DPR Pertanyakan Liberalisasi Jasa Keuangan

Jakarta (dpr.go.id) - Pemerintah telah mengusulkan kepada DPR untuk meratifikasi Protokol VI tentang kerja sama jasa keuangan dan non keuangan dengan negara-negara ASEAN. Ini bentuk liberalisasi yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi Indonesia.

Anggota Komisi XI Heri Gunawan yang dihubungi Senin, (18/1), mempertanyakan surat Presiden Joko Widodo yang meminta persetujuan DPR untuk meratifikasi Protokol VI tersebut. Pemerintah, kata Heri, belum memberi penjelasan yang memadai di balik usulan ratifikasi itu.

“Saya heran kenapa tiba-tiba pemerintah menyodorkan protokol VI pada DPR untuk meminta persetujuan, sedangkan protokol I sampai V saja belum pernah diketahui DPR seperti apa isinya. Kok, tiba-tiba langsung loncat saja,” ucap Heri penuh tanda tanya.

Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Protocol to Implement the Sixth Package of Commitments on Financial Services under the ASEAN Framework Agreement of Services pada 20 Maret 2015. Indonesia dan Kamboja belum meratifikasi protokol ini. Dan pemerintah lewat Menkeu Bambang Brodjonegoro di hadapan Komisi XI Senin sore meminta pertimbangan DPR agar ratifikasi tersebut dapat dilakukan dengan penetapan Perpres, sesuai UU Perdagangan.

Politisi Partai Gerindra ini, menegaskan, ratifikasi ini harus ditetapkan melalui UU, tidak bisa melalui Perpres. Ia mengutip UUD NRI Tahun 1945, Pasal 11 ayat (2) bahwa Presiden dengan persetujuan DPR bisa menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Sedangkan ayat (2) menyatakan, Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas bagi kehidupan rakyat dan mengharuskan perubahan atau pembentukan UU, harus meminta persetujuan DPR.

Menurut Heri, persoalan krusial di balik usulan ratifikasi Protokol VI ini adalah, pemerintah seolah memberi kebebasan kepada semua investor asing untuk berbisnis di sektor jasa keuangan dan non keuangan (investasi dan perdagangan) tanpa menghiraukan UU yang berlaku. “Ini, kan, gila. Masa pemerintah mau meliberalisasi sektor keuangan dan non keuangan. Itu artinya sama saja memberikan karpet merah pada asing.”

Dalam surat resminya, Menlu Retno Marsudi juga secara jelas menyebut bahwa protokol ini untuk meliberalisasi dan meningkatkan perdagangan jasa keuangan dan investasi secara progresif. Heri sangat mengkhawatirkan persoalan ini. “Artinya, bangsa ini ditelanjangi bangsa lain. Ini tidak boleh terjadi. Peran negara akan tereduksi oleh Protokol VI tersebut,” seru Heri lebih lanjut.

Bahkan, papar Heri lagi, dalam terjemahan naskah yang diajukan dan diterima Komisi XI DPR, jelas-jelas terlulis konsekuensinya bahwa peran pemerintah akan dibatasi. “Jika protokol VI disetujui, maka kehadiran negara berkurang. Implikasinya, dua sektor yakni keuangan dan non keuangan akan diambil alih asing maupun aseng (para pengusaha Cina). Ironisnya, ketika Presiden Obama telah memangkas hampir 60% sektor ekonomi maupun keuangan yang berbau liberalisasi, Indonesia malah justru sebaliknya,” keluh Heri. (mh)/foto:arief/parle/iw.

0 komentar:

Posting Komentar