Soal Skema Bank Jangkar, Hergun: Menkeu Sri Mulyani Ngawur


RADARSUKABUMI.com – Anggota Komisi XI Fraksi Gerindra DPR RI Heri Gunawan menilai penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal skema penempatan dana pemerintah di sejumlah bank penyangga likuiditas dalam negeri atau bank jangkar sebesar Rp 87,59 triliun adalah kebijakan ngawur.
Pasalnya, ulas Heri Gunawan, dalam keterangan Sri Mulyani secara virtual pada Senin (18/5/2020) lalu dianggap inkonsistensi kebijakan yang pelaksanaannya mengacu PP 23/2020 dengan tidak kurang dari 12 skema. Ini bertujuan untuk mendukung proses restrukturisasi untuk mengembalikan kepercayaan penyaluran kredit modal kerja kepada masyarakat khususnya UMKM terdampak Covid-19.
Polisi yang karib disapa Hergun itu mengulas bahwa dalam skema tersebut, Menkeu menjelaskan bahwa “Pertama Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan mengenai bank yang dapat menjadi bank peserta atau anchor dalam program penempatan dana pemerintah berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh PP-23/2020, dilihat dari tingkat kesehatan, kepemilikan bank, dan jumlah asset. Menkeu kemudian menekankan bahwa penempatan dana pemerintah itu bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank.
Namun poin kedua penjelasannya, dinyatakan bahwa bank pelaksana atau bank yang melakukan restrukturisasi kredit/kekurangan likuiditas, menyampaikan proposal penempatan dana kepada bank peserta atau bank jangkar berdasarkan restrukturisasi yang dilakukan, jumlah dana yang dibutuhkan, dan seterusnya.
“Di sini jelas terlihat inkonsistensi dari kebijakan ini. Pertama dia katakan penempatan dana tersebut bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank,” kata Heri Gunawan, Rabu (20/5/2020).
“Tapi di poin kedua disebutkan bahwa bank pelaksana atau bank yang melakukan restrukturisasi kredit/kekurangan likuiditas. Skema pada point 1 dan point 2 berseberangan bos. Bahaya ini” cetusnya lagi.
Pada skema ketujuh yang disampaikan Menkeu, lanjut Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra pada DPR RI, Menkeu menempatkan dana kepada Bank Peserta berdasarkan hasil assessment OJK dan proposal dari Bank Peserta yang memenuhi persyaratan dalam PP-23/2020 Pasal 11 (4) yang berbunyi : Bank Peserta dapat memberikan dana penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila Bank Pelaksana tersebut: “Merupakan bank kategori sehat berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank oleh OJK;”
Dalam PP 23/2020, Pasal 11 ayat (6) OJK dan/atau otoritas yang berwenang memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Bank Peserta dalam menyediakan dana penyangga likuiditas bagi Bank Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4).
“Bagaimana mungkin OJK dapat memberikan informasi yang objektif dan bisa dijadikan acuan dalam memitigasi risiko. Wong selama ini assesment dan fungsi pengawasannya saja sangat lemah? Bank dan BUMN akan menjadi wadah pertama terjadinya penyimpangan jika konsep KSSK ini dijalankan,” ujar Ketua DPP Partai Gerindra ini.
Legislator Senayan asal Sukabumi ini mengungkapkan bahwa perbankan akan menjadi tempat pertama terjadinya penyimpangan atau fraud. Maka perlu dilakukan mitigasi resiko dan rambu-rambu yang jelas, tegas dan terukur untuk menghindari terjadinya atau mengurangi ketidakpastian akaibat dari akurasi data yang tidak valid.
Risiko yang terbesar adalah, bank peserta ternyata sudah menjadi bank gagal sebelum kebijakan penanganan pandemic covid19 terjadi, maka resiko TPBank (Tindak Pidana Perbankan) akan menjadi objek pemeriksaan. Terkait pelibatan BPKP untuk pengawasan, memang ranahnya BPKP, karena dalam tataran pelaksanaan, on going project di mana post project pasangannya post audit.
Dia pun mempertanyakan kenapa tiba-tiba saja skemanya diumumkan padahal sudah ada kesimpulan rapat kerja (raker) Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan, Dewan Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, pada hari Rabu, 6 Mei 2020
Bunyi kesimpulan raker tersebut diantaranya, adalah; Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua DK LPS membuat perencanaan kebijakan, regulasi, dan program penyelamatan perekonomian nasional dan prakiraan kebutuhan pembiayaan untuk penyelamatan perekonomian nasional beserta sumber pembiayaan dan pembagian risiko dan beban serta dikonsultasikan dengan Komisi XI DPR RI.
“Poin ketiga kesimpulan raker itu seharusnya lebih dahulu dibahas melalui rapat kerja dengan Komisi XI DPR, tetapi ini kenapa konsultasi belum dilakukan, skemanya sudah langsung diumumkan. Ada apa ini? tukasnnya. (izo/rs)

0 komentar:

Posting Komentar