Anggota DPR Sebut Potensi Masalah jika RI Berlakukan Pajak Digital

DPR pun meminta pemerintah hati-hati dalam menerapkan pajak untuk produk digital seperti Netflix, Spotify, hingga gim online.



DPR menyatakan Pajak Petambahan Nilai (PPN) 10% terhadap produk digital seperti Netflix, Spotify, Zoom, hingga game online bisa menekan pemerintah. Kebijakan tersebut bahkan dinilai bisa menimbulkan dampak negatif hingga merugikan negara.   

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan mengatakan ada sejumlah poin yang menjadi persoalan dalam PMK 48/2020 yang diberlakukan 1 Juli 2020 nanti. Pertama, pelaku usaha dari luar negeri seperti Zoom, Netflix dan lainnya bisa menekan Indonesia melalui pemerintahan di masing-masing negaranya.

"Terutama pelaku usaha digital dari Tiongkok yang memang pemerintahnya memiliki peran besar," ujar Heri dalam keterangan tertulis, Rabu (10/6).  Kedua, pemerintah harus hati-hati memungut pajak dari pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang memiliki dampak ekonomi signifikan (significant economic presence). Pasalnya, pemerintah tidak memiliki data akurat terkait PMSE.

"Data yang pasti hanyalah dimiliki oleh perusahaan, negara mungkin hanya bisa memperkirakan, sehingga harus benar-benar tepat sasaran," ujar Heri. Ketiga, data digital merupakan barang tak kasat mata alias bukan seperti aset atau barang yang berwujud. Sehingga, pemerintah harus lebih detail dalam mengetahui transparansi transaksi digital dari setiap konsumen. "Mungkin masih ada celah di dalam PMK bagi transaksi PMSE, pemerintah harus memperhatikan setiap detail yang bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari, terutama terkait perusahaan-perusahaaan besar dari luar negeri," ujar Heri.

Keempat, pemerintah perlu menghitung dampak perpindahan konsumen ke berbagai situs yang masih bebas menjual tanpa ada kewajiban PPN. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya dapat menerapkan pajak digital secara bertahap. Sehingga ada layanan digital yang masih bisa memberikan produk murah kepada masyarakat. 


Selain itu, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait pajak digital. Dia memperingatkan, kebijakan tersebut tidak boleh memicu negara lain menerapkan hal yang lebih besar dan memberikan dampak negatif bagi Indonesia. Padahal, PMK 48/2020 bertujuan menambah penerimaan pajak.  

Dia pun meminta pemerintah mengomunikasikan penerapan pajak digital kepada negara lain. Adapun, pelaku usaha PMSE biasanya berasal dari Amerika Serikat, Australia, Tiongkok, Hong Kong, India, Inggris, Jepang, Singapura, Swedia, dan Thailand, termasuk anggota-anggota perusahaan dari US Chamber, US Asean Business Council (USABC) dan European Chamber.

 "Pemerintah juga harus menyosialisasikan mekanisme, ketentuan dan kriteria Significant Economic Presence , 

Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif pajak PTE, dan ketentuan administrasi lainnya seperti pendaftaran, pelaporan, penyetoran, dan sanksi," ujar Heri. Sebelumnya, Country Head Viu Indonesia Varun Mehta belum bisa menjabarkan skema pemungutan PPN kepada konsumen. Namun, perusahaan berkomitmen untuk menyediakan layanan dengan tarif kompetitif di Tanah Air. "Viu memiliki komitmen memberikan value yang menarik bagi pelanggan, pada titik harga yang atraktif bagi konsumen. 

Selain itu, sejalan dengan rencana bisnis jangka panjang kami untuk pasar Indonesia," ujar Varun kepada Katadata.co.id, Jumat (29/5).  (Baca: Trump akan Investigasi Aturan Pajak Digital RI, Kemenkeu Siap Menjawab) Sedangkan Netflix Indonesia enggan berkomentar banyak terkait kebijakan tersebut. Berdasarkan data Investopedia, jumlah pelanggan berbayar Netflix merupakan yang terbanyak yakni mencapai 167 juta pelanggan. Berdasarkan data Statista, Netflix memiliki sekitar 481.450 pelanggan di Indonesia pada tahun lalu. Jumlahnya diprediksi meningkat dua kali lipat menjadi 906.800 pada 2020. 

Nilai pajak Netflix pun diprediksi cukup besar. Dengan asumsi semua subscriber berlangganan paket paling murah, maka Netflix mendapat Rp 52,48 miliar per bulan. Artinya, pendapatan setahun sekitar Rp 629,74 miliar. Hal sebagaimana perhitungan Anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi pada Januari 2020. Sedangkan, Juru Bicara Iflix Arief Suparmono tak berkomentar banyak terkait kebijakan tersebut. 

Dia hanya menyatakan masih menunggu kebijakan dari kantor pusat di Malaysia. Adapun Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Garena mengkaji dampak kebijakan ini. 

Ketua Umum AGI Cipto Adiguno mengaku belum mengetahui skema pemungutan PPN tersebut kepada konsumen. Penentuan skemanya melibatkan pihak ketiga seperti, karena penjualan gim mobile maupun item-nya bisa melalui Google Play Store. Sebagaimana diketahui, ada game online gratis dan berbayar yang bisa diunduh di toko aplikasi seperti App Store dan Google Play Store. Selain itu, ada beberapa item seperti senjata, alat, baju pemain, dan lainnya yang dibeli oleh pengguna atau gamer di marketplace khusus maupun di platform gim langsung. Kendati game online wajib dikenakan PPN 10%, Cipto optimistis tak akan berpengaruh signifikan terhadap jumlah pengguna maupun penjualan item.

 “Ke pelanggan mungkin cukup terasa, tetapi ini normal. Dilihat dari sudut pandang lain, selama ini tarifnya terlalu murah," ujar Cipto kepada Katadata.co.id, Jumat (29/5). Sedangkan Business Developer dan Esports Manager Garena Indonesia Wijaya Nugroho juga belum mengetahui skema pemungutan PPN tersebut. 

"Belum ada arahan mengenai hal ini," ujar dia. Mulai Juli 2020, Kemenkeu akan mengenakan PPN atas penjualan aplikasi maupun item game online. 

Berdasarkan keterangan akun Instagram @kemenkeuri pada Rabu (27/5), kebijakan ini bertujuan menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha di dalam dan luar negeri, baik konvensional atau digital. Pengenaan pajak produk digital dilaksanakan sesuai PMK Nomor 48/PMK.03/2020. Aturan ini mengatur tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Dalam aturan tersebut, PMSE dikenai PPN 10%. Objek pajak yang dipungut yaitu streaming musik dan film, aplikasi hingga game online. 

Untuk pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital yang berasal dari luar negeri akan dilakukan oleh pelaku usaha PMSE. 

Di antaranya pedagang/penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar dan dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. Pelaku usaha PMSE yang memenuhi kriteria nilai transaksi atau jumlah traffic tertentu selama 12 bulan ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagai pemungut PPN. 

Sedangkan pelaku usaha yang memenuhi kriteria, tetapi belum ditunjuk sebagai pemungut PPN, dapat menyampaikan pemberitahuan secara online kepada Direktur Jenderal Pajak.  Penyetoran PPN yang telah dipungut dari konsumen wajib dilaksanakan paling lama akhir bulan berikutnya. Sedangkan, pelaporan dilakukan secara triwulanan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode berakhir. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani  berharap kebijakan tersebut dapat meningkatkan penerimaan negara. Terutama untuk sumber pendanaan menanggulangi dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Anggota DPR Sebut Potensi Masalah jika RI Berlakukan Pajak Digital" , https://katadata.co.id/berita/2020/06/10/anggota-dpr-sebut-potensi-masalah-jika-ri-berlakukan-pajak-digital
Penulis: Cindy Mutia Annur
Editor: Ratna Iskana


0 komentar:

Posting Komentar