangannya atau senilai Rp 5,7 triliun pada saham dengan kinerja buruk. Selain itu, untuk investasi reksa dana sebanyak 59,1% dari aset finansial atau senilai Rp 14,9 triliun dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk.
Sementara itu, penyelesaian melalui jalur politik bisa dilakukan dengan membentuk Pansus Jiwasraya. DPR melalui fungsi pengawasannya dapat memanggil siapa pun untuk dikorek keterangannya, termasuk kantor akuntan publik, perusahaan reasuransi, perusahaan penilai, manajer investasi dan bursa efek Indonesia serta perbankan yang bekerjasama dan rapat konsultasi dengan BPK.
Di sinilah perlu diformulasikan rentang waktu yang tepat sejak kapan terjadinya kemelut di Jiwasraya, untuk apa dan siapa saja yang terlibat. Salah satu instrumen yang dapat dijadikan sumber telaah adalah neraca keuangan Jiwasraya. Sejak tahun berapa neraca keuangan Jiwasraya mengalami pendarahan. Tahun 2006, ekuitas Jiwasraya sudah negatif Rp 3,29 Triliun. Anehnya, Kantor Akuntan Publik Soejatna, Mulyana dan Rekan memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Tahun 2007 tetap WTP. Namun BPK memberikan opini disclaimer.
Memasuki tahun 2008 defisit semakin melebar yakni mencapai Rp 5,7 Triliun. Kantor Akuntan Publik memberikan status WDP. Pada tahun 2008 ini, dipilih Direktur Utama Hendrisman Rahim, Indra Catarya Situmeang sebagai Direktur Pertanggungan, De Yong Adrian sebagai Direktur Pemasaran, dan Hary Prasetyo sebagai Direktur Keuangan.
Pada 31 Desember 2009, ekuitas surplus Rp. 800 milyar dari semula defisit Rp 6,9 triliun. Melalui mekanisme reasuransi, kewajiban klaim hanya dicatat Rp. 4,7 triliun dari yang seharusnya Rp. 10,7 triliun. Pada tahun ini Direksi Jiwasraya mengajukan PMN namun ditolak. Surplus Rp. 800 miliar mengantarkan Jiwasraya kembali meraih opini WTP.
Pada tahun 2010-2012, model reinsurance kembali diteruskan. Jiwasraya diganjar opini WTP oleh KAP Soejatna, Mulyana & Rekan dan KAP Hertanto, Sidik & Rekan. Pada 31 Desember 2013, ekuitas Jiwasraya menunjukkan surplus Rp 1,75 triliun. Model reasurasi dihentikan dan diganti dengan revaluasi aset.
Dampaknya, aset melonjak dari Rp 208 Miliar menjadi Rp 6,3 Triliun. KAP Hertanto, Sidik & Rekan mengganjar opini WTP. Pada Juni 2012, di bawah pengawasan OJK rejim Muliaman Hadad, Dumoli, Firdaus Djaelani, Jiwasraya menerbitkan JS Saving Plan yang bekerja sama dengan tujuh bank yaitu BTN, Bank ANZ, Bank QNB, BRI, Bank KEB Hana, Bank Victoria dan Standard Chartered Indonesia.
JS Saving plan adalah asuransi sekaligus investasi yang menyasar kelas menengah atas dengan premi dibayarkan sekaligus Rp 100 juta dan memberi imbal hasil 9% sampai dengan 13%.
Pada 2014 – 2016, Jiwasraya melaporkan ekuitas surplus berturut-turut Rp 2,4 triliun, Rp 3,4 triliun dan Rp 5,4 triliun. Pada 2014, pertumbuhan laba mencapai 44% menjadi Rp 661 miliar.
Ekuitas yang surplus disebabkan nilai pasar aset investasi keuangan overstated (melebihi realita) dan cadangan premi tercatat understated (di bawah nilai sebenarnya) Pada 31 Desember 2017, ekuitas surplus Rp. 5,6 triliun tapi kekurangan cadangan Rp. 7,7 triliun. KAP PwC mengganjar opini adverse/dengan modifikasian.
Pada 31 Desember 2018, ekuitas negatif Rp. 10,24 triliun. Likuiditas terganggu alias gagal bayar. Tahun 2018, Asmawi ditunjuk menjadi dirut Jiwasraya. Pada Mei 2018 Asmawi melaporkan ketidakberesan keuangan Jiwasraya kepada Kementerian BUMN. Pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya mengumumkan tak mampu membayar (default) klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar.
Pada November 2018, Kementerian BUMN selaku pemegang saham Jiwasraya menunjuk Hexana Tri Sasongko sebagai direktur utama menggantikan Asmawi. Pada November 2019, Direksi Jiwasraya menghadap ke DPR memohon agar wakil rakyat memberikan suntikan dana sebesar Rp 32,8 triliun.
DPR mengarahkan pemerintah agar penyelesaian Jiwasraya tidak menggunakan uang APBN. Dari runtutan peristiwa di atas, maka rentang waktu yang perlu diungkap adalah mulai dari tahun 2006 hingga 2019. Pansus DPR adalah salah satu instrumen politik yang tepat untuk mengungkap kasus Jiwasraya secara komprehensif.
Bahkan Pansus juga bisa berperan sebagai ajang klarifikasi baik oleh pemerintahan Jokowi maupun pemerintahan SBY. Diharapkan pansus juga bisa untuk menguji solusi Holdingisasi BUMN Asuransi sebagaimana yang diwacanakan pemerintah.
Apakah holdingisasi sebuah solusi ataukah sumber petaka baru? Termasuk, Pansus juga bisa mengorek fungsi pengawasan yang selama ini dijalankan oleh OJK. Apakah penunjukkan Dirut Jiwasraya sudah melalui fit and proper test oleh OJK secara prudent atau asal-asalan? (izo/rs)
Sumber : https://radarsukabumi.com/berita-utama/kemelut-jiwasraya-dpr-jalur-hukum-dan-pansus/
0 komentar:
Posting Komentar