Heri Gunawan : Capaian Ekonomi 2021 sebagai Modal Positif Menyongsong 2022

 


Jakarta-Tahun 2021 sebentar lagi akan tergantikan oleh tahun 2022. Dalam konteks pemulihan ekonomi nasional, tahun 2021 digadang-gadang sebagai fase pemulihan setelah terpuruk pada 2020. Hal tersebut dapat terlihat pada APBN 2021 yang mengusung tema “Percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi”. Namun hingga memasuki ujung 2021, tampaknya target yang ditetapkan belum dapat terwujud.

Perlu diketahui pada September 2020, Komisi XI DPR-RI dan Pemerintah menyepakati pertumbuhan ekonomi 2021 pada rentang 4,5 persen hingga 5,5 persen. Menteri Keuangan tercatat beberapa kali merevisi target pertumbuhan ekonomi, terakhir menurunkan pada kisaran 3,5 persen hingga 4 persen.

Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3,2 persen. Lalu Bank Pembangunan Asia (ADB) meramalkan di angka 3,5 persen. Sedangkan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memprediksi sebesar 3,7 persen.

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi 2021 belum mencapai target.

“Faktor pertama, diantaranya belum ditindaklanjutinya arahan presiden untuk mempercepat belanja di awal-awal tahun,” kata Heri Gunawan yang juga menjabat sebagai Kapoksi Fraksi Gerindra di Komisi XI DPR-RI kepada awak media pada Senin (27/12/2021).

Politisi yang biasa disapa Hergun membeberkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah pada kuartal I-2021 hanya sebesar Rp265,9 triliun. Angka tersebut menurun sebesar 43,35 persen (qtoq) dibandingkan konsumsi pemerintah pada kuartal IV-2020 yang mencapai Rp481,8 triliun. Sementara bila dibandingkan dengan kuartal I-2020 dengan capaian sebesar Rp254,8 triliun, hanya mengalami kenaikan sebesar 2,96 persen (yoy).

“Belanja pemerintah yang diharapkan menjadi stimulus kegiatan perekonomian, belum berhasil mendorong secara optimal. Pada kuartal I-2021 pertumbuhan ekonomi tercatat minus 0,74 persen (yoy), melanjutkan kontraksi ekonomi sebanyak empat kali berturut-turut,” lanjut Hergun yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR-RI.

Faktor kedua, pemerintah relatif terlambat mengantisipasi masuknya Covid-19 varian Delta. Di saat negara-negara lain sudah menutup diri, Indonesia masih menerima pesawat carter dari India. Kebijakan tersebut harus dibayar mahal dengan melonjaknya kasus Covid-19.

Lalu faktor ketiga, adanya kebijakan PPKM sehingga menyebabkan berkurangnya kegiatan ekonomi dan menurunnya mobilitas masyarakat.

“Guna mengantisipasi bertambahnya pasien Covid-19 dan korban meninggal dunia, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial yang disebut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat lalu diganti menjadi PPKM level 1 hingga 4,” papar Hergun.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2021 hanya tercapai sebesar 3,51 (yoy), gagal melanjutkan capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 yang mampu tumbuh impresif hingga 7,07 persen (yoy).

“Lalu faktor yang keempat, pemerintah masih belum memaksimalkan keberadaan UU Cipta Kerja,” kata Hergun yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Gerindra

Menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi periode Januari hingga September 2021 sebesar Rp Rp659,4 triliun. Capaian tersebut hanya naik 7,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni sebesar Rp611,1 triliun.

“Sementara dana asing ratusan triliun yang dijanjikan akan masuk ke Lembaga Pengelola Investasi (LPI)/Indonesia Invesment Authority (INA) hingga Desember 2021 juga belum tampak realisasinya. Padahal pemerintah telah mengucurkan modal kepada LPI/INA sebesar Rp75 triliun. Terdiri dari modal tunai dari APBN 2020 sebesar Rp15 triliun, APBN 2021 Rp15 triliun, inbreng saham Bank Mandiri senilai Rp22,67 triliun, serta saham Bank BRI senilai Rp22,33 triliun,” tambahnya.

