Oleh : Heri Gunawan
Ketua Kelompok Fraksi Partai Gerindra Komisi XI DPR-RI
Saat ini bangsa Indonesia masih bergelut menghadapi Pandemi Covid-19. Perjuangan makin sulit karena jumlah kasus kian hari makin meningkat. Kasus meninggal dunia pun terus bertambah. Per 21 Januari 2021 jumlah angka kematian tercatat sebesar 27.203 orang. Angka tersebut melonjak 7.118 orang dibanding 1 bulan sebelumnya, 21 Desember 2020, yang baru mencapai 20.085 orang.
Di antara para korban meninggal tersebut terdapat para tenaga medis yang selama ini berjuang sebagai ujung tombak perlawanan terhadap Covid-19. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengonfirmasi per 2 Januari 2021 jumlah tenaga medis yang meninggal karena Covid-19 mencapai 504 orang, terdiri dari dokter 237 orang, dokter gigi 15 orang, perawat 171 orang, bidan 64, apoteker 7 orang dan tenaga laboratorium medik 10 orang.
Sudah nyaris 10 bulan, dari Maret 2020 hingga Januari 2021, bangsa Indonesia bergulat menghadapi Pandemi Covid-19. Ancaman Covid-19 yang semula hanya menyasar bidang kesehatan menjalar ke sektor ekonomi seiring dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Program vaksinasi yang mulai diberlakukan pada 13 Januari 2021 menjadi secercah harapan akan berakhirnya wabah pagebluk tersebut dan sekaligus sebagai harapan pemulihan ekonomi.
Sejatinya sebelum adanya Covid-19, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan. Pada kuartal IV-2019, pertumbuhan ekonomi hanya 4,97%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya 5,02%, maupun periode yang sama tahun lalu 2018 sebesar 5,18%.
Faktor eksternal berupa gejolak ekonomi global dan adanya perang dagang antara Amerika Serikat versus China, dianggap sebagai pemicu menurunnya perekonomian nasional. Jelas sekali saat itu belum ada kepedulian terhadap adanya ancaman Covid-19 meskipun saat itu wabah ini sudah menghajar China dan beberapa sejumlah negara lainnya.
Beberapa negara sudah mengambil kebijakan membatasi diri. Namun, Indonesia tetap menggelar karpet merah untuk wisatawan asing. Pemerintah pun mengalokasikan stimulus sebesar Rp298,5 miliar, termasuk di antaranya Rp72 miliar dialokasikan untuk membayar influencer.
Pemberian stimulus ditujukan agar wisatawan asing tetap tertartik berkunjung ke Indonesia.
Kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020. Di tengah perdebatan tentang perlu tidaknya melakukan lockdown, pada 31 Maret 2020 Presiden Joko Widodo menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 dan mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengatasinya, serta menerbitkan Perppu yang melegitimasi rencana kebijakan pemerintah mengatasi krisis keuangan akibat Covid-19.
Ketiga kebijakan itu dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dan ketiga, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau juga disebut Perppu Corona.
Awalnya, Perppu banyak menuai kritik karena ada beberapa pasal yang berpotensi membuka peluang terjadinya moral hazard. Yaitu Antara lain, pertama, pasal tentang Bank Indonesia yang diperbolehkan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Kedua, defisit APBN boleh melebihi 3 persen terhadap PDB. Dan ketiga, pejabat keuangan tidak bisa dituntut di muka hukum.
Namun akhirnya pada 12 Mei 2020, DPR-RI menyetujui Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi UU. Dan pada 18 Mei 2020 Perppu tersebut diundangkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020.
