Oleh : Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Gerindra
Sesuai yang diprediksi banyak pihak, akhirnya Indonesia masuk jurang resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III-2020 kembali minus 3,49 persen. Di kuartal II lalu juga minus 5,32 persen. Karena dua kuartal berturut-turut ekonomi tumbuh negatif, maka Indonesia pun dinyatakan masuk fase resesi ekonomi.
Selain telah resmi dinyatakan resesi, secara kumulatif pun selama 2020 dari kuartal I, kuartal II, dan kuartal III, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar minus 2,03%. Jadi ada 2 pukulan telak, yaitu resesi dan pertumbuhan ekonomi secara kumulatif yang masih negatif selama 2020.
Masuknya Indonesia dalam jurang resesi pada 2020 mengingatkan kembali peristiwa kelam 1998. Krisis ekonomi super dahsyat pada 1998 diawali dengan resesi. Terjadinya krisis ekonomi 1998 tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah kala itu yang terlalu percaya diri atas fundamental ekonomi. Dirasa kuat nyatanya keropos.
Sikap terlalu percaya diri itu juga yang saat ini dipertontonkan pemerintah. Kritik akan terjadinya kemunduran ekonomi tidak diindahkan. Pemerintah terus memproduksi alibi bahwa perekonomian Indonesia masih lebih baik dari negara lain. Faktor eksternal selalu dijadikan tameng menutupi kelemahan fundamental ekonomi domestik.
Fundamental ekonomi yang keropos ditutupi dengan memproduksi utang secara berlebihan. Pemerintah pun tidak segan-segan menawarkan kupon setinggi langit. Akibatnya, utang Indonesia membengkak. Namun target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai.
Tibalah masa Pandemi. Hampir semua mesin produksi mengalami kontraksi. Resesi menjadi ancaman nyata. Namun pemerintah tetap percaya diri membuat prediksi yang berlebihan. Pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 berkisar 0 persen hingga minus 2,1 persen. Target tersebut jauh dari fakta yang akhirnya dirilis BPS yakni minus 3,49 persen. Salah prediksi sangat fatal terhadap perekonomian Indonesia.
Laporan BPS
Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku triwulan III-2020 mencapai Rp3.894,7 triliun. Capaian tersebut mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 3,49 persen secara tahunan.
Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 16,70 persen, disusul Akomodasi & Makan Minum minus 11,86 persen, Jasa Perusahaan minus 7,61 persen, Jasa Lainnya minus 5,55 persen, Perdagangan minus 5,03 persen, Konstruksi minus 4,52 persen, Industri minus 4,31 persen, Pertambangan minus 4,28 persen, Pengadaan Listrik & Gas minus 2,44 peren dan Jasa Keuangan minus 0,95 persen.
Sektor yang menyumbang pertumbuhan positif adalah Jasa Kesehatan 15,33 persen, Infokom 10,61 persen, Pengadaan Air 6,04 persen, Jasa Pendidikan 2,44 persen, Pertanian 2,15 persen, Real Estate 1,98 persen, dan Administrasi Pemerintahan 1,86 persen.
Pertumbuhan positif sejumlah sektor dipicu oleh kebijakan dan kebiasaan baru menghadapi Covid19. Misalnya kenaikan Infokom dipicu kebijakan Bekerja dan Belajar dari rumah sehingga pemakaian internet melonjak. Dan pertumbuhan Pertanian karena adanya stimulus Bansos Beras sehingga rakyat bersemangat menanam padi.
Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 10,82 persen, disusul Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) minus 6,48 persen, Konsumsi Rumah Tangga minus 4,04 persen, dan Konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 2,12 persen. Hanya konsumsi Pemerintah yang naik 9,76 persen setelah pada kuartal sebelumnya minus 6,90 persen.
Selain itu, BPS juga melaporkan bahwa struktur ekonomi Indonesia secara spasial pada triwulan III-2020 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa sebesar 58,88 persen, dengan kinerja ekonomi minus 4 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 pada seluruh kelompok pulau di Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan. Kelompok provinsi di Pulau Bali dan Nusa Tenggara minus 6,80 persen, Kalimantan minus 4,23 persen, Sumatera minus 2,22 persen, Maluku dan Papua minus 1,83 persen, dan Sulawesi minus 0,82 persen.