Selain pertumbuhan ekonomi, lanjut Hergun, target lainnya yang belum tercapai di antaranya adalah tingkat kemiskinan yang ditargetkan pada kisaran 9,2 persen hingga 9,7 persen, menurut data BPS per Maret 2021 masih berada pada angka 10,14 persen.

Sementara gini rasio yang ditetapkan pada rentang 0,377 hingga 0,379, menurut data BPS per Maret 2021 masih berada di angka 0,384. Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ditetapkan pada kisaran 72,78 hingga 72,95, menurut rilis BPS Per November 2021 baru tercapai 72,29.

“Adapun target yang sudah tercapai di antaranya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang ditetapkan pada kisaran 7,7 persen hingga 9,1 persen, menurut data BPS per Agustus 2021 sudah menurun hingga mencapai 6,49 persen,” jelas Hergun.

Politisi yang terpilih dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) menambahkan, memasuki tahun 2022 Pemerintah dan Komisi XI DPR-RI sudah menyepakati target pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,2 persen hingga 5,5 persen. Melihat berbagai prediksi pertumbuhan ekonomi pada 2021 tentunya target 2022 masih cukup rasional. Capaian ekonomi 2021 diharapkan menjadi modal positif dalam menyongsong 2022.

“Ada beberapa faktor pendukung yang bisa dioptimalkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2022,” katanya.

Pertama, lanjut Hergun, capaian ekonomi 2021 meskipun belum maksimal namun sudah tumbuh positif dibanding pada 2020 yang tumbuh minus 2,07 persen. Capaian pada 2021 bisa menjadi pijakan untuk mewujudkan pertumbuhan yang lebih tinggi pada 2022.

“Menurut data BPS pada kuartal III-2021, dari sisi lapangan usaha, kinerja lapangan usaha utama seperti industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan sudah tumbuh positif, maka perlu ditingkatkan lagi. Sementara lapangan usaha mobilitas seperti penyediaan akomodasi dan makan-minum serta transportasi dan pergudangan masih mengalami kontraksi, maka perlu diberi stimulus,” jelasnya.

“Sedangkan dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 1,03 persen (yoy), investasi tumbuh melambat 3,74 persen (yoy), dan konsumsi pemerintah tumbuh 0,66 persen (yoy), perlu direspon dengan kebijakan yang tepat dan akomodatif,” lanjut Hergun.

Kedua, DPR-RI dan Pemerintah sudah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

“Dengan UU HPP diharapkan penerimaan perpajakan bisa meningkat sehingga bisa mengurangi defisit APBN. Dengan berkurangnya defisit APBN maka beban fiskal semakin ringan serta kinerja pembangunan dapat lebih ditingkatkan,” tegas Hergun.

Perlu diketahui, pada 2022 defisit APBN ditetapkan sebesar 4,85 persen terhadap PDB. Sementara penerimaan APBN ditetapkan sebesar Rp1.846,1 triliun.

“UU HPP yang di antaranya mengatur tentang pajak karbon, pengungkapan sukarela, serta fleksibilitas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn), diharapkan dapat memberikan penambahan penerimaan perpajakan sebesar Rp150 triliun. Artinya, total penerimaan APBN akan menjadi Rp2.000 triliun,” katanya.

Ketiga, DPR-RI dan Pemerintah telah mengesahkan UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).

Hergun berharap pada 2022 nanti, arah bauran kebijakan Bank Indonesia tetap ditujukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas. Sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau, tetap untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.


sumber : https://bimata.id/2021/12/heri-gunawan-capaian-ekonomi-2021-sebagai-modal-positif-menyongsong-2022/

0 komentar:

Posting Komentar