Pemerintah kemudian membuat peraturan turunan dari UU No. 2/2020 tersebut. Di antaranya melahirkan PP No 43 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Perpres No 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menyasar 5 bidang, yaitu kesehatan, perlindungan sosial, sektoral K/L dan Pemda, UMKM, pembiayaan korporasi dan insentif usaha. Total anggaran PEN mencapai Rp695,2 triliun, yang dialokasikan untuk bidang Kesehatan Rp97,90 triliun, Perlindungan Sosial Rp233,69 triliun, Sektoral K/L dan Pemda Rp65,97 triliun, UMKM Rp115,82 triliun, Pembiyaan Korporasi Rp61,2 triliun, dan Insentif Usaha Rp120,6 triliun.
Adanya alokasi PEN menyebabkan defisit dalam APBN-Perpres 72/2020 membengkak menjadi Rp1.039,2 triliun. Bertambahnya defisit secara otomasi menambah utang Pemerintah. Menurut data Kementerian Keuangan hingga November 2020 akumulasi utang Pemerintah mencapai Rp5.910,64 triliun dengan rasio terhadap PDB mencapai 38,13 persen.
Sebagaimana diketahui bahwa tahun 2021 nanti pemerintah butuh uang menambal defisit lebih dari Rp1.000 triliun, sama dengan tahun 2020. Defisit sebesar ini akan berlangsung hingga tahun 2023 atau selama empat tahun sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang No 2 Tahun 2020.
Uang ini akan digunakan untuk menolong BUMN, bank dan swasta. Karena BUMN bank dan non bank, serta swasta hanya akan selamat jika ditolong oleh pemerintah. Kalau tidak BUMN di khawatirkan akan amblas. Demikian juga dengam pihak swasta.
Sementara uang hanya akan ada jika pemerintah menimbun utang. Karena utang makin sulit, dan tidak ada lagi lembaga keuangan multilateral yang mau menolong Indonesia maka dipilihlah skema pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia yang menarik investasi jumbo diharapkan dapat menolong.
Selain menyetujui Perppu Corona menjadi UU, DPR-RI juga secara marathon membahas RUU Cipta Kerja. Akhirnya pada 5 Oktober 2020, DPR-RI menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Diharapkan nantinya UU Cipta Kerja ini mampu menarik investor yang menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi, diantaranya melalui Lembaga Pengelola Investasi atau sovereign wealth fund (SWF).
Lembaga kepanjangan tangan pemerintah dalam pembangunan ini ditetapkan memiliki modal US$75 triliun atau US$5 miliar. Saat pembentukan awal negara menempatkan modal pertama sebesar Rp15 triliun atau sekitar US$1 miliar.
SWF Indonesia akan mengelola dana investasi dari luar negeri dan dalam negeri. Lembaga ini bertugas sebagai sumber pembiayaan alternatif, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap dana jangka pendek.
Lembaga ini diharapkan pemerintah untuk membantu meraih investasi dan menyalurkannya dengan skema alternatif melalui investasi langsung, sekaligus mendorong perbaikan iklim investasi, guna mendorong pendanaan pada proyek infrastruktur.
Sedangkan aktivitas investasi yang dilakukan meliputi penempatan dana dalam instrumen keuangan, pengelolaan aset, kerja sama dengan pihak lain termasuk entitas dana perwalian (trust fund), memberikan dan menerima pinjaman hingga menatausahakan aset menganggur milik negara.
Aset negara dan BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga untuk meningkatkan nilai aset. Setelah menjadi aset LPI, aset tersebut juga bisa menjadi jaminan untuk penarikan pinjaman.
Sekadar informasi, nilai barang milik negara pada 2019 setelah dilakukan revaluasi mencapai Rp10.467 triliun. Adapun aset BUMN pada 2018 mencapai Rp8.092 triliun. Dengan asumsi rerata sales to price ratio dari Bursa Efek Indonesia (BEI) pada masa normal sebesar 3 kali—4 kali, didapatkan market value sekitar US$480 miliar. Dengan kata lain, valuasi SWF Indonesia bisa mencapai Rp7.074 triliun (Kurs Rp14.738).