Laporan BPS pun ditutup dengan laporan keadaan ketenagakerjaan Indonesia. Per Agustus 2020, angka angkatan kerja naik 2,36 juta. Kemudian, angka pengangguran naik 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Sementara angka Pekerja penuh turun 9,46 juta menjadi 82,02 juta orang. Di sisi lain, angka Pekerja Paruh Waktu naik 4,32 juta orang menjadi 33,34 juta dan angka Setengah Penganggur naik 4,83 juta menjadi 12,09 juta orang.
Bertambahnya angka Pengangguran sebanyak 2,67 juta orang, angka Pekerja Paruh Waktu sebesar 4,32 juta orang dan angka Setengah Penganggur mencapai 4,83 juta orang, merupakan permasalahan berat yang harus dicarikan solusinya. Melonjaknya angka pengangguran, pekerja paruh waktu dan setenag penganggur merupakan dampak Covid19 dimana banyak perusahaan yang mulai mem-PHK atau merumahkan karyawannya.
Ongkos Menghadang Resesi
Tak sedikit ongkos yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadang terjadinya resesi. Awalnya pemerintah terkesan lambat merespon dampak Covid19. Pada kuartal II-2020 realisasi anggaran Covid19 sangat sedikit sekali. Sampai akhirnya Presiden Jokowi berkali-kali mengumbar kemarahan kepada bawahannya di ruang publik.
Kelambanan mengucurkan stimulus pada kuartal II-2020 diganjar pertumbuhan ekonomi yang merosot tajam hingga 5,32 persen secara tahunan. Maka mulai kuartal III 2020, pemerintah menggelontorkan stimulus ratusan triliun secara jor-joran untuk menjaga konsumsi masyarakat agar daya belinya tidak makin melemah.
Belanja pemerintah pun melesat menjadi penggerak perekonomian di kuartal III-2020. Sesuai catatan BPS yang dipaparkan sebelumnya, pengeluaran konsumsi pemerintah jadi satu-satunya komponen produk domestik bruto (PDB) yang mampu tumbuh positif yakni 9,76 persen secara tahunan. Hasil tersebut memperbaiki kinerja di kuartal sebelumnya dimana konsumsi pemerintah merosot tajam 6,9 persen.
Besarnya ongkos menghadang resesi ini berbuntut membengkaknya defisit anggaran. Menurut catatan Kementerian Keuangan, sepanjang Januari-September 2020 defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 telah mencapai Rp687,5 triliun atau setara dengan 4,16 persen PDB Indonesia. Defisit anggaran itu naik 170,2 persen dari defisit di periode sama tahun 2019, senilai Rp252,41 triliun.
Stimulus ekonomi yang lebih banyak untuk merangsang konsumsi masyarakat memang membuahkan hasil. Data BPS menunjukkan, pengeluaran konsumsi rumah tangga yang di kuartal II 2020 minus 6,53 persen, pada kuartal III 2020 sudah berbalik arah dan tumbuh 4,7 persen secara kuartalan. Meskipun secara tahunan, konsumsi rumah tangga masih tumbuh minus 4,04 persen.
Bangkitnya pengeluaran rumah tangga ini tak lepas dari beberapa kebijakan stimulus yang berjalan di kuartal III-2020. Seperti subsidi gaji bagi pegawai swasta yang bergaji di bawah Rp5 juta per bulan, program prakerja, BLT, hingga gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil (PNS).
Gagal Bendung Resesi
Meskipun telah mengeluarkan ongkos besar, namun resesi tetap melilit Indonesia. Laporan BPS telah mengonfirmasi Indonesia memasuki resesi setelah dua kali beruntun mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang negatif, yakni pada kuartal II dan III-2020 secara tahunan.
Bahkan bila menggunakan perhitungan kuartalan, sebagaimana yang yang dianut banyak negara seperti Jepang, Singapura, dan lain-lain, sejatinya pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah terkontraksi sejak kuartal IV-2019 yakni minus 1,74 persen. Kemudian berlanjut di kuartal I-2020 yakni minus 2,41 persen dan kuartal II-2020 yakni minus 4,19 persen.
Namun apapun metode penghitungannya baik kuartalan maupun tahunan, Indonesia sudah resmi dinyatakan memasuki resesi. Para ahli pun menggambarkan resesi dengan ciri-ciri ketika negara mengalami Produk Domestik Bruto (PDB) negatif, adanya kenaikan tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan terjadinya kontraksi di pendapatan manufaktur untuk periode waktu yang panjang.
