BUNG HATTA DAN KOPERASI SEBAGAI SOKO GURU KESEJAHTERAAN

Oleh: Heri GunawanAnggota Komisi XI DPR RI 
Fraksi Partai GERINDRA Dapil Jawa Barat IV


Apa bentuk perekonomian yang paling “pas” untuk Indonesia? Ini adalah pertanyaan penting yang diajukan para pendiri bangsa—yang oleh Bung Hatta dijawab dengan tegas: KOPERASI (kerjasama, cooperative).

Koperasi itu adalah wujud konkret dari pikiran-pikiran besar para pendiri bangsa tentang cita-cita sistem perekonomian sebagai “usaha bersama” yang dijalankan berdasarkan atas azas “kekeluargaan.”

Gagasan itu muncul dari kesadaran bahwa kapitalisme tak cocok dengan alam Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan menyebutnya sebagai “suatu tanaman asing di negeri asing.” Sebuah konsepsi yang tidak bisa dijalankan dalam kultur dan sistem sosial asli bangsa Indonesia, yakni kolektivisme.

Harus dipahami bahwa masyarakat kita adalah masyarakat gotong-royong. Masyarakat kolektif. Masyarakat yang gemar tolong-menolong, bahu-membahu, udunan, dsb. Seluruh nilai itu sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi yang mengedepankan kebersamaan serta mendidik toleransi dan rasa tanggung-jawab.

Tidak heran, Bung Hatta menyebut koperasi sebagai media pendidikan dan penguatan demokrasi sebagai cita-cita bangsa. Lebih jauh, Bung Hatta mengatakan, koperasi juga akan mendidik semangat percaya pada kekuatan sendiri (self help), Berdikari. Yang lebih penting lagi, kata Bung Hatta, koperasi bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat. Koperasi bisa merasionalkan perekonomian, yakni dengan mempersingkat jalan produksi ke konsumsi. Bagi Bung Hatta, koperasi merupakan senjata persekutuan si lemah untuk mempertahankan hidupnya.

Saat ini, berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah koperasi sebesar 140 ribu. Sayangnya, data itu hanya hasil proyeksi dari data tahun 2006. Artinya, data itu validitasnya masih terhitung lemah. Celakanya, dari data yang tidak terlalu valid itu, lebih dari 70% hanya “papan nama.” Bahkan, di sejumlah tempat, koperasi menjadi “ruang” transaksi dana-dana asing yang patut diduga dipakai untuk tujuan penguasaan sumber daya lokal.

Kondisi itu sangat menyedihkan. Sebab, sejak awal, koperasi ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara riil dan mengakar sampai bawah. Menciptakan Ekonomi Berdikari yang kuat, adil dan merata.

Jauh sebelum ini, Bung Hatta, yang digelari Bapak Koperasi Indonesia, sudah mengingatkan tantangan yang akan dihadapi koperasi. Beliau telah mewanti-wanti berbagai bentuk penyelewengan terhadap koperasi. Di masa lalu, katanya, hal ini membuat gerakan koperasi ambruk. Di masa lalu itu, ujar Bung Hatta, keadaan koperasi tak bedah jauh dengan kongsi biasa. Ironisnya, koperasi menjadi lahan mencari keuntungan. Inilah yang membawa malapetaka: gerakan koperasi mencekek lehernya sendiri.

Setidaknya ada dua bentuk kesalahan penyelenggaraan koperasi di masa lalu :

Pertama, koperasi mendorong anggotanya sangat giat untuk mendapatkan dividen yang besar di akhir tahun. Caranya: koperasi menjual mahal kepada anggotanya. Nah, supaya anggota tak membeli di “tempat lain”, maka para anggota diharuskan membeli di koperasi sendiri. Kalau tidak mau dicap “penghianat”. Konsekuensinya, anggota yang membeli paling sering tentu memberi keuntungan paling besar bagi koperasi.

Sementara itu, anggota yang paling jarang membeli akan mendapat untung besar dari kawannya yang membeli banyak. Bagi Bung Hatta, jenis koperasi ini hanya akan memupuk egoisme anggotanya.

Kedua, ‘kepicikan faham’ dalam menjalankan taktik penjualan. Di sini, koperasi hanya menjalankan penjualan pada anggotanya sendiri. Sedangkan orang luar dilarang membeli. Tindakan ini, kata Bung Hatta, justru mengecilkan penjualan.

Kalau penjualan kecil, maka ongkos—sewa toko, gaji personil, biaya listrik, dll—akan mahal. Biasanya, supaya tak rugi, koperasi terpaksa menjual mahal barang-barangnya. Sedangkan kalau penjualan besar, maka ongkos pun menjadi ringan.

