Rimanews - Presiden Jokowi telah melansir 10 paket kebijakan ekonomi. Namun 10 paket kebijakan ekonomi itu dinilai tak mampu menjawab masalah yang sebenarnya. Salah satu bukti adalah terjadinya PHK besar-besaran.
Menurut Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan, di Jakarta, Sabtu (13/02/2016), paket kebijakan ekonomi tersebut belum mampu menjawab masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat. Paket kebijakan itu juga belum maksimal mengendalikan harga Barang Kebutuhan Pokok seperti beras dan daging yang rawan terdistorsi oleh ulah mafia ataupun kartel.
"Padahal barang pokok tersebut menjadi penyumbang inflasi terbesar. Inflasi yang tinggi itu pada gilirannya menggerus daya beli rakyat," kata Heri.
Paket kebijakan ekonomi itu belum menjamin kemudahan akses atas sumber permodalan dan pembiayaan UMKM. Pelaku UMKM masih menemui sejumlah kendala di lapangan, terutama yang terkait dengan administrasi dan agunan yang seringkali jadi keluhan pelaku UMKM.
Paket ekonomi itu belum maksimal dalam menggenjot kinerja investasi langsung yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja riil. Lebih jauh, ada paradoks pada masuknya investasi asing selama ini. Investasi asing masuk, tapi serapan tenaga tenaga kerja turun.
"Mestinya, investasi asing yang masuk itu bisa menciptakan lapangan kerja riil. Kalau tidak ada efek positif, buat apa? Apalagi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) makin lebar. Naik 300 ribu orang dibanding tahun lalu," ujar dia.
Paket ekonomi itu juga belum mampu menggenjot pertumbuhan investasi di sektor-sektor strategis seperti pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar 8%. Padahal, pangsa pasar di sektor-sektor itu lebih dari 80%.
"Paket ekonomi itu belum bisa menjamin produktifitas sektor pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan yang hanya menyumbang 15,4% atas PDB. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor-sektor itu masih dominan, di atas 50%. Penyebabnya antara lain minimnya penguatan SDM, investasi, teknologi, dan modal," sebutnya.
Ia juga menilai, Paket kebijakan ekonomi itu terlalu sembrono membuka pasar domestik sehingga sangat rawan untuk diserang produk-produk impor, bukan takut produk impor tapi pemerintah khususnya kementerian/lembaga terkait seharusnya sudah memiliki strategi dan road map yang jelas guna melindungi pasar domestik bukan turut melakukan deregulasi besar-besaran yang mengancam eksistensi pengusaha lokal.
Terkait formulasi baru perhitungan upah minimum yang dirumuskan dalam PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan merupakan bagian dari rezim upah murah yang tidak berpihak terhadap nasib buruh, bahkan justru tidak memberi ruang yang cukup manusiawi terhadap buruh.
"Penyusunan kebijakan yang baik mestinya bermula dari pemahaman yang benar terhadap masalah. Sejauh ini, saya tidak terlalu yakin kalau pemerintah memahami masalah yang sebenarnya. Pasalnya, paket-paket ekonomi yang telah diterbitkan masih saja melempem. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan adalah paket itu hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak linear dengan pencapaian kesejahteraan yang adil dan merata. Pertumbuhan yang ada lebih dinikmati oleh 20% orang terkaya sedangkan 80% sisanya, rawan tertinggal," kata politisi Partai Gerindra itu.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Sukabumi itu juga menyebutkan, persoalan mendasar yang mesti dijawab oleh tim ekonomi dalam paket-paket yang disusun adalah pemerataan pembangunan, kesejahteraan yang berkeadilan, dan penciptaan lapangan kerja yang riil.
Selama ini, paket kebijakan ekonomi yang dibuat, tidak lain tidak bukan, adalah penerapan model ekonomi yang berhaluan kapitalis-liberal-pasar. Sehingga, sampai kapanpun paket ekonomi itu tidak akan mampu menjawab soal yang sebenarnya. Yang terjadi justru gelombang PHK akan terus terjadi atas nama efisiensi dan adanya 1% orang yang ongkang-ongkang kaki sedangkan 99% sisanya, sekarat.
"Karena itu, sudah waktunya pemerintah berani mengubah haluan dan model ekonomi-moneternya yang dengan menyegarkan kembali ekonomi Pancasila yang dilandaskan pada "kebersamaan" dengan azas kekeluargaan. Salah satunya untuk jangka waktu tertentu, dan bisa dimulai dari perbankan milik negara, kebijakan moneter dalam bentuk SBI harus distop karena hanya akan menjadi beban semata. Hingga pada gilirannya, secara tidak langsung perbankan akan menyalurkan kredit, dengan penyaluran kredit diharapan dapat terdistribusi secara tepat dan efektif untuk membangun sektor-sektor produktif dan padat karya, sehingga kinerja ekonomi bisa tumbuh dan berkembang," pungkasnya..
Juga, sambungnya, asal tetap dalam rentang kendali, inflasi tidak perlu dikhawatirkan karena tumbuhnya daya beli rakyat. Sebagai contoh, dengan ekonomi tumbuh, asumsi penghasilan bisa naik jadi 50%, harga-harga naik 10%. (double digit) masih dianggap relatif posisi nyaman. Yang terpenting adalah ekonomi (sektor riil) bisa jalan, tumbuh dan berkembang. dan itu butuh stimulus dari sektor perbankan ketimbang dananya disimpan di SBI (yang jelas ada dananya).
"Dengan demikian, maka niat baik pemerintah yang tertuang dalam berbagai paket kebijakan ekonomi yang bersifat ekspansif akan mendapat tempat yang sebenarnya dan diapresiasi. Namun, sayang sekali, jika banyak faktor pendukung kebijakan dalam negeri yang terkontraksi, karena tidak didukