Skema reformasi perpajakan harus segera dirancang sebagai solusi meningkatkan penerimaan perpajakan. Tidak hanya itu, reformasi juga untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio), mengurangi defisit APBN dan memperkecil rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Pandangan ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/10/2021).
Menurutnya, sektor perpajakan membutuhkan harmonisasi regulasi. Ini bagian dari reformasi perpajakan, agar penerimaan menjadi optimal. Kunci sukses pembangunan nasional yang mandiri dan berdikari adalah terpenuhinya penerimaan negara sebagai modal pembangunan yang berkesinambungan.
“Penerimaan perpajakan telah menjadi penerimaan negara terbesar sejak 1992 dengan kontribusi mencapai 47,4 persen dan meningkat pada 2020 menjadi sebesar 65,1 persen. Namun, kontribusi tersebut belum cukup menutup pembiayaan pembangunan yang kian membesar,” papar Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan.
Masalahnya yang dihadapi negara ini adalah sering terjadi shortfall, yaitu realisasi perpajakan lebih rendah daripada target perpajakan yang ditetapkan dalam APBN. Bayangkan, sudah 12 tahun berturut-turut terjadi shortfall pajak. Terakhir kali, ungkap Hergun, penerimaan pajak mencapai target terjadi pada 2008 yang mencapai 106,7 persen atau terealisasi Rp571 triliun dari target Rp535 triliun dalam APBN.
“Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp36 triliun. Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari target. Selain shortfall pajak, angka rasio perpajakan Indonesia sejak 2010 hingga 2020 juga cenderung turun, dari 11,3 persen pada 2010 menjadi 9,8 persen pada 2019, dan pada 2020 turun lagi menjadi 8,3 persen,” urai Kapoksi Gerindra di Komisi XI itu.
Dia menambahkan, rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,3 persen. OECD sendiri, sambung Hergun, mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan (PPh).
“Terjadinya pandemi Covid-19 makin memperparah kondisi keuangan negara. Defisit APBN yang tadinya dibatasi maksimal 3 persen diberi kelonggaran bisa melebihi di atas 3 persen selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022. Pelebaran defisit APBN secara otomatis menambah akumulasi utang,” tutup pria asal Sukabumi, Jawa Barat tersebut. (ndi)
0 komentar:
Posting Komentar