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan resesi. Yaitu, adanya goncangan ekonomi secara tiba-tiba, utang yang berlebihan, gelembung aset di pasar modal, terlalu banyak inflasi dan deflasi, serta terjadinya perubahan teknologi.
Kasus Indonesia, gejala resesi sudah muncul di akhir 2019 dimana pada kuartal IV-2019 pertumbuhan ekonomi secara kuartalan menunjukkan minus 1,74 persen. Waktu itu pemerintah berdalih pelambatan ekonomi Indonesia diakibatkan faktor eksternal yaitu pelambatan ekonomi global dan adanya perang dagang AS versus China.
Namun, Indonesia adalah penganut metode perhitungan pertumbuhan ekonomi secara tahunan (yoy) dimana pada akhir 2019 masih menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 4,97 persen. Maka adanya pertumbuhan ekonomi yang minus berdasarkan perhitungan kuartalan (qtq) belum membuat panik pemerintah. Meskipun kondisi minus tersebut berlanjut di kuartal I-2020 dan kuartal II-2020.
Pemerintah baru menunjukkan sikap panik saat Pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Covid19 dianggap sebagai biang keladi terjadinya pelambatan ekonomi. Pemerintah pun 2 kali merubah Postur APBN 2020, yakni pertama berdasarkan Perpres 54 Tahun 2020 dan kemudian merevisi lagi berdasarkan Perpres 72 Tahun 2020.
Namun, usaha tersebut tidak mampu membendung kemerosotan ekonomi. Pada saat di kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi secara tahunan (yoy) dinyatakan minus 5,32 persen. Di situlah Presiden Jokowi mulai mengumbar kemarahan kepada para menterinya. Presiden menuding para menteri tidak memiliki sense of crisis.
Kemarahan Jokowi akhirnya memicu dan memacu pemberian stimulus secara jor-joran di kuartal III-2020, namun sayang pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2020 secara tahunan (yoy) tetap minus dan Indonesia secara resmi masuk resesi.
Dampak Resesi
Masa resesi ditandai dengan perlambatan di hampir semua sektor perekonomian. Sektor-sektor tersebut antara lain industri manufaktur, perdagangan, transportasi, dan lainnya. Dampak resesi memiliki efek domino yang besar dalam rantai perekonomian.
Resesi akan menyebabkan gelombang PHK akan meningkat. Sesuai data BPS Agustus 2020, jumlah angka pengangguran telah naik sebesar 2,67 juta orang sehingga Tingkat Penganguran Terbuka (TPT) naik menjadi 9,77 juta orang atau sebesar 7,07 persen. Angka tersebut menjadi yang terburuk selama pemerintahan Presiden Jokowi. Karena TPT kali ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2012. Saat itu, tingkat pengangguran mencapai sebesar 6,13 persen.
PHK besar-besaran akan menurunkan tingkat produksi atas barang dan jasa sehingga akumulasinya akan menurunkan PDB nasional. Jika tak segera diatasi, efek domino resesi akan menyebar ke berbagai sektor seperti macetnya kredit perbankan hingga inflasi yang sulit dikendalikan, atau juga sebaliknya terjadi deflasi. Banyak orang akan kehilangan rumah karena tak sanggup membayar cicilan karena daya beli melemah.
Jika resesi tidak segera teratasi, maka pintu krisis ekonomi sudah menanti di depan mata.
Utang Melonjak
Salah satu penyebab resesi adalah adanya utang yang berlebihan. Posisi utang Pemerintah telah mencapai Rp5.756,87 triliun per September 2020. Rasio utang terhadap PDB mencapai 36,4 persen dari PDB.
Sekitar 85 persen utang tersebut berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp4.892,57 triliun. Mayoritas SBN dari mata uang domestik Rp3.629,04 triliun yang terbagi lagi menjadi Rp2.973,01 triliun dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Rp656,03 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk. Dan SBN dari valuta asing atau valas senilai Rp1.263,54 triliun.
Sementara utang dalam bentuk pinjaman mencapai Rp864,3 triliun. Terdiri pinjaman asing Rp852,97 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp11,32 triliun.
Pada Desember 2019 utang pemerintah hanya Rp4.778 triliun. Namun, sampai dengan Pemerintah 2020, utang Pemerintah telah bertambah menjadi Rp 5.756,87 triliun. Dengan demikian utang pemerintah telah meningkat senilai Rp978 triliun.
