Kinerja Perdagangan Indonesia Kian Memburuk

dpr.go.id - Kinerja perdagangan Indonesia kian memburuk, terlihat dari transaksi berjalan yang tetap saja defisit. Pada triwulan II-2015, defisit itu naik menjadi USD 4,5 miliar (2,1%PDB) dari triwulan sebelumnya yang hanya USD 3,8 milyar (1,8% PDB).

Demikian dikatakan Heri Gunawan, Wakil Ketua Komisi VI DPR di Jakarta R
abu (26/8) malam. Menurutnya, laju defisit itu hanya tertahan oleh adanya penurunan impor yang lebih tajam dibanding penurunan ekspor. Arus  investasi terus defisit karena masifnya penarikan pinjaman keluar negeri korporasi dan penempatan simpanan swasta ke luar negeri,  menyebabkan transaksai modal dan finansial, anjlok. Akibatnya, surplus transaksi modal dan finansial yang ada, tidak sanggup menutup devisit transaksi berjalan. Itu semua akhirnya menjadi sebab defisitnya neraca pembayaran sebesar USD 2,9 milyar pada triwulan II-2015.

Dengan keadaan seperti itu lanjutnya, cadangan divisa akan goyah. Makin tergerus, mengingat pemerintah harus membayar impor dan hutang LN beberapa waktu ke depan dalam jumlah yang tidak sedikit. Sampai triwulan II-2015, hutang LN yang harus dibayar sudah membengkak sebesar USD 304,3 milyar, terdiri dari ULN sektor publik sebesar USD 134,6 milyar (44,2% dari total ULN) dan ULN sektor swasta sebesar USD 169,7 milyar (55,8% dari total ULN).

Defisit itu adalah penanda kuat “krisis”. Dan itu  bukan lagi sekedar ancaman. Tetapi sudah benar-benar terjadi ditengah-tengah kinerja ekspor dan investasi yang tidak kunjung membaik. Tidak heran, Kemendag buru-buru memanggil pulang sejumlah pejabat Internasional Trade Promotion Center (ITPC).

Sangat mungkin, itu terkait dengan penurunan ekspor non migas disejumlah negara secara merata: AS turun 0,4%, Jepang turun 8,4% dan Tiongkok turun 13,3%. Lebih-lebih negara-negara itu masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia dengan pangsa pasar yang besar, yakini 30,8%.

Ia menegaskan, penurunan ekspor yang tajam dinegara-negara tersebut bisa berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Apalagi baru-baru ini, Tiongkok sebagai salah satu dari 3 negara tujuan utama ekspor sudah mendevaluasi mata uangnya (Yuan). Itu adalah cara rasional meningkatkan ekspornya dan sudah semestinya direspon secara rasional pula dengan mengedepankan pragmatisme yang berpihak pada kepentingan domestik. Etos seperti itu penting sekali di tengah ketidakpastian pasar global dan penurunan harga-harga komoditas yang menyebabkan produksi dalam negeri menjadi tidak kompetitif.

Heri Gunawan menegaskan, Kemendag dan Kemenperin serta instansi terkait harus berkordinasi secara aktif meningkatkan kinerja ekspor terutama non migas, dan berpihak pada pasar dan produk domestik sebagai “motor” perekonomian pada tahun-tahun mendatang. (spy)/foto:andri/parle/iw.

0 komentar:

Posting Komentar