Heri Gunawan: DPR Jangan Jadi Tukang Stempel Liberalisasi

VIVA.co.id – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan pengkajian ulang soal peliberalisasian jasa keuangan dan non keuangan. Hal ini berkenaan dengan surat Presiden Nomor R 68 tanggal 17 November 2016 tentang  Persetujuan Rencana Ratifikasi Protokol untuk melaksanakan paket komitmen keenam dibidang jasa keuangan dalam persetujuan kerangka kerja ASEAN di bidang jasa.
"Liberalisasi ini dalam bentuk jasa keuangan dan non keuangan. Keuangan berarti perdagangan dan investasi. Terkait jasa keuangan akses pasar sesama Asean dan masalah integrasi perbankan Asean. Sementara non keuangan perdagangan liberal investasi liberal," ujarnya di Senayan, Jumat 15 Januari 2016.
Ia menjelaskan, yang pasti ratifikasi ini akan dipertanyakan ke Menkeu sudah berlaku atau belum, sudah dijalankan atau belum.
"Jangan sampai DPR jadi tukang stempel. Kita minta pemerintah mengkaji protokol ini, karena menyangkut masalah liberal. Disitu tertulis meliberalisasi, bahwa protokol tersebut bertujuan meliberalisasi perdagangan dan investasi progresif. Suratnya Ibu Retno. Kalau ini tidak ada di UU nomor 7 tahun 2014 tidak akan dibahas di DPR. Protokol 1-5 udah jalan. Disini diminta persetujuan ini untuk meliberalisasi perdagangan investasi dan jasa keuangan.
Ia menilai tujuannya sudah jelas, meliberalisasi, meningkatkan perdagangan secara progresif, menciptakan iklim perdagangan kondusif, fasilitatif secara liberal dan progresif.
"Konsekuensinya berkurangnya kewenangan pemerintah dalam mengatur usaha jasa keuangan, tentunya juga dengan perdagangan, investasi terkait dengan kehadiran pemasok jasa asing. Kajian kita tentunnya meminta pemerintah apakah ratifikasi ini sudah berlaku, didalam surat kan ditandatangani 20 maret 2015, disitu 90 hari berlaku atau diberlakukan, tapi alasan pemerintah ini kan belum dijalankan. Belum berlaku, terkait dengan masalah yang belum memberlakukan ini Kamboja dan Indonesia," ucap politisi Gerindra ini.
Lebih lanjut dikatakan, permasalahannya kita meminta kepada pemerintah, perjanjiannya bulan Maret, sementara diajukan oleh Presiden 17 Nopember 2015 berdasarkan surat yang ditandatangani Presiden dengan Nomor Surat R 68.
"Kenapa diajukan, ada ketentuan Pasal 84 UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, setiap perjanjian perdagangan internasional yang dibuat pemerintah disampaikan kepada DPR, untuk diputuskan perlu atau tidaknya. Sementara UUD 1945 pasal 11 menyatakan, perjanjian dengan negara lain harus persetujuan DPR, secara lebih luas membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat kembali ke kehidupan rakyat, beban keuangan negara," ujarnya.
Sementara itu, tambahnya, beberapa UU terlibat, ada 6 UU, 1 keputusan Presiden, 1 keputusan pemerintah. Berarti harus disinergikan, apa dampaknya.

"Kita undang juga pelaku bisnis. Kita berharap pemerintah harus melindungi semua pelaku usaha dan masyarakat kita. Jangan buka liberalisasi. Bisa lakukan kajian strategis," katanya.

0 komentar:

Posting Komentar