JAKARTA – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 mengenai Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Penanganan Pandemi Covid-19, dinilai memuat banyak kejanggalan yang mesti diwaspadai menjadi celah terjadinya skandal keuangan.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan pada Senin malam (18/5), saat dikonfirmasi terkait sejumlah ketentuan di PP yang diteken Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2020 lalu.
“Ada banyak kejanggalan di PP ini. Sebab, kewenangan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) yang menurut UU dan Perppu 1/2020 sudah begitu jelas, namun di PP 23/2020 direduksi luar biasa,” ucap Hergun -sapaan Heri Gunawan.
Pertama, Bank Indonesia (BI) yang di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), dan Perppu 1/2020 berwenang memberi pinjaman likuiditas, direduksi menjadi hanya sekadar penyalur dana pemerintah kepada bank peserta. Sedangkan bank peserta yang juga sebagai pelaksana, menjadi penyedia dan penyangga likuiditas.
“Pemain ini akan disuruh merangkap menjadi wasit dengan dalih business to business,” sebut Hergun.
Kedua, OJK sebagai pengawas yang berwenang menilai dan menghitung kelayakan sebuah bank untuk bisa diberi pinjaman atau tidak, direduksi hanya sekedar pemberi informasi.
Ketiga, LPS yang sesuai UU berwenang menyelematkan bank gagal atas rekomendasi OJK, dan juga menjamin simpanan masyarakat yang nilainya maksimal Rp 2 milyar, direduksi menjadi penjamin simpanan dengan prioritas simpanan pemerintah yang nilainya bisa triliunan.
“LPS sudah berubah menjadi LPSP artinya Lembaga Penjamin Simpanan Pemerintah,” tukas Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR ini.
Kejanggalan berikutnya terkandung dalam pasal 11 PP 23/2020, dijelaskan bahwa bank peserta melakukan restrukrisasi atas debitur. Bank pelaksana melaksanakan restrukrisasi juga atas debiturnya tetapi diawasi oleh bank peserta.
“Bagaimana mungkin bank peserta mengawasi restrukrisasi debitur dari para bank pelaksana. Restrukrisasi atas debitur merupakan sebuah tindakan individual bank sebagai kreditur kepada nasabahnya. Sehingga tidak tepat melibatkan pihak lain yaitu bank peserta untuk mengawasi,” terang legislator asal Sukabumi ini.
Lebih jauh, Hergun menyatakan bahwa tindakan melibatkan pihak lain bisa melanggar UU Pokok Perbankan tentang rahasia kredit nasabah sebagai data yang harus disimpan dan menjadi delik pidana bila dibuka ke pihak lain di luar pihak kreditur.
“Bank peserta dan bank pelaksana dalam praktik dan mekanismenya akan sulit dijalankan dan diimplementasikan,” ucap Kapoksi Baleg DPR ini.
Berikutnya, dalam PP 23/2020 terutama pada Bab I Ketentuan Umum di pasal 1 nya tidak memberikan pengertian soal apa yang dimaksud dengan dana penempatan pemerintah, dana penyanggah likuiditas, dan pengertian bank sehat menurut kriteria OJK.
Hergun menekankan bahwa aturan yang ada di PP tersebut tidak tepat dijadikan model pemulihan ekonomi nasional. Mendikotomikan bank peserta dan bank pelaksana. Sistem tersebut tentunya akan merusak sistem perbankan yang selama ini sudah berjalan.
Oleh karena itu, katanya, sudah seharusnya pada saat Pandemi Covid-19 ini kewaspadaan dan pengawasan harus lebih ditingkatkan. Namun sayang, OJK yang daulat menjadi lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan dalam PP 23/2020 hanya berstatus sebagai pemberi informasi saja.
Selain itu, Hergun juga meminta KSSK mencermati dengan baik terkait penunjukan bank-bank yang akan ditetapkan sebagai bank peserta di luar bank Himbara. Apalagi menurut informasi yang berkembang, misalnya, salah satu bank yang akan didaulat menjadi bank peserta adalah Bank Mayapada.
“Jika informasi tersebut benar, maka patut diajukan pertanyaan, atas dasar apa Bank Mayapada dikatakan layak untuk menjadi bank peserta? Bagaimana penilaian KSSK terhadap bank tersebut? Masyarakat harus mewaspadai dan mencermati daftar bank-bank yang akan ditetapkan sebagai bank peserta,” tandasnya. (jpnn/fajar)
0 komentar:
Posting Komentar