Jakarta - Pemerintah saat ini sedang menggodok pembahasan terkait proyeksi dan penyusunan asumsi ekonomi dalam RAPBN 2017. Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan ekonomi membaik dengan stabilitas makro ekonomi yang tetap terjaga. Dalam penjelasannya pemerintah mengasumsikan: (1) pertumbuhan ekonomi 5,3-5,9 persen; (2) inflasi antara 3-5 persen; (3) nilai tukar 13.650-13.900 rupiah per dolar Amerika; (4) SBN 5-5,5 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan menilai, pemerintah harus lebih realistis dalam mematok asumsi makro dalam RAPBN 2017. Pada konteks ini, asumsi-asumsi yang ada harus disesuaikan dengan perkembangan ekonomi domestik dan global yang masih diliputi ketidakpastian. Sebab itu, pemerintah harus lebih matang melakukan proyeksi. Data-datanya harus selalu up to date. Jika tidak, perekonomian negara tetap saja jatuh.
“Pemerintah harus lebih kreatif dalam menggenjot penerimaan yang diproyeksikan cenderung menurun. Merujuk pada APBN-P 2016, pendapatan turun sebesar 88.05 triliun rupiah dibanding APBN sebelumnya. Penurunan itu tentu akan berdampak pada realisasi target-target pembangunan yang bersifat strategis dan prioritas, terutama terkait kedaulatan pangan dan infrastruktur,” ujar Heri, di Jakarta, Selasa (19/07/2016).
Selain itu, lanjut Heri, pemerintah harus mampu menyiasati penerimaan yang masih bergantung dari pajak yang dimana dalam APBN-P 2016 proporsinya sudah mencapai 88,04 persen. Padahal, penerimaan pajak cenderung menurun dari tahun ke tahun.
“Perlu diketahui, penerimaan Pajak kuartal I tahun 2016 turun 4 triliun rupiah dibanding periode yang sama tahun 2015. Secara total, penerimaan pajak kuartal I tahun ini baru mencapai 194 triliun rupiah. Lebih spesifik lagi, penerimaan pajak dari bea-cukai masih belum optimal. Hingga Juni 2016 baru mencapai 33,23 persen dari target,” ucapnya.
Menurut politisi partai Gerindra ini, penerimaan yang tidak optimal pasti akan berdampak pada penurunan belanja pemerintah. Dalam APBN-P 2016, belanja pemerintah turun 47.88 triliun rupiah akibat revisi penerimaan yang turun. Untuk itu, pemerintah mesti melakukan langkah-langkah strategis antara lain. Pertama, belanja negara harus lebih fokus pada agenda prioritas dan strategis yang terukur dan berdampak pada perekonomian nasional. Kedua, optimalisasi dan efisiensi belanja ke program-program produktif ketimbang program yang bersifat rutin.
“Ketiga, mendorong percepatan belanja, baik pusat dan daerah, secara lebih agresif, terbuka, dan tepat sasaran. Tidak boleh lagi ada anggaran yang “mengendap” dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, anggaran kedaulatan pangan yang mencapai 70 triliun rupiah tapi dampak penggunaannya tidak terukur,” jelasnya.
Melihat persoalan saat ini, tegas Heri, pemerintah mesti memberi perhatian serius pada beberapa hal. Pertama, mengenai persoalan BI rate yang masih tidak menentu. Selain faktor eksternal, juga karena inflasi yang masih di koridor target 3-4 persen. Selain itu, SBN masih kurang mendukung terbangunnya iklim bisnis yang kondusif. Kondisi itu berakibat pada ketidakpastian ekspansi bisnis. Setidak-tidaknya bisnis tetap saja stagnan.
Lalu yang kedua, perlambatan ekonomi mitra dagang, terutama Cina yang sedang hangat-hangatnya dengan Indonesia. Ke depan, ekonomi Cina diprediksi terus mengalami perlambatan karena adanya kondisi rapid aging society atau banyaknya populasi berumur tua yang cepat. Ketiga, ancaman arus modal keluar dalam jangka pendek yang bisa menekan nilai tukar rupiah. Dari beberapa kajian yang ada seperti yang disampaikan Fakultas Ekonomi UI yang mengemukakan bahwa depresiasi rupiah sepanjang tahun 2016 yang berkisar di atas 14.000 rupiah.
“Lalu yang keempat, utang yang sudah mencapai lebih dari 4000 triliun rupiah yang berpotensi menciptakan defisit APBN yang dari tahun ke tahun makin lebar (terakhir sebesar 2,48 persen). Dampaknya tidak sampai di situ. Penumpukan utang itu akan terus mengancam cadangan devisa yang saat ini tercatat 109,8 miliar dolar Amerika dan hanya bisa bertahan hingga 8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa itu memang meningkat, tapi peningkatan itu hanya karena adanya penerbitan global bonds pemerintah dan hasil lelang surat berharga bank Indonesia (SBBI), yang sebenarnya juga adalah utang,” ujarnya.
Terakhir yang kelima, risiko penyerapan anggaran di daerah yang kecil. Itu tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah mengingat selama ini mesin ekonomi di daerah masih didominasi oleh konsumsi dan investasi pemerintah.
Dengan keadaan seperti itu, lanjut Heri, ke depan perekonomian nasional tetap tidak akan menunjukkan perkembangan yang lebih baik.
“Ringkasnya, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak akan mengubah apapun. Yang miskin tetap miskin. Yang rentan miskin sangat mungkin jatuh miskin. Untuk diketahui, saat ini, jumlah penduduk miskin sudah mencapai 28,51 juta orang atau sekitar 11,13 persen,” ujarnya.
Kalau kita melihat dari sektor pengangguran, sambung Heri, akan semakin bertambah dari angka saat ini yang mencapai hampir delapan juta orang menurut data BPS tahun 2016. Sebab, hingga saat ini, pemerintah tidak mampu mencetak lapangan kerja baru. Bahkan, yang terjadi justru lebih menyedihkan sebagian besar satuan bisnis termasuk UMKM melakukan efisiensi. Bahkan, tidak sedikit yang tutup karena beban operasional yang makin tinggi sedang pasar masih lesu.
“Yang menyedihkan lagi, lapangan kerja tersedia yang sempit dan terbatas mulai diisi oleh tenaga kerja asing,” ucapnya.
Heri menambahkan, pemerintah harus lebih bekerja keras lagi dalam mendorong perekonomian nasional yang kuat dan punya dampak nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Dapat dilihat dari berbagai survei yang ada, mayoritas masyarakat sekitar 70 persen menilai buruk kesejahteraan masyarakat pada pemerintahan Jokowi. Sementara itu, masyarakat yang tidak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi di atas 50 persen dan akan terus meningkat sejak dilantik pada Oktober 2014 lalu. Semuanya karena pemerintah dianggap gagal menciptakan perekonomian nasional yang kuat. Ini sudah waktunya menjadi warning keras bagi pemerintahan ini untuk tidak santai.
“Berdasarkan alasan-alasan itu, maka idealnya penyusunan RAPBN, sekali lagi, harus lebih realistis dan didasarkan pada kondisi perkembangan ekonomi mutakhir. Pemerintah dapat memulai belanja yang lebih fokus dan terukur dampak lewat prioritas yang disusun berdasarkan prinsip money follow program yang dikoordinir oleh Bappenas, sehingga asumsi-asumsi yang dipatok RAPBN mewakili cita-cita pembangunan yang berkualitas dan berkeadilan yang dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia,” pungkas Heri.
0 komentar:
Posting Komentar