Dengan kata lain, skema SWF untuk cari uang ini pada dasarnya sama dengan jualan aset. Aset-aset yang bernilai rendah akan dijual untuk tetap menjalankan kegemaran pemerintah pada infrastruktur.
Adapun skema ini akan dilakukan diantaranya, dengan cara berikut yaitu pertama, divestasi penjualan 14% saham PT Citra Karya Javar selaku pemilik konsesi dan operator tol Cisumdawu senilai Rp50,25 miliar. Kedua, pelepasan 25% kepemilikan saham PT Prima Multi Terminal.
Ketiga, penawaran dengan investor untuk melepas kepemilikan sahamnya di tol Pandaan-Malang dan tol Medan-Kualanamu. Keempat, menjual 35% sahamnya di PT Jasamarga Pandaan Malang; 15% sahamnya di PT Jasamarga Kualanamu Tol.
Kelima, menjual PT Waskita Toll Raod (WTR) dengan melepas kepemilikannya di sembilan ruas tol. Sembilan ruas tol yang akan dijual terdiri dari 3 ruas tol di Jabodetabek, 1 ruas tol di Jawa Barat, 2 ruas tol di Sumatera, 2 ruas tol Trans-Jawa, dan 1 ruas tol di Jawa Timur. Seluruh ruas tol tersebut terbentang lebih dari 480 km.
Pertanyaannya, bagaimana memastikan keberhasilan skema dana aset yang dibangun jika tanpa rencana yang matang, cenderung merugi, tidak memenuhi unsur kelayakan proyek? Padahal merawat aset-aset semacam ini butuh biaya besar agar tidak dimakan “rayap”. Siapa yang akan membeli?
Selain strategi alokasi aset dan model serta tata kelolanya, transparansi dari pengelolaannya juga patut menjadi salah satu tolok ukur SWF Indonesia, jika tidak tentunya situasi ini akan mengerikan. Pemerintah dan BUMN bangkrut bersamaan.
Hal yang paling membahayakan adalah hajat hidup orang banyak jadi bancakan elite ologaki melalui korupsi di BUMN.
Meskipun DPR sudah memberikan semua yang diminta Pemerintah, sehingga DPR dikecam publik menjadi tukang stempel (rubber stamp) Pemerintah, namun kinerja Pemerintah belum sesuai dengan harapan. Indonesia dinyatakan masuk kedalam jurang resesi pada kuartal III-2020, setelah dua kali berturut-turut pertumbuhan ekonomi mencetak minus, yakni pada kuartal II-2020 minus 5,32% (yoy) dan kuartal III 2020 minus 3,49%. Angka PHK, pengangguran, dan kemiskinan melonjak naik.
Tidak hanya itu, anggaran PEN yang disediakan dengan susah payah, pada awal-awalnya juga minim penyerapannya. Akhirnya hingga tutup tahun 2020 tidak semua anggaran PEN bisa terserap. Hingga 31 Desember 2020, realisasi anggaran PEN hanya mencapai Rp579,78 triliun atau 83,4 % dari alokasi pagu Rp695,2 triliun. Dengan demikian ada sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA) yang sebesar Rp115,42 triliun.
Padahal perlu diketahui bahwa anggaran tersebut berasal dari utang yang berbunga, seharusnya segera dipergunakan untuk menanggulangi dampak Covid-19.
Bisa disimpulkan, ekonomi Indonesia yang suram selama 2020 sejatinya bukan karena dampak Covid-19 semata. Tetapi ada mis-management dan lemahnya fundamental ekonomi.
Mis-management tercermin dari tidak terserapnya seluruh dana PEN 2020. Sementara lemahnya fundamental ekonomi tercermin dari menurunnya rasio pajak dan tingkat kredit pinjaman.
Menurut data, rasio pajak pada 2018 mencapai 11,5 persen, kemudian pada 2019 turun menjadi 10,7 persen, dan pada 2020 ini diproyeksikan hanya 7,90 persen. Sementara pertumbuhan kredit pada 2018 mencapai 11,8 persen (yoy), kemudian pada 2019 turun menjadi 6,08 persen (yoy), dan pada 2020 diproyeksikan hanya tumbuh 3 hingga 4 persen.
