Temuan BPK Perlu Ditindaklanjuti untuk Pembenahan Penyaluran BPUM


JAKARTA --Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020 menemukan adanya ketidaktepatan penyaluran bantuan produktif usaha mikro (BPUM) senilai Rp 1,18 triliun. Bahkan di antaranya sebanyak Rp91,8 miliar bantuan tersebut diberikan kepada 38,2 ribu penerima yang sudah meninggal.

Menanggapi Hal tersebut, Anggota Komisi XI Fraksi Gerindra DPR-RI Heri Gunawan atau yang biasa dipanggil Hergun menyatakan penyaluran BPUM perlu dievaluasi secara menyeluruh. Tujuan program ini adalah agar para pelaku usaha mikro mampu bertahan dari dampak pandemi Covid-19. Ketidaktepatan penyaluran menjadikan program BPUM salah sasaran.

"Sangat keterlaluan bagaimana ceritanya orang yang sudah meninggal masih mendapatkan BPUM. Padahal masih banyak pelaku usaha mikro yang masih eksis, tetapi belum mendapatkan BLT UMKM tersebut," ujar Heri Gunawan yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Fraksi Gerindra di Komisi XI DPR-RI kepada awak media pada Kamis (24/6/2021).

Perlu diketahui, ketidaktepatan penyaluran tidak hanya mencakup orang yang sudah meninggal saja. Menurut hasil audit BPK, ada 414.613 penerima yang tak sesuai kriteria dan SK serta mengalami duplikasi.

Rinciannya, BPUM sebanyak Rp 673,9 miliar BPUM disalurkan kepada 280,8 ribu penerima dengan NIK tidak padan. BPUM sebanyak Rp 101,9 miliar diberikan kepada 42,2 ribu penerima berstatus ASN, TNI, Polri, serta karyawan BUMN dan BUMD.

Kemudian, BPUM sebanyak Rp49,01 miliar diberikan kepada 20,4 ribu penerima dengan NIK anomali.

BPUM sebesar Rp46,4 miliar juga diberikan kepada 19,4 ribu penerima yang bukan usaha mikro. Lalu, Rp28,4 miliar bantuan tersebut diberikan kepada 11,8 ribu penerima yang sedang mengambil kredit perbankan lainnya.

Ada pula 1,4 ribu penerima yang menerima BPUM lebih dari sekali dengan nilai Rp 3,34 miliar. Sebanyak 22 penerima BPUM sebesar Rp 52,8 juta tidak sesuai lampiran SK. Sebanyak delapan penerima BPUM dengan nilai Rp 19,2 juta telah pindah ke luar negeri.

Sementara, ada satu duplikasi penyaluran dana BPUM kepada seorang penerima dengan nilai Rp 2,4 juta.

"Instansi terkait harus segera merespon temuan BPK tersebut. Ketidaktepatan penyaluran sebesar Rp1,18 triliun merupakan angka yang sangat besar. Seluruh pihak yang terlibat dalam penyaluran BPUM mulai dari pengusul, Kemenkop UKM, dan perbankan penyalur perlu diaudit," ujar Hergun yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Gerindra.

Lebih lanjut, Hergun menambahkan bahwa penyaluran BPUM pada 2020 diatur dengan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM (Permenkop UKM) No.6/2020. Pasal 4 dan 5 menjelaskan persyaratan untuk mendapatkan BPUM yakni tidak sedang menerima kredit atau pembiayaan dari perbankan, berstatus Warga Negara Indonesia (WNI), mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK), memiliki Usaha Mikro, dan bukan ASN, TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMD.

Adapun Pasal 6 menjelaskan pihak-pihak yang bisa menjadi pengusul yaitu Dinas Koperasi UMKM Provinsi dan Kabupaten/Kota, Kementerian/Lembaga, Koperasi, Perbankan dan Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah.

Sementara itu saat ini bank yang bertindak sebagai penyalur, diantaranya adalah BRI dan BNI.

"Pada 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran BPUM sebesar Rp28,8 triliun untuk 12 juta pelaku usaha mikro. Realisasinya pada 2020 BRI menyalurkan Rp18,64 triliun kepada 7,77 juta pelaku usaha mikro. Sementara BNI menyalurkan Rp10,04 triliun untuk 4,1 juta penerima," papar Hergun yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR-RI.

Politisi dari Dapil Jabar IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) ini melanjutkan, adanya temuan BPK sangat mengejutkan. Pasalnya aturannya sudah jelas. Namun dalam pelaksanannya ditemukan banyak penyimpangan. Pasal 9 mengatur kewenangan Kemenkop UKM untuk melakukan pembersihan data calon penerima BPUM yang diperoleh dari pengusul BPUM.

Pembersihan data dilakukan melalui penghapusan data calon penerima BPUM yang memiliki identitas sama dengan calon penerima BPUM yang diusulkan lembaga pengusul lain, NIK tidak sesuai format administrasi kependudukan, dokumen persyaratan tidak lengkap, dan sedang menerima KUR atau kredit perbankan lainnya.

"Tampaknya kewenangan tersebut belum dilakukan secara optimal. Pasalnya selain 38,2 ribu penerima yang sudah meninggal, ternyata ada 280,8 ribu penerima dengan NIK tidak padan, 42,2 ribu penerima berstatus ASN, TNI, Polri, serta karyawan BUMN dan BUMD, 19,4 ribu penerima yang bukan usaha mikro, ada 11,8 ribu penerima yang sedang mengambil kredit perbankan lainnya, dan ada pula 1,4 ribu penerima yang menerima BPUM lebih dari sekali," papar Hergun.

Lebih lanjut Hergun menegaskan temuan BPK sudah semestinya ditindaklanjuti dengan mekanisme yang berlaku agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Tahun ini penyaluran BPUM tidak boleh salah sasaran lagi sebagaimana yang terjadi pada 2020.

Selain itu, Hergun juga meminta semua pihak terkait untuk menjalankan tugas dan wewenangnya secara profesional. Belajar dari 2020, pembersihan data harus dilakukan secara cermat dan tepat agar perbaikan tersebut bisa mengurangi tingkat ketidaktepatan penyaluran BPUM pada 2020.

Dan yang utama, kepada penyalur baik Perbankan dan atau PT Pos Indonesia sebagai pihak penyalur sebaikya juga turut melakukan validasi secara profesional dan proporsional kepada calon penerima tanpa ada kesan mempersulit penerima BPUM.

"Meskipun sejumlah revisi telah dilakukan, koordinasi antara pihak pengusul, Kemenkop UKM dan pihak penyalur harus lebih intensif dan sinergis dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan agar penyaluran BPUM tidak boleh salah sasaran lagi. BPUM merupakan program untuk membantu pelaku usaha mikro agar bisa bertahan di masa pandemi. Keberhasilan program ini akan berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi nasional dan sekaligus menjadi konstribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi," pungkas Hergun.


sumber : http://www.teropongsenayan.com/122434-temuan-bpk-perlu-ditindaklanjuti-untuk-pembenahan-penyaluran-bpum

0 komentar:

Posting Komentar