Reaksi Hergun soal Pajak Pulsa hingga Token, Ada Kalimat Menjebak Rakyat


 JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan merespons keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 6/PMK.03/2021 sebagai dasar penarikan pajak PPN dan PPh atas penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. 

Dalam Pasal 21 menjelaskan bahwa aturan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Februari 2021. Namun, politikus yang beken disapa dengan panggilan Hergun ini meminta peraturan tersebut ditinjau ulang.


Pasalnya, rakyat masih terbelit kesulitan menghadapi Pandemi Covid-19. Meskipun pada 2020 dan 2021 pemerintah mengucurkan stimulus, tetapi tidak semua rakyat menikmatinya.

"Momentumnya kurang tepat memungut pajak pulsa, kartu perdana, token dan vuocer," kata Hergun kepada JPNN.com, Sabtu (30/1) malam. Terlebih lagi saat ini pemerintah masih menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Jawa-Bali, dan Pemprov DKI Jakarta masih memberlakukan PSBB. 

Mobilitas masyarakat dibatasi. Sekarang bekerja dan sekolah dilakukan dari rumah. Di sisi lain, kata legislator Partai Gerindra ini, masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik selama work from Home/WFH dan belajar secara daring bagi anak-anak mereka.

"Bila pemerintah tiba-tiba memajakinya, itu sama saja makin membebani rakyat di saat pandemi," tegas Kapoksi Partai Gerindra di Komisi XI DPR ini. 

Hergun memahami bahwa pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp 1.070 triliun, meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp 1.198,8 triliun atau hanya terealisasi 89,3 persen saja.

Namun, katanya, bukan berarti itu hal tersebut bisa menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucer.

Dia menuturkan, meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, namun tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga lebih Rp 1.000 hingga Rp .2000. Misalnya membeli pulsa Rp 10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp 12.000.

"Kami tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp 13.000 ribu untuk pembelian pulsa Rp10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat," ucap politikus asal Sukabumi itu. 

Selain itu, ketua DPP Partai Gerindra ini ini menilai pemungutan pajak terhadap token listrik ini sangat lucu. Perlu diingat bahwa pemerintahlah yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token. 

"Saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar. Namun bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak, itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat," tegas Hergun. Dia mengatakan pemerintah semestinya berterima kasih kepada rakyat yang sudah berkontribusi terhadap pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi selama Pandemi. 

Terbukti, katanya, sektor Infokom mampu menjaga pertumbuhan positif di saat sektor-sektor lain mengalami kontraksi. 

Di mana pada kuartal II-2020 sektor infokom mampu tumbuh 10,83 persen (yoy) dan kuartal III-2020 tumbuh 10,61 persen (yoy).

Selain itu, sektor infokom juga memiliki porsi yang cukup besar pada struktur PDB di kuartal II dan III-2020 yaitu masing-masing 4,66 persen dan 4,56 persen, lebih tinggi dibanding sektor jasa keuangan dan asuransi, transportasi dan pergudangan, akomodasi dan makan minum, dan lain-lain.

"Pemerintah tidak boleh berlaku diskriminatif. Di satu sisi mengucurkan berbagai insentif perpajakan kepada perusahaan-perusahaan besar. Namun pada waktu bersamaan makin intensif memungut pajak dari rakyat kecil," pungkas wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini.(fat/jpnn)

Artikel ini telah tayang di JPNN.com dengan judul
"Reaksi Hergun soal Pajak Pulsa hingga Token, Ada Kalimat Menjebak Rakyat",

0 komentar:

Posting Komentar