Suramnya pertumbuhan ekonomi patut disesalkan. Selain mendapatkan dukungan penuh dari DPR, sejatinya Pemerintah juga didukung dan mendukung sinerginya Komite Stabilitas Sistem Keuangan alias KSSK (Kemenkeu, BI, OJK dan LPS).
BI sudah melakukan Quantitative Easing (QE) senilai Rp694,87 triliun, menurunkan suku bunga BI7DRR hingga 3,75%, dan membeli SBN untuk pendanaan dan pembagian beban (burden sharing) APBN 2020 Rp473,42 triliun.
OJK juga melaporkan restrukturisasi di industri keuangan sudah mencapai Rp1.170 triliun, terdiri dari restrukturisasi di perbankan Rp951,2 triliun dan restrukturisasi di perusahaan pembiayaan mencapai Rp188,3 triliun
Sejak LPS beroperasi, lembaga tersebut telah melikuidasi 102 bank, salah satunya bank umum. Dengan kemampuan aset keuangan Rp 127 triliun, LPS diperkirakan mampu menyelesaikan permasalahan 1 bank besar, 1 bank menengah, dan 5 bank perkreditan rakyat dalam kondisi normal. Namun, dalam kondisi krisis, basis penyelesaian bank bermasalah tersebut dapat diperluas, dengan bantuan dana dari pemerintah dan atau penerbitan surat utang atas nama LPS. Idealnya LPS bisa memupuk cadangan penjaminan hingga 2,5 persen dari PDB.
Dari semua angka-angka yang disajikan hanya utang yang mengalami kenaikan siginifkan. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh utang dengan bunga/imbal hasil yang tinggi. Pemerintah gali lubang untuk tutup lubang, berutang untuk membayar utang. Inilah mata rantai yang harus diputus.
Pada tahun 2019 realisasi biaya bunga mencapai Rp275,5 triliun. Pada 2020 meningkat menjadi Rp314,1 triliun. Dan pada 2021 dialokasikan Rp373,26 triliun.
Ke depan, imbal hasil/bunga Surat Utang Negara (SUN) harus diturunkan. Saat ini imbal hasil SUN Indonesia masih sangat tinggi. Sebagai gambaran per 10 Januari 2020, surat utang denominasi rupiah tenor 10 tahun, Indonesia menawarkan imbal hasil sebesar 6,93 persen, sementara Filipina hanya 4,68 persen, Malaysia 3,28 persen, Vietnam 3,11 persen dan China 3,08 persen.
Memasuki 2021, Indonesia memasang target pertumbuhan ekonomi yang sangat optimis yaitu 5 persen (yoy). Target tersebut juga didukung oleh berbagai lembaga keuangan dunia yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 akan berkisar di angka 5 persen.
Namun sayang, di tengah optimisme tersebut, kasus Covid-19 kian meningkat.
Pemerintah pun kembali menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat (PPKM) di Pulau Jawa dan Bali. Periode pertama dilakukan dari 11 Januari 2021 hingga 25 Januari 2021. Dari hasil evaluasi akhirnya diputuskan diperpanjang dari 26 Januari 2021 hingga 8 Februari 2021.
Bila kasus Covid-19 terus meningkat maka ada kemungkinan PPKM akan kembali diperpanjang. Adanya PSBB dan PPKM tentunya bisa menjadi kendala memenuhi target pertumbuhan ekonomi di 2021.
Dari paparan di atas sampailah pada pertanyaan, siapa yang layak menyandang gelar Pahlawan Covidnomics? Jawabannya adalah seluruh rakyat Indonesia. Karena rakyatlah yang akan menanggung beban utang yang timbul akibat berbagai kebijakan penanganan Covid-19.
0 komentar:
Posting Komentar