Utang dalam jumlah super jumbo ternyata tidak menyelematkan Indonesia dari jurang resesi. Idealnya, dengan utang sebesar itu dapat menggerakkan seluruh sektor perekonomian agar tidak terpuruk. Namun faktanya, ekonomi tidak menggeliat seperti yang diharapkan.
Bila ditelisik lebih jauh, ternyata penambatan utang dalam jumlah signifikan tidak sepenuhnya untuk program pemulihan ekonomi. Tahun ini setidaknya Pemerintah harus menyiapkan uang lebih dari Rp.300 triliun hanya untuk membayar bunga utang. Berdasarkan Perpres 72/2020 porsi belanja Pemerintah untuk membayar bunga utang telah melonjak dari 12 persen naik menjadi 17 persen dari PDB. Besaran bunga utang juga sepadan dengan 25 persen dari penerimaan perpajakan (pajak ditambah bea dan cukai).
Indonesia terjebak dalam sistem gali lubang tutup lubang. Berutang untuk membayar utang. Inilah yang menyebabkan perekonomian tidak sehat dan rentan terjerumus ke dalam resesi.
Otoritas Moneter Dikebiri
Perburuan utang di saat Pandemi Covid19 mengalami kendala tidak terserapnya surat utang yang dilempar ke pasaran. Padahal Pemerintah sudah mengiming-imingi dengan tingkat kupon yang tinggi, yakni 2 persen di atas bunga deposito.
Kegagalan menjual surat utang di pasaran menjadikan Pemerintah mengambil jalan pintas, yakni “memaksa” Bank Indonesia untuk membeli surat utang pemerintah di Pasar Perdana. Tidak hanya sampai di situ, Pemerintah pun memaksa Bank Indonesia untuk melakukan Burden Sharing. Artinya, Bank Indonesia tidak akan mendapatkan kupon atas surat utang yang dibelinya. Skema ini tidak lebih sebagai praktik cetak uang yang disamarkan. Pemerintah telah mengebiri otoritas moneter.
Bahkan Pemerintah juga berencana merivisi UU Bank Indonesia dimana beberapa poinnya adalah menghidupkan kembali “dewan moneter” sebagaimana yang pernah berlaku pada 1953, BI akan diizinkan membeli SBN di Pasar Primer secara permanen, dan BI juga diperbolehkan memberi fasilitas pinjaman darurat kepada bank bermasalah.
Bila rencana revisi UU Bank Indonesia menjadi kenyataaan maka independensi Bank Indonesia akan hilang sama sekali. BI akan kembali di bawah koordinasi pemerintah untuk mengamankan kebijakan pemerintah. Ironisnya, independensi Bank Indonesia merupakan salah satu hasil perjuangan reformasi.
Pengalaman pahit krisis 1998 dimana BI bisa dipaksa mengucurkan bantuan BLBI kepada bank-bank bermasalah, bukan tidak mungkin akan terulang kembali. Bila itu terjadi maka malapetaka sebagaimana krisis 1998 sudah di depan mata. Bank-bank bermasalah akan menguras isi kas BI.
Efektifitas Bansos
Saat ini Indonesia masih dalam tahap resesi. Keadaan bisa kembali membaik bila Pemerintah tepat dan cepat dalam mengeksekusi kebijakan pemulihan. Salah satu kebijakan yang perlu diperbaiki, yaitu efektivitas jaring pengaman sosial (bansos) untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga.
Selama ini program Bansos belum berjalan efektif dan efisien. Jika program bansos ini sudah tepat, seharusnya aktivitas ekonomi di sektor riil tidak minus. Kunci ekonomi Indonesia ini ada di sektor rumah tangga, jadi daya beli masyarakat harus ditopang. Kalau konsumsi rumah tangga sampai minus, artinya program Bansos tidak ada efeknya.
Berdasarkan laporan BPS, konsumsi rumah tangga mengalami konstraksi dua kali yaitu pada kuartal II-2020 minus 5,52 persen (yoy) dan pada kuartal III-2020 minus 4,04 persen (yoy). Pemerintah harus lebih fokus agar Bansos untuk sektor rumah tangga dapat berjalan secara efektif, efisien dan tepat sasaran. Pulihnya konsumsi rumah tangga akan mampu menggerakkan sektor-sektor lainnya sehingga Indonesia terbebas dari malapetaka krisis ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar