Draft RUU Cipta Kerja Tuai Banyak Penolakan, Gerindra: Sebaiknya Ditarik Kembali


TRIBUNPALU.COM - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menilai banyaknya penolakan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, membuktikan pemerintah menyusun draf secara tertutup, tanpa melibatkan pihak-pihak terkait.
"Akibatnya, ketika draft RUU diserahkan ke DPR dan kemudian menjadi dokumen publik, maka bermunculan penolakan-penolakan," ujar Heri kepada wartawan, Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Menurutnya, seharusnya pemerintah membuka diri dalam penyusunan draft RUU tersebut, karena masukan-masukan dari pihak terkait wajib dipertimbangkan.

"Maka solusinya, pemerintah harus mengintensifkan sosialisasi ke semua kalangan agar rakyat mengetahui draft yang dibuat oleh pemerintah," kata Heri.


"Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Kalau bertentangan dengan UUD, secara hukum batal demi hukum," sambungnya.
Ketua Kelompok Fraksi Gerindra Badan Legislasi DPR itu menyebut, terjadinya silang pendapat antar pejabat pemerintah, membuktikan di pihak pemerintah pun banyak yang tidak tahu materi draft RUU.



"Oleh karena itu untuk menyolidkan suara pemerintah ada baiknya draft yang sudah diserahkan ke DPR ditarik kembali dan kemudian dilakukan pengkajian yang mendalam antar pejabat pemerintah di kementerian dan lembaga terkait," ujar Heri.
Jika semua pejabat sudah satu suara, kata Heri, draft tersebut bisa dikirim kembali ke DPR untuk dibahas lebih lanjut oleh anggota dewan.
"Sampai saat ini saja, draft RUU tersebut belum dibahas dalam Badan Musyawarah (Bamus), untuk selanjutnya dibawa atau tidaknya dalam rapat paripurna DPR," pungkas Heri.



Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut isi omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, khususnya dalam bab ketenagakerjaan jelas-jelas merugikan pekerja.
"Memperdalam eksploitasinya (pekerja). Isinya jelas-jelas merugikan," kata Penelitian Pusat Peneliti Politik LIPI Fathimah Fildzah Izzati di Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Wanita yang kerap disapa Fildzah ini menjelaskan, RUU Cipta Kerja disebut merugikan karena secara eksplisit menunjukkan liberalisasi ekonomi sebab adanya deregulasi yang mengurangi hak-hak dasar buruh.



Misalnya seperti penghilangan upah lembur di sektor tertentu dan penghilangan pembayaran upah saat cuti bagi pegawai wanita, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan beribadah.
"Akhirnya akan menjadi masalah dan dijadikan dalih oleh para pengusaha untuk menghilangkan kewajiban membayar utang lembur."



"Selain itu membahayakan kesehatan buruh perempuan karena saat perempuan mengalami haid tubuhnya berada dalam keadaan rentan," jelas Fildzah.
Lebih lanjut Fildzah mengungkap, omnibus law bisa saja membuat pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sewenang-wenang mengingat prinsip RUU Cipta Kerja easy firing dan easy hiring dengan dalih memudahkan masuknya investasi.
Bahkan, PHK sewenang-wenang bisa dilakukan akibat kecelakaan kerja yang dialami buruh.
Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja bab Ketenagakerjaan pasal 154 A disebutkan, pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya melampaui 12 bulan.
"Seharusnya kalau buruh mengalami kecelakaan kerja jangan di PHK. Jadi ini konsekuensi dari liberalisasi ekonomi, juga di dalamnya bisa saja relokasi produksi ke wilayah dengan upah yang murah, kerusakan alam, dan sebagainya," pungkasnya


Artikel ini telah tayang di Tribunpalu.com dengan judul Draft RUU Cipta Kerja Tuai Banyak Penolakan, Gerindra: Sebaiknya Ditarik Kembali, https://palu.tribunnews.com/2020/03/04/draft-ruu-cipta-kerja-tuai-banyak-penolakan-gerindra-sebaiknya-ditarik-kembali?page=2.

Editor: Rizkianingtyas Tiarasari

0 komentar:

Posting Komentar