Kemelut Gagal Bayar Jiwasraya Tak Cukup Lewat Jalur Hukum, Perlu Dibentuk Pansus

Jakarta, Jurnas.com - Banyak pihak mendesak agar DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Jiwasraya. Sebab, dengan pansus, diyakini akan mampu mengurai dan mencarikan solusi atas kemelut gagal bayar Asuransi Jiwasraya.

 Di antara argumen membentuk Pansus karena opini tentang Jiwasraya berkembang semakin liar. Masing-masing pihak berbicara menurut perspektif dan kepentingannya.

 Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan meminta agar sejumlah pihak menghentikan perang opini atau diskursus yang tidak produktif terkait skandal Jiwasraya. "Jiwasraya membutuhkan solusi secepatnya," kata Heri Gunawan kepada wartawan, Minggu (29/12/2019). Menurut Politikus Gerindra itu upaya mengusut skandal Jiwasraya bisa ditempuh melalui dua jalur, yakni jalur hukum dan jalur politik. Untuk penyelesaian melalui jalur hukum, terang dia, sudah memasuki babak baru dengan dicekalnya 10 orang oleh Kejaksaan Agung.

 Sementara itu, untuk penyelesaian melalui jalur politik, kata dia, bisa dilakukan dengan membentuk Pansus Jiwasraya. "DPR melalui fungsi pengawasannya dapat memanggil siapa pun untuk dikorek keterangannya, termasuk kantor akuntan publik, perusahaan reasuransi, perusahaan penilai, manajer investasi dan bursa efek Indonesia serta perbankan yang bekerjasama dan rapat konsultasi dengan BPK," ujar Heri Gunawan.

 Di sinilah nantinya, kata Mantan wakil ketua komisi VI DPR itu, perlu ada formulasi rentang waktu yang tepat, sejak kapan terjadinya kemelut di Jiwasraya, untuk apa dan siapa saja yang terlibat. "Salah satu instrumen yang dapat dijadikan sumber telaah adalah neraca keuangan Jiwasraya.

Sejak tahun berapa neraca keuangan Jiwasraya mengalami pendarahan," kata Legislator dari dapil Jabar IV itu. Tahun 2006, ekuitas Jiwasraya sudah negatif Rp 3,29 Triliun. Anehnya, Kantor Akuntan Publik Soejatna, Mulyana dan Rekan memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Tahun 2007 tetap WTP. Namun BPK memberikan opini disclaimer.

 Memasuki tahun 2008 defisit semakin melebar yakni mencapai Rp 5,7 Triliun. Kantor Akuntan Publik memberikan status WDP. Pada tahun 2008 ini, dipilih Direktur Utama Hendrisman Rahim, Indra Catarya Situmeang sebagai Direktur Pertanggungan, De Yong Adrian sebagai Direktur Pemasaran, dan Hary Prasetyo sebagai Direktur Keuangan. Pada 31 Desember 2009, ekuitas surplus Rp. 800 milyar dari semula defisit Rp 6,9 triliun.

Melalui mekanisme reasuransi, kewajiban klaim hanya dicatat Rp. 4,7 triliun dari yang seharusnya Rp. 10,7 triliun. Pada tahun ini Direksi Jiwasraya mengajukan PMN namun ditolak. Surplus Rp. 800 miliar mengantarkan Jiwasraya kembali meraih opini WTP. Pada tahun 2010-2012, model reinsurance kembali diteruskan. Jiwasraya diganjar opini WTP oleh KAP Soejatna, Mulyana & Rekan dan KAP Hertanto, Sidik & Rekan. Pada 31 Desember 2013, ekuitas Jiwasraya menunjukkan surplus Rp 1,75 triliun.

Model reasurasi dihentikan dan diganti dengan revaluasi aset. Dampaknya, aset melonjak dari Rp 208 Miliar menjadi Rp 6,3 Triliun. KAP Hertanto, Sidik & Rekan mengganjar opini WTP. Pada Juni 2012, di bawah pengawasan OJK rejim Muliaman Hadad, Dumoli, Firdaus Djaelani, Jiwasraya menerbitkan JS Saving Plan yang bekerja sama dengan tujuh bank yaitu BTN, Bank ANZ, Bank QNB, BRI, Bank KEB Hana, Bank Victoria dan Standard Chartered Indonesia.

 JS Saving plan adalah asuransi sekaligus investasi yang menyasar kelas menengah atas dengan premi dibayarkan sekaligus Rp 100 juta dan memberi imbal hasil 9% sampai dengan 13%. Pada 2014 - 2016, Jiwasraya melaporkan ekuitas surplus berturut-turut Rp 2,4 triliun, Rp 3,4 triliun dan Rp 5,4 triliun.

Pada 2014, pertumbuhan laba mencapai 44% menjadi Rp 661 miliar. Ekuitas yang surplus disebabkan nilai pasar aset investasi keuangan overstated (melebihi realita) dan cadangan premi tercatat understated (di bawah nilai sebenarnya) Pada 31 Desember 2017, ekuitas surplus Rp. 5,6 triliun tapi kekurangan cadangan Rp. 7,7 triliun.

KAP PwC mengganjar opini adverse/dengan modifikasian. Pada 31 Desember 2018 sebesar Rp. 802 milyar. Jumlah gagal bayar terus membengkak, periode Oktober-November 2019 jumlah gagal bayar mencapai Rp. 12,4 triliun. Selain itu masih ada 5,5 juta pemegang polis yang menunggu kejelasan.



Sumber : http://www.jurnas.com/mobile/artikel/64786/Kemelut-Gagal-Bayar-Jiwasraya-Tak-Cukup-Lewat-Jalur-Hukum-Perlu-Dibentuk-Pansus-/















0 komentar:

Posting Komentar