Jadi, penjualan memang harus dibuka ke masyarakat umum. Apalagi, kata Bung Hatta, koperasi bukanlah persekutuan egoisme segolongan manusia. Koperasi diciptakan untuk menjadi persekutuan ekonomi si lemah (anggota dan non-anggota).

Ketiga, koperasi dibangun untuk mengejar keuntungan. Akibatnya, koperasi tak ada bedanya dengan perseroan atau perusahaan. Bung Hatta, koperasi memang memerlukan keuntungan, namun itu bukan tujuan utama. Yang utama, kata Bung Hatta, adalah usaha bersama untuk memurahkan pembelian anggotanya.

Nah, kalaupun ada keuntungan dari kegiatan koperasi, Bung Hatta mengusulkan agar keuntungan itu dipakai sebagai tambahan modal atau dana cadangan. Dengan begitu, koperasi tak perlu terganggu kalau ada anggota yang mundur. Maklum, kalau ada anggota yang mundur, berarti uang iurannya harus dikembalikan. Artinya, modal koperasi akan berkurang. Itu akan ditalangi oleh keuntungan tadi.


Keempat, karena orientasinya adalah keuntungan, maka saat ini, operasi manajemen koperasi adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hal itu tidak jarang mengorbankan anggota. Hak-hak anggota tercerabut dan tidak jarang hanya jadi “hiasan” dalam AD/ART koperasi.

Lantas, di mana untungnya anggota koperasi? Bagi Hatta, keuntungan menjadi anggota koperasi adalah mencapai keperluan hidup, yakni barang kebutuhan, dengan harga semurah-murahnya.

Seperti disebutkan di atas, tujuan koperasi bukanlah menggali keuntungan, melainkan memenuhi kebutuhan bersama. Agar berhasil, kata Bung Hatta, maka koperasi mesti berdiri pada tiang penyanggahnya, yaitu solidaritas. Semangat setia bersekutu, kerja sama berdasarkan azas kekeluargaan.

Kebersamaan itu harus didasarkan pada kesadaran untuk mencapai keperluan hidup bersama-sama. Dan di sinilah cerminan kultur bangsa Indonesia yang asli harus terlihat, yaitu sifat yang menunjukkan kehalusan budi dan keteguhan watak. Salah satu contohnya adalah kejujuran.

Inilah sifat yang harus melandasi gerakan koperasi. Kalau koperasi tak dilandasi semangat solidaritas, maka anggota tak akan menemukan kepentingan bersama. Jadinya, koperasi dijadikan alat untuk mencapai keperluan pribadi.

Ujungnya, semangat berkoperasi menjadi nihil. Manusia yang tak punya semangat untuk memperjuangkan hidupnya akan cenderung pasrah pada nasib dan akibatnya membiarkan koperasi berjalan tak ubahnya korporasi berwatak kapitalisme.

Sebab itu, ke depan, koperasi harus diikat diikat dengan peraturan-peraturan yang ketat. Peraturan itu harus mampu mengejawantahkan semangat Pasal 33 UUD 1945. Ini penting sebagai aturan main dalam menjalankan koperasi itu. Dan karena itu pula, ketika saya—yang ditugaskan oleh Partai GERINDRA—sebagai Pimpinan di Komisi VI DPR RI yang membawahi Kementerian UKM dan Koperasi, mulai mendiskusikan pikiran-pikiran besar Bung Hatta tersebut sebagai basis pandangan-pandangan fraksi di DPR. Sayangnya, hingga hari ini, revisi atas UU No. 17 Tahun 2012 yang merupakan atas UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, masih mandeg.

Karena itu, perjuangan belum usai. Masih banyak pekerjaan rumah perkoperasian yang harus dibereskan. Lebih-lebih kita, khususnya di Kab/Kota Sukabumi sedang menghadapi 3 (tiga) tantangan besar, yaitu: sempitnya kesempatan kerja, lemahnya daya saing, dan pasar bebas seperti MEA yang menuntut adanya kekuatan SDM dan sistem yang kuat.

Karena itu, untuk menghadapi hal tersebut, kita harus kembali ke model perekonomian yang sesuai dengan kultur dan identitas kita sebagai bangsa dengan sifat dan budi pekerti yang luhur. Yang bekerja bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Dan itu tidak lain mengembalikan KOPERASI sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Soko guru kesejahteraan!

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, meridhoi perjuangan kita semua. Atas nama warga Sukabumi, Saya Heri Gunawan. Terimakasih

* Disampaikan pada acara Intermediasi Antar Lembaga yang diadakan oleh Dekopinda Kota Sukabumi, Hotel Berlian, 11 Agustus 2016




0 komentar:

Posting Komentar