Perppu Corona Dinilai Bisa Dimanfaatkan 'Penumpang Gelap'


KBRN, Jakarta : Aturan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/ atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan rawan dimanfaatkan "penumpang gelap" untuk kepentingan pribadi, serta membahayakan posisi Bank Indonesia (BI). Pemerintah pun diminta agar berhati-hati.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengatakan, kemungkinan itu ada karena ada satu pasal yang ayat-ayatnya mengatur tentang kekebalan hukum pagi para pejabat keuangan yang mengatur tentang pengeluaran negara.
"Perppu ini perlu diwaspadai karena pada Pasal 27 ayat 1, 2, dan 3 bisa dimanfaatkan oleh penumpang gelap untuk membobol uang negara tanpa bisa dijerat oleh hukum," ungkapnya kepada wartawan, Kamis (2/4/2020).
Bagaimana tidak, lanjut Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI ini, pada Pasal 27 Ayat 1 Perppu ini dijelaskan bahwa segala uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara. Kemudian Ayat 2 menyatakan semua pejabat keuangan memiliki kekebalan hukum.
Sementara Ayat 3 menyebut semua kebijakan keuangan yang dikeluarkan berdasarkan Perppu No.1/2020 bukan merupakan obyek gugatan di PTUN.
Adapun Perppu ini juga menyiapkan stimulus mencapai Rp.405,1 triliun. Dari angka itu, Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk Social Safety Net, Rp70,1 Triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp150 Triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
Terkait itu, program stimulus pemerintah akan memanfaatkan dana dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), dana abadi, dana Badan Layanan Umum (BLU), hingga dana yang berasal dari pengurangan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN.
"Berdasarkan catatan terakhir, SAL yang dimiliki pemerintah mencapai Rp160 triliun. Sementara sumber-sumber lain sedang dihitung oleh pemerintah," tandasnya.
Lebih lanjut diingatkan legislator kelahiran Sukabumi ini, yang perlu dicermati adalah adanya sumber pendanaan lain yang akan dimanfaatkan pemerintah, yakni meminta BI untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara) di pasar perdana. Sejatinya, ketentuan tersebut dilarang oleh UU BI. Namun Berdasarkan Perppu No. 1/2020 hal tersebut diperbolehkan.
"Aturan yang membolehkan BI bisa membeli SBN di Pasar Primer sejatinya sangat membahayakan. Selama ini BI hanya diperbolehkan membeli SBN di Pasar Sekunder," jelasnya.
Wakil Sekretaris Fraksi MPR RI ini mengingatkan, bukan tidak mungkin Perppu 1/2020 disalahgunakan sebagaimana kasus BLBI saat krisis ekonomi 1997/ 1998 lalu.
Dimana saat itu, uang BI dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar guna menyelamatkan grup usahanya.
Hal yang sama kata dia, bisa saja modus serupa terulang kembali melalui pembiayaan defisit fiskal dan pembelian obligasi bank-bank swasta atau pemerintah. Oleh karena itu, ditekankan dia, diperlukan aturan yang jelas dan tegas tentang masa berlakunya Perppu tersebut dan tentang status Perppu ini apakah bersifat permanen ataukah untuk darurat COVID-19 saja.
"BI yang selama ini menurut UU BI hanya boleh memberi surat utang di pasar sekunder, ke depan BI akan bisa membeli surat utang pemerintah di pasar primer. Kalau ini diatur Perrpu harus jelas batasannya, karena secara tidak langsung ini telah merubah UU Bi itu sendiri," jelas pria kelahiran Sukabumi ini.
Dia menerangkan bahwa berdasarkan UU No. 3 Tahun 199 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 ayat (4) disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara, kecuali di pasar sekunder.
Adapun, tambah Ketua DPP Gerindra ini, pada Pasal 55 ayat (5) disebutkan bahwa perbuatan hukum BI membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder, dinyatakan batal demi hukum.
"Tentunya batasan dan aturan mainnya harus tegas dan jelas, karena secara tidak langsung Perrpu ini telah merubah UU BI itu sendiri. Apakah ini termasuk dalam kriteria Omnibus Law model baru?" pungkasnya. (Foto : Istimewa)

0 komentar:

Posting Komentar