Kapoksi Gerindra Badan Legislasi DRP RI Heri Gunawan. Foto: Istimewa |
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Kelompok Fraksi Gerindra di Badan Legislasi DPR RI, Heri Gunawan mengemukakan pandangannya terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah diserahkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi ke Senayan.
Politikus yang beken disapa Hergun, sendiri masih bertanya-tanya apakah RUU sapu jadat yang dimunculkan Jokowi pada pidato kenegaraan yang lalu di Parlemen, sebuah terobosan atau justru sumber kegaduhan baru. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya penolakan dari publik.
"Keberadaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja banyak mendapatkan kritik dan penolakan. Sementara ini, penolakan terbesar datang dari buruh," ucap Hergun saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (3/3).
Penolakan buruh dinilai cukup beralasan karena banyak hal yang mereka khawatirkan: hilangnya ketentuan UMK, pesangon yang kualitasnya rendah dan tanpa kepastian, pemakaian tenaga alih daya atau outsourcing yang semakin mudah, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan dihapuskan.
Selain itu juga masalah jam kerja yang eksploitatif, karyawan kotrak akan sulit menjadi pegawai tetap, penggunaan tenaga kerja asing, termasuk, buruh kasar semakin bebas. Bahkan, perusahaan akan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun.
"Petani pun melontarkan penolakanya, bahwa RUU Cipta Kerja berbahaya untuk sektor pertanian karena menyetarakan produk pangan lokal dan impor," kata Anggota Komisi XI DPR ini.
Selanjutnya, beberapa kepala daerah memprotes penyusunan aturan tersebut yang tidak partisipatif dengan daerah. Menurutnya proses pembahasan omnibus law tidak transparan, ekslusif, dan tidak partisipatif.
Penolakan yang tak kalah dahsyat datang dari para pengamat yang menyatakan bahwa Pasal 170 RUU Cipta Kerja akan melahirkan pemerintahan yang ototiter karena ada ketentuan yang menyatakan UU bisa diganti oleh PP. Ketentuan ini mengebiri fungsi legislasi yang dimiliki legislatif.
Selanjutnya, beberapa kepala daerah memprotes penyusunan aturan tersebut yang tidak partisipatif dengan daerah. Menurutnya proses pembahasan omnibus law tidak transparan, ekslusif, dan tidak partisipatif.
Penolakan yang tak kalah dahsyat datang dari para pengamat yang menyatakan bahwa Pasal 170 RUU Cipta Kerja akan melahirkan pemerintahan yang ototiter karena ada ketentuan yang menyatakan UU bisa diganti oleh PP. Ketentuan ini mengebiri fungsi legislasi yang dimiliki legislatif.
"Maka solusinya, pemerintah harus mengintensifkan sosialisasi ke semua kalangan agar rakyat mengetahui draft yang dibuat oleh pemerintah. Karena undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Kalau bertentangan dengan UUD, secara hukum batal demi hukum," katanya.
Hergun juga menyitir tujuan pemerintah menggolkan RUU Omnibus Law, di antaranya untuk menyederhanakan dan mengharmonisasi regulasi dan perizinan, mewujudkan investasi yang berkualitas, menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan mewujudkan kesejahteraan pekerja yang berkelanjutan, serta memberdayakan UMKM.
Keempat target tersebut sebagai jawaban atas kondisi kekinian yang dianggap perlu segera diatasi untuk mewujudkan impian menjadi negara maju pada 2045 dengan PDB mencapai 7 triliun dollar Amerika atau menduduki peringkat empat dunia.
Kondisi kekinian yang dimaksud meliputi pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir, realisasi investasi 2018 sebesar Rp721,3 triliun dan 2019 sebesar Rp809,6 triliun, angka pengangguran sebanyak 7,05 juta orang, angkatan kerja baru antara 2 sampai 2,5 juta orang per tahun dan pekerja informal 70,49 juta orang, serta jumlah UMKM besar tapi produktivitas rendah.
Namun demikian, Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR ini memandang target menjadi negara maju pada 2045 tidak perlu dikejar lagi. Sebab, pada 10 Februari 2020 negara adidaya Amerika Serikat sudah menetapkan Indonesia sebagai negara maju.
"Tetapi status sebagai negara maju tidak membuat bangsa Indonesia bahagia. Sebaliknya, status tersebut menyebabkan kekhawatiran akan dipangkasnya berbagai fasilitas kemudahan perdagangan dan kredit yang selama ini dinikmati sebagai negara berkembang," jelasnya.
Legislator asal Jawa Barat ini juga menyentil ketidakkompakan pemerintah dalam merespons kritik publik terhadap dokumen RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Contohnya dalam merespons kritik para pengamat tentang potensi munculnya pemerintahan otoriter akibat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 170, para pejabat pemerintah berbeda-beda jawabannya.
Silang pendapat antarpejabat pemerintah itu menurutnya menjadi bukti bahwa di pihak pemerintah pun banyak yang tidak tahu materi draft RUU. Untuk menyolidkan suara pemerintah, Anggota Badan Musyawarah DPR ini menyarankan sebaiknya draft yang sudah diserahkan ke dewan ditarik kembali dan kemudian dilakukan pengkajian yang mendalam antarpejabat pemerintah di kementerian dan lembaga terkait.
Bila semua pejabat sudah satu suara maka draft tersebut bisa dikirim kembali ke DPR-RI, untuk dibahas lebih lanjut atau tidak oleh fraksi-fraksi dan menetapkan penugasan di komisi mana, dalam bentuk apa, panja atau pansus dan atau dibahas di alat kelengkapan dewan badan legislasi.
"Karena sampai saat ini, draft RUU tersebut belum dibahas dalam Badan Musyawarah (Bamus), untuk selanjutnya dibawa atau tidaknya dalam rapat paripurna," ungkap Hergun.
Anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra ini juga menyatakan, mengingat banyaknya penolakan dan pandangan yang berbeda di publik, tentunya DPR RI akan mengkaji dengan saksama RUU Omnibus Law yang diharapkan Presiden Jokowi bisa selesai pembahasannya dalam 100 hari kerja.
"DPR tentu akan mengkaji secara mendalam dan tidak akan bertindak gegabah. Hal tersebut tentunya akan bertentangan dengan target Presiden bahwa omnibus law, terutama RUU cipta kerja, akan selesai dalam waktu 100 hari kerja," ujarnya. (fat/jpnn)
0 komentar:
Posting Komentar