“Sinergi antara Bank Indonesia sebagai regulator dan penyelenggara serta BSBI sebagai fungsi pengawasan, akan menjadikan CBCD atau Rupiah Digital akan memiliki jaminan legalitas dan keamanan. Masyarakat bisa menggunakannya baik untuk bertransaksi maupun berinvestasi secara aman dan nyaman. Terpenting, keberadaan CBCD atau Rupiah Digital mampu mendorong pertumbuhan perekonomian nasional,”
Kutipan pamungkas tersebut dilontarkan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan yang mengapresiasi wacana Bank Indonesia (BI) yang akan mengembangkan Rupiah Digital atau CBDC (Central Bank Digital Currencies).
Saat ini, Pria yang karib disapa Hergun itu menjelaskan, wacana tersebut masih dalam tahapan perumusan dan pertimbangan secara seksama mengenai manfaat dan risiko CBDC.
Ada tiga faktor yang mendorong munculnya Rupiah Digital, yaitu untuk merespon keberadaan crypto assets, meningkatnya kebutuhan transaksi keuangan digital, serta ketersediaan teknologi distributed ledger technology (DLT).
“Faktor pertama, CBCD atau Rupiah Digital diharapkan akan membendung gempuran uang kripto yang saat ini makin massif dipegang oleh masyarakat,” kata Heri Gunawan kepada awak media.
Hergun menegaskan, sesuai dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Rupiah. Karena itu, uang kripto bukan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Dia pun mengingatkan kepada masyarakat terhadap risiko menyimpan uang kripto sebagai komoditas investasi yang tidak memiliki underlying serta memiliki potensi fluktuasi yang besar.
“Meskipun ilegal sebagai alat pembayaran yang sah dan memiliki risiko tinggi, namun banyak masyarakat yang masih menyimpan uang kripto. Tugas kita semua untuk mengedukasi masyarakat agar nantinya tidak menjadi korban dari uang kripto,” lanjut Hergun yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI.
Ketua DPP Partai Gerindra ini menjelaskan, dalam laporan Kajian Stabilitas Keuangan yang dirilis Bank Indonesia, jumlah investor kripto pada Juni 2021 diperkirakan telah mencapai kurang lebih 6,5 juta. Jumlah ini bahkan dua kali lebih banyak dibandingkan investor pasar saham yang mencapai sekitar 2,4 juta investor.
“Meningkatnya popularitas uang kripto pada beberapa tahun terakhir menimbulkan kekhawatiran dampaknya terhadap efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan,” ujar Hergun.
Selain membendung keberadaan uang kripto, lanjut Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra pada DPR RI, keberadaan Rupiah Digital juga untuk merespons meningkatnya kebutuhan transaksi keuangan digital.
“Faktor kedua, CBDC atau Rupiah Digital akan melengkapi sistem pembayaran yang ada dengan uang kartal berbentuk digital. Sesuai dengan definisi dasarnya, uang memiliki fungsi sebagai alat pembayaran, media penyimpanan nilai, dan satuan hitung,” tambah Hergun yang juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra.
Perlu diketahui, transaksi e-commerce terus meningkat dan Indonesia memiliki pasar terbesar di Asia Tenggara. Pertumbuhan transaksi e-commerce di Indonesia terus bertumbuh dengan cepat dan mencapai gross merchandise value (GMV) sebesar US$ 35 miliar atau setara Rp 498 triliun pada tahun 2020.
“Dengan akselerasi pertumbuhan yang cepat ini, pasar e-commerce Indonesia di tahun 2025 diperkirakan sebesar US$104 miliar. Dengan ukuran pasar sebesar itu, Indonesia diperkirakan menjadi pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara,” kata Hergun.
Lebih lanjut, kata Hergun, perkembangan pesat e-commerce mendorong meluasnya pemanfaatan digital payment. Di tengah mulai merebaknya penggunaan e-commerce, masyarakat juga menuntut cara penyelesaian transaksi yang mudah, murah dan aman, termasuk tata cara pembayarannya.
Menurut data Bank Indonesia, pembayaran transaksi e-commerce di triwulan III-2021 didominasi metode pembayaran melalui transfer bank (36%), diikuti uang elektronik (30%), kredit tanpa kartu (11%), kartu kredit/debit online (10%), dan lainnya (6%). Hanya 7% nilai transaksi e-commerce yang diselesaikan dengan metode pembayaran cash on delivery (COD) atau secara tunai.
“Data ini mengindikasikan bahwa semakin maraknya tren berbelanja di e-commerce diikuti semakin fasih dan meluasnya masyarakat yang menggunakan jasa pembayaran digital. Untuk merespon hal tersebut, maka CBCD atau Rupiah Digital berpotensi melengkapi sistem pembayaran yang sudah ada,” ujar legislator Dapil Kota/Kabupaten Sukabumi.
Bank Indonesia memprediksi pada 2022 ekonomi keuangan digital akan meningkat pesat. Transaksi e-commerce akan mencapai Rp530 triliun, transaksi uang elektronik akan mencapai Rp337 triliun, serta transaksi digital banking diperkirakan mencapai lebih dari Rp48.000 triliun.
Masyarakat juga sudah mulai terbiasa untuk bertransaksi dengan uang digital yang disimpan secara tersentralisasi melalui Bank atau fintech. CBDC merupakan uang digital yang disimpan negara dan menjadi kewajiban langsung Bank Sentral layaknya uang kartal yang beredar.
