Monitorindonesia.com – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai BPK perlu mengkritisi utang pemerintah dalam rangka penilaian laporan keuangan secara keseluruhan.
Hal ini mengingat pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna yang mengatakan kekhawatirannya terhadap kemampuan pemerintah membayar utang dan bunganya. Hal ini disampaikan dalam pidato pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa kemarin.
“Ini kan aneh. Di satu sisi BPK memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan pemerintah. Namun di sisi lain mengkhawatirkan utang pemerintah. Rakyat jadi bingung atas sikap mendua BPK,” ujar Heri Gunawan kepada wartawan, Jakarta, Rabu (23/06/2021).
Ketua Fraksi Gerindra ini menyebut sangat menyayangkan sikap BPK yang hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Pasalnya, kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu No. 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020.
“Perpres 72 merupakan aturan turunan dari Pasal 12 ayat (2) Perppu No.1/2020. Begitu pula defisit APBN yang semula dibatasi 3% dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3% oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu No.1/2020,” pungkasnya.
Heri Gunawan yang biasa disapa Hergun menuturkan, defisit melebihi 3% dibatasi hanya sampai 2022 saja. Sehingga pada tahun 2023, defisit harus kembali maksimal 3% lagi. Selain itu, dalam masa peralihan menuju 3% itu, angka defisit harus dilakukan secara bertahap. Dalam artian, defisit pada 2022 harus lebih rendah dari 2020 dan 2021.
“DPR mengapresiasi keberanian BPK menyatakan kekhawatiran tentang penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunganya. Namun, hendaknya secara utuh menjadikan UU No 2 Tahun 2020 sebagai pijakan hukum. Selain itu juga harus berani memberikan penilaian selain WTP,” ucap Hergun.
Lebih lanjut, Hergun menegaskan adanya pembengkakan defisit hingga 6,14 persen dari PDB yang masih dalam koridor UU No 2/2020 sebagai upaya penanganan dampak pandemic Covid-19.
Selain itu, Hergun meminta kepada BPK harus melakukan audit terhadap Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp 245,59 triliun. Apabila tidak ada kejelasan, maka pemerintah tidak layak mendapatkan opini WTP.
“Saya kira BPK jangan buru-buru memvonis pemerintah mengalami penurunan kemampuan membayar utang dan bunganya. Indikator yang dipakai BPK masih relatif lemah karena hanya merujuk pada rekomendasi IMF dan IDR,” tegas Hergun.
Selain itu, Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI meminta kepada BPK perlu mengaudit utang-utang tersebut terutama menyelidiki terjadinya Silpa dalam jumlah yang fantastis tersebut. Karena adanya Silpa membuktikkan pengelolaan utang pemerintah belum prudent dan terkesan ugal-ugalan.
Sebelumya, di tahun 2012, rasio pendapatan negara terhadap belanja negara terus menurun dari 89,7 persen menjadi 84,9 persen. Kemudian, dua tahun terakhir berada di kisaran 63 persen. Sehingga lubang sebesar 37 persen ini sangat membebankan pemerintah.
“Defisit yang makin lebar ini harus ditutupi, salah satunya melalui penghematan. Namun, saat ini penghematan penggunaan anggaran negara masih belum terlihat. Dalam pembukuan pemerintah pusat, keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan dengan belanja negara, tapi belum memasukkan pembayaran bunga dan pokok utang. Jika keseimbangan primer itu ditambah dengan pembayaran bunga utang, kemudian disebut sebagai neraca anggaran, defisitnya kian dalam,” jelas Hergun yang juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra.
Dampak utang yang membengkak, negara harus membayar bunga utang mencapai Rp314,1 triliun pada 2020. Jika beban bunga ini bisa dilakukan negosiasi ulang dan atau restrukturisasi, alangkah lebih baik jika sebagian biaya bunga tersebut dialokasikan untuk memperkuat program perlindungan sosial. Saya kira ini yang harus dikejar BPK,” tutupnya. (aas)
sumber : https://monitorindonesia.com/utang-pemerintah-meningkat-politisi-gerindra-pertanyakan-sikap-bpk/
0 komentar:
Posting Komentar