Tanggulangi BPJS Defisit, Ini Empat Poin Solusi Heri Gunawan


JURNALSUKABUMI.CM – Keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pasca putusan Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran yang diberlakukan pemerintah sejak 1 Januari 2020. Mengalami Defisit, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyodorkan empat solusi yang bisa dijalankan pemerintah untuk menutup defisit tersebut.
Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI ini menjelaskan, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Gabungan DPR RI pada 18 Februari 2020 menyatakan, BPJS Kesehatan meski sudah diberikan suntikan Rp13,5 triliun, masih tetap gagal bayar senilai Rp15,5 triliun.
“Defisit itu akan ditutup dengan kenaikan iuran peserta BPJS yang diberlakukan sejak 1 Januari 2020, namun kebijakan tersebut dibatalkan oleh MA. Maka dari itu, BPJS Kesehatan harus mencari solusi lain untuk menutup defisitnya sebesar Rp15,5 triliun pada 2019,” ungkap Anggota DPR RI dengan panggilan beken Hergun, kepada jurnalsukabumi.com.
Diketahui, kenaikan itu didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo 24 Oktober 2019.
Pada Pasal 34 Perpres tersebut menyatakan iuran peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas 3 akan meningkat menjadi Rp42.000, dari sebelumnya Rp25.500. Iuran peserta atau mandiri kelas 2 akan meningkat Rp 51.000 menjadi Rp110.000, dan iuran peserta kelas 1 akan naik dari Rp80.000 menjadi Rp 160.000. Kenaikan mulai berlaku 1 Januari 2020.
Namun, pada 27 Februari 2020, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu melalui putusan judicial review terhadap Perpres 75/2019. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan sejumlah undang-undang.
Nah, Hergun yang juga Ketua DPP Gerindra, menyodorkan empat solusi yang bisa dijalankan guna menutup defisit BPJS Kesehatan tersebut. Pertama, optimalisasi pembayaran iuran dari peserta.
BPJS Kesehatan mencatat, per 27 Desember 2019, jumlah peserta baru mencapai 224,1 juta atau 83% dari total penduduk Indonesia 269 juta orang. Kepesertaan BPJS terdiri dari; peserta penerima bantuan iuran (PBI) Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) berjumlah 96,5 juta orang, peserta PBI Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) 38,8 juta orang.
Kemudian, peserta pekerja penerima upah (PPU) Pegawai Negeri Sipil (PNS) 14,7 juta orang, PPU TNI sebanyak 1,57 juta orang, PPU Polri sebanyak 1,28 juta orang, PPU BUMN sebanyak 1,57 juta, PPU BUMD 210 ribu peserta, PPU swasta 34,1 juta, PPU Pekerja Mandiri 30,2 juta dan Peserta bukan pekerja mencapai 5,01 juta peserta.
“Saat ini kepatuhan peserta mandiri dalam membayar iuran baru mencapai 62 persen. Artinya masih ada sisa 38 persen yang harus dikejar iuranya,” kata legislator asal Sukabumi.
Solusi kedua, cost sharing atau urun biaya khusus untuk penyakit katastropik dan diderita oleh peserta mandiri. Negara di dunia yang menerapkan cost sharing antara lain AS dan Jerman. Skema itu diterapkan karena jenis penyakit katastropik yang berjumlah 9 penyakit seperti jantung, stroke, cuci darah dan lainnya, menjadi penyumbang klaim terbesar BPJS dan berasal dari peserta mandiri.
Ketiga, subsidi silang dari cukai rokok. Penerimaan cukai pada tahun 2019 mencapai Rp172,33 triliun atau tumbuh 8% dari target yang ditetapkan Rp165,5 triliun. Cukai hasil tembakau menyumbang penerimaan terbesar yakni Rp164,87 triliun. Kemudian dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp7,3 triliun, dan cukai etil alkohol (EA) sebesar Rp120 miliar.
“Terakhir, pemerintah menutup sisa defisit BPJS Kesehatan dengan menggunakan dana SAL (Sisa Anggaran Lebih) yang jumlahnya mencapai Rp160 triliun,” pungkasnya.
Reporter: Hendi
Redaktur: FK Robbi

0 komentar:

Posting Komentar