Jakarta (dpr.go.id) - Pemerintah dinilai tak jujur dan transparan dalam menentukan harga bahan bakar minyak (BBM). Banyak titik kebijakan menyangkut harga BBM yang tidak jelas dan mengundang tanda tanya publik.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan, mengungkapkan, rumusan pemerintah dalam menentukan harga premium (ron 88) tidak jelas. Ironis, harga pemium ron 88 justru lebih mahal daripada ron 97 milik Malaysia yang jauh lebih baik kualitasnya. Yang juga jadi pertanyaan mendasar, mengapa ada pungutan dana ketahanan energi dalam menetapkan harga BBM. Dasar hukum untuk itu sangat tidak memadai.
“Jika dasar hukum pemerintah saat ini terkait dana ketahanan energi, yaitu UU No.30/2007 dan PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tampaknya belum spesifik mengatur dana ketahanan energi. Dapat dikatakan pungutan ini tidak jelas, karena bukan pajak, bukan pula PNBM. Lalu apa?” ujar Heri penuh tanda tanya, saat dihubungi Minggu (27/12).
Seperti diketahui, pemerintah lewat Menteri ESDM Sudirman Said, telah merilis harga baru BBM yang berlaku pada 5 Januari 2016. Harga premium dipatok Rp6.950 plus pungutan dana ketahanan energi Rp200. Jadi, harganya Rp7.150. Sementara harga solar dipatok Rp5.650 plus dana ketahanan energi Rp300, menjadi Rp5.950. Penetapan harga BBM seperti ini, nilai politisi Partai Gerindra itu, tidak konsisten dan seperti menutupi sesuatu di balik semua skenario tersebut.
“Saat ini, harga minyak mentah terus turun hingga menyentuh USD 37 per barrel. Namun, harga BBM masih tetap mahal. Mestinya dengan situasi seperti itu, oleh sejumlah pengamat, harga BBM bisa di bawah Rp5.000 per liter. Dengan kebijkan harga seperti sekarang, maka tidak salah jika muncul dugaan bahwa pemerintah cenderung melepas kebijakan energi kepada mekanisme pasar yang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33.”
Ke mana selisih keuntungan harga BBM yang mahal itu dialihkan selama ini? Hal tersebut menjadi pertanyaan lanjutan yang dikemukakan Heri. Politisi dari dapil Jabar IV ini menduga, keuntungan dari selisih harga yang diambil pemerintah kemungkinan besar dihabiskan untuk menopang pemborosan di Pertamina yang selalu mengimpor BBM. “Jangan sampai publik akan terus curiga bahwa jangan-jangan pemerintah hanya cari untung besar dari rakyatnya,” ujar Heri.
Heri berharap, pemerintah jujur dan lebih transparan dalam menjelaskan skenario penetapan harga BBM. Tak perlu membuat kegaduhan baru. Bicara jujur, apa adanya juga merupakan bagian dari revolusi mental. “Tahun 2016 nanti mesti jadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk bicara jujur ke rakyat, agar bekerja secara nyata, bukan hanya sebatas kata,” tutup Heri. (mh)
0 komentar:
Posting Komentar