​RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Sebuah Terobosan atau Sumber Gaduh Baru?


Oleh: Heri Gunawan
(Ketua Kelompok Fraksi Gerindra Badan Legislasi DPR-RI)
Pemerintah telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR-RI. Secara garis besar, RUU ini terbagi dalam 11 klaster, mencakup 79 UU dan terdiri dari 1239 pasal.
Menurut Pemerintah, RUU ini bertujuan untuk : 1). menyederhanakan dan mengharmonisasi regulasi dan perizinan; 2). mewujudkan investasi yang berkualitas; 3). menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan mewujudkan kesejahteraan pekerja yang berkelanjutan; dan 4). memberdayakan UMKM.
Keempat target tersebut sebagai jawaban atas kondisi kekinian yang dianggap perlu segera diatasi untuk mewujudkan impian menjadi negara maju pada 2045 dengan PDB mencapai 7 triliun dollar Amerika atau menduduki peringkat 4 se-dunia.
Kondisi kekinian yang dimaksud adalah : 1). pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir; 2). realisasi investasi 2018 sebesar Rp. 721,3 triliun dan 2019 sebesar Rp. 809,6 triliun; 3). pengangguran berjumlah 7,05 juta orang, angkatan kerja baru 2 s/d 2,5 juta orang per tahun dan pekerja informal 70,49 juta orang; dan 4). jumlah UMKM besar tapi produktivitas rendah.
*Banjir Penolakan*
Keberadaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja banyak mendapatkan kritik dan penolakan. Sementara ini, penolakan terbesar datang dari buruh. Alasan penolakan buruh adalah : 1). hilangnya ketentuan UMK; 2). pesangon yang kualitasnya rendah dan tanpa kepastian; 3). pemakaian tenaga alih daya atau outsourcing yang semakin mudah; 4). sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan dihapuskan; 5). jam kerja yang eksploitatif; 6). karyawan kotrak akan sulit menjadi pegawai tetap; 7). penggunaan tenaga kerja asing, termasuk, buruh kasar semakin bebas; 8). perusahaan akan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan; 9). dan hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Petani pun melontarkan penolakanya, bahwa RUU Cipta Kerja berbahaya untuk sektor pertanian karena menyetarakan produk pangan lokal dan impor. 
Selanjutnya, beberapa kepala daerah memprotes penyusunan aturan tersebut yang tidak partisipatif dengan daerah. Menurutnya proses pembahasan omnibus law tidak transparan, ekslusif, dan tidak partisipatif.
Dan tak kalah dahsyat penolakannya adalah dari para pengamat yang menyatakan bahwa Pasal 170 RUU Cipta Kerja akan melahirkan pemerintahan yang ototiter karena ada ketentuan yang menyatakan UU bisa diganti oleh PP. Ketentuan ini mengebiri fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR-RI.
*Pemerintah Tidak Kompak*
Menanggapi kritik para pengamat tentang potensi munculnya pemerintahan otoriter akibat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 170, para pejabat pemerintah berbeda-beda jawabannya.
Menko Polhukam dan Menkumham menganggap pada Pasal 170 terjadi salah ketik. Sementara itu, Staf Khusus Presiden menyebutkan bahwa pasal 170 dalam Cipta Kerja adalah salah konsep memahami instruksi atau misunderstood instruction.
Namun Kemenko Perekonomian tetap bersikukuh bahwa Pasal 170 tidak salah. Dalam surat hak jawab yang dibuat oleh Kemenko Perekonomian atas pemberitaan di harian online menyatakan berdasarkan pasal 170 ayat (3) RUU Cipta Kerja, Pemerintah Pusat dalam menetapkan PP dimaksud dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Kemenko Perekonomian menganggap bahwa asumsi yang beredar yang menyatakan Pemerintah seolah-olah bersikap otoriter adalah tidak berdasar.
Selain itu, argumen lainnya yang disampaikan adalah ada sejumlah preseden dalam praktik ketatanegaraan yang menyatakan bahwa ketentuan UU bisa dirubah oleh PP dengan berkonsultasi kepada DPR-RI, seperti ketentuan tentang : 1). soal penepatan Bea Meterai, 2). Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, 3). Penjaminan Simpanan, dan 4). Perasuransian.
*Kesimpulan dan Solusi*
1. Dengan banyaknya pihak yang mengkritik dan menolak RUU Omnibus Law  Cipta Kerja membuktikkan bahwa dalam penyusunan draft dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan pihak-pihak terkait. Akibatnya, ketika draft RUU diserahkan ke DPR-RI dan kemudian menjadi dokumen publik maka bermunculah penolakan-penolakan. Mestinya, Pemerintah membuka diri dalam penyusunan draft RUU. Masukan-masukan dari pihak terkait wajib dipertimbangkan. Maka solusinya, pemerintah harus mengintensifkan sosialisasi ke semua kalangan agar rakyat mengetahui draft yang dibuat oleh pemerintah. Karena undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Kalau bertentangan dengan UUD, secara hukum batal demi hukum.
2. Target menjadi negara maju pada 2045 tampaknya tidak perlu dikejar lagi karena pada 10 Februari 2020 negara adidaya Amerika Serikat sudah menetapkan Indonesia sebagai negara maju. Namun status sebagai negara maju tidak membuat bangsa Indonesia bahagia. Sebaliknya, status tersebut menyebabkan kekhawatiran akan dipangkasnya berbagai fasilitas kemudahan perdagangan dan kredit yang selama ini dinikmati sebagai negara berkembang.
3. Terjadinya silang pendapat antar pejabat pemerintah membuktikkan bahwa di pihak pemerintah pun banyak yang tidak tahu materi draft RUU. Oleh karena itu untuk menyolidkan suara pemerintah ada baiknya draft yang sudah diserahkan ke DPR-RI ditarik kembali dan kemudian dilakukan pengkajian yang mendalam antar pejabat pemerintah di kementerian dan lembaga terkait.
4.Bila semua pejabat sudah satu suara maka draft tersebut bisa dikirim kembali ke DPR-RI, untuk dibahas lebih lanjut atau tidak oleh fraksi-fraksi dan menetapkan penugasan di komisi mana, dalam bentuk apa, panja atau pansus dan atau dibahas di alat kelengkapan dewan badan legislasi. Karena sampai saat ini, draft RUU tersebut belum dibahas dalam Badan Musyawarah (Bamus), untuk selanjutnya dibawa atau tidaknya dalam rapat paripurna DPR-RI.
5.Saat ini sebanyak empat RUU omnibus law telah masuk Prolegnas 2020. Empat RUU omnibus law itu ialah RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU Ibu Kota Negara, dan RUU Kefarmasian. Semua bergantung pada politik komunikasi antara pemerintah sebagai eksekutif dan DPR-RI sebagai legislatif untuk membangun kesepahaman subtansinya.Mengingat banyaknya penolakan dan pandangam yang berbeda, tentunya DPR-RI akan mengkaji dengan saksama dan tidak akan bertindak gegabah. Hal tersebut tentunya akan bertentangan dengan target Presiden Joko Widodo bahwa omnibus law, terutama cipta lapangan kerja, akan selesai dalam waktu 100 hari kerja.

0 komentar:

Posting Komentar