“Melalui CBDC atau Rupiah Digital, uang kartal yang diedarkan kepada masyarakat dapat berbentuk digital yang disimpan secara terdesentralisasi dan dapat diakses oleh masyarakat secara langsung tanpa melalui pihak ketiga,” ujar Hergun.
“Hal tersebut akan mendorong efisiensi distribusi uang, memperluas akses masyarakat terhadap teknologi digital, serta mendorong sistem pembayaran yang lebih efisien,” lanjut Hergun Faktor ketiga, CBCD atau Rupiah Digital akan memanfatkan ketersediaan teknologi distributed ledger technology (DLT).
“Teknologi blockchain dan distributed ledger technology (DLT) membawa peluang bagi Bank Sentral untuk memperbaharui dan membangun sistem pembayaran yang lebih efisien dan sejalan dengan meningkatnya transaksi secara digital,” kata Hergun.
Rencana CBCD oleh Bank Indonesia juga sedang dikaji oleh sejumlah Bank Sentral di dunia sebagai respon meningkatnya kebutuhan pembayaran secara digital dengan tetap menjaga kedaulatan mata uang negara.
Survei dari Bank for International Settlement (BIS) pada tahun 2020 mengindikasikan bahwa 60% dari Bank Sentral di dunia mulai mempertimbangkan penerapan CBDC. Dari jumlah tersebut, 14% diantaranya telah melakukan uji coba awal untuk pemanfaatan CBDC sebagai alat pembayaran.
“Sebagaimana Bank Indonesia, sejumlah bank sentral di dunia telah melakukan proyek-proyek uji coba CBDC agar implementasi CBDC tidak menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan,” ujar Hergun.
Saat ini, terdapat dua negara yang telah meluncurkan CBDC secara penuh yaitu negara Bahama dan Nigeria. Pada Oktober 2020, negara kepulauan Bahama meluncurkan Sand Dollar sebagai alternatif uang kartal. Pada Oktober 2021, Bank Sentral Nigeria menerbitkan e-Naira.
Beberapa negara lain seperti Tiongkok, Singapura, Jamaika dan Organisasi Negara-Negara Karibia Timur juga telah meluncurkan pilot project pemanfaatan CBDC. Terdapat pula negara-negara yang berada dalam tahapan pengembangan kajian untuk mempertimbangkan atau mempersiapkan penerapan CBDC di negaranya.
Politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) menambahkan, bila dikaji secara mendalam, setidaknya ada tiga manfaat rupiah digital.
Pertama, rupiah digital akan menciptakan efisiensi karena peredarannya melalui platform teknologi digital blockchain dan distributed ledger technology (DLT). Kedua, rupiah digital bakal menekan biaya transaksi di perbankan. Ketiga, rupiah digital akan menghemat dari sisi ritel karena biaya transaksi yang rendah.
“Namun, selain memiliki kegunaan, Rupiah Digital juga menghadapi tantangan untuk menjadi alat pembayaran yang sah,” tegas Hergun
Tantangan tersebut meliputi mendesain mata uang digital agar dapat diterbitkan dan diedarkan, mengintegrasikan antara infrastruktur sistem pembayaran dengan pasar keuangan, serta platform digital yang akan digunakan rupiah digital.
“Spesifikasi Rupiah Digital masih didalami di Bank Indonesia. Setidaknya ada dua opsi pendekatan (mekanisme distribusi) yakni one tier atau secara langsung atau two tier atau secara tidak langsung,” ujar Hergun.
Dengan skema one-tier, rupiah digital bisa didistirbusikan langsung dari bank sentral kepada masyarakat atau perusahaan. Sementara dengan skema two-tier, maka rupiah digital akan didistribusikan terlebih dulu kepada perbankan, kemudian baru disalurkan kepada masyarakat.
“Skema kedua dipandang lebih tepat pasalnya mirip dengan mekanisme pendistribusian uang kartal dan uang logam saat ini,” tegas Hergun.
“Dengan pertimbangan di atas, saya kira Indonesia sudah siap menyambut kehadiran CBDC atau Rupiah Digital. Namun, Bank Indonesia sebagai regulator dan sekaligus penyelenggara perlu memperkuat sisi legalitas dan keamanannya. Hal tersebut untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kebocoran data,” kata Hergun.
Selain itu, lanjut Hergun, peran Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) juga perlu diperkuat. Pasalnya, sistem CBCD akan memungkinkan Bank Indonesia mengetahui secara riil time lalu lintas uang masyarakat. Hal tersebut jangan sampai disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab. Maka, peran pengawasan oleh BSBI menjadi sangat penting untuk mendukung operasional CBCD atau Rupiah Digital.
“Sinergi antara Bank Indonesia sebagai regulator dan penyelenggara serta BSBI sebagai fungsi pengawasan, akan menjadikan CBCD atau Rupiah Digital akan memiliki jaminan legalitas dan keamanan. Masyarakat bisa menggunakannya baik untuk bertransaksi maupun berinvestasi secara aman dan nyaman. Terpenting, keberadaan CBCD atau Rupiah Digital mampu mendorong pertumbuhan perekonomian nasional,” tutup Hergun.
Perlu diketahui, CBDC adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk ‘menggantikan’ uang kartal.
sumber : https://jurnalsukabumi.com/2021/12/13/tiga-faktor-alasan-kuat-dukungan-hergun-terhadap-rupiah-digital-apa-saja/
0 komentar:
Posting Komentar