Corona dan Ekonomi Indonesia, Hergun: Semoga Tidak Aji Mumpung



SUKABUMI, RADARSUKABUMI.com – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengungkapkan, virus corona ikut memengaruhi perekonomian Indonesia. China yang merupakan asal muasal virus covid-19 itu juga adalah salah satu mitra dagang dan investor terbesar Indonesia. Sehingga keterpurukan ekonomi di Negeri Tirai Bambu sudah pasti akan berimbas ke tanah air pula.


“Analis Morgan Stanley memprediksi perekonomian China pada kuartal I-2020 hanya tumbuh 3,5%. Padahal pada kuartal IV-2019 masih bisa tumbuh 6%. Jika prediksi Morgan Stanley benar, maka terjadi penurunan yang sangat tajam yakni 2,5%,” kata Heri Gunawan kepada Radarsukabumi.com, Senin (2/3/2020)
Penurunan ekonomi yang dialami China dan negara-negara lainnya, kata Hergun, tentu akan berdampak pada perekomian Indonesia. Pada tahun 2019 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan 5,02%, dalam target APBN 2019 dipatok 5,3%. Artinya antara target dan realisasi ada selisih minus 2.8%.
Sedangkan pada tahun 2020 prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 4,5% bisa jadi, realisasinya malah dibawah 4.5%, turun dari 2019 yang tumbuh 5,02%.
“Adanya virus corona semoga tidak dijadikan aji mumpung untuk menutup kegagalan dan ketidaktercapaian pertumbuhan ekonomi. Kebiasan buruk yang selalu menjadikan tameng faktor eksternal sebagai alasan atas ketidak tercapaian pertumbuhan ekonomi. Dulu menyalahkan faktor global, kemudian menyalahkan perang dagang antara AS versus China, dan sekarang mau menyalahkan Corona?” tutur Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Gerindra DPR RI.
Heri Gunawan juga menjelaskan, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi jika tidak disertai pemerataan karena adanya akumulasi modal yang mengakibatkan inefisiensi akan mempercepat kegagalan pembangunan. Tentunya perihal ini perlu didukung kebijakan fiskal yaitu tentang pajak dan distribusi pendapatan yang mengurangi kesenjangan, meningkatkan produktifitas dan memacu semangat untuk investasi.
Untuk itu, lanjut legislator Senayan asal Sukabumi, dibutuhkan sinergitas dan kekompakan policy-mix antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara nyata di lapangan. Penerapan kebijakan fiskal yang ekspansif, dengan menetapkan nilai RAPBN 2020 sebesar 14 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari sisi moneter, BI telah menetapkan kebijakan moneter longgar melalui penurunan suku bunga acuan, dengan harapan perbankan merespons dengan menurunkan suku bunga kredit sehingga sektor riil menggeliat. Penyaluran kredit yang tepat dan mengendalikan tingkat konsumsi dengan mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan ekspor.
“Secara nyata yang menjadi kunci adalah eksekusi di lapangan. Bagaimana sektor riil bergerak, manufaktur tumbuh, industri tumbuh, ekspor tumbuh. Saat ini ekspor masih didominasi komoditas non-migas yang terkonsentrasi di 10 komoditas utama, menyumbang 57 persen dari total ekspor non-migas,” jelas dia.
Sebagian besar produk ekspor Indonesia masih berbasis buruh murah dan sumber daya alam mentah. Padahal, untuk bersaing di pasar global, corak industri harus didominasi oleh tenaga terampil, penelitian dan pengembangan, serta teknologi.
Sumbangan manufaktur terhadap PDB dalam lima tahun terakhir merosot dari 25 persen menjadi 19 persen. Artinya, kita belum mampu meredam gejala deindustrialisasi.
“Alih-alih menyalahkan Corona, sekarang saatnya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melakukan koreksi terhadap sejumlah kebijakan yang tidak pro rakyat kecil. Tugas pemerintah adalah melakukan kebijakan antisipatif agar bisa meminimalisir dampak Corona,” tutur Hergun.
“Stimulus dari kebijakan fiskal dan moneter yang berpihak sangat diperlukan untuk tetap menggairahkan perekonomian guna menjaga konsumsi masyarakat sebagai penyokong terbesar pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. (izo/rs)

0 komentar:

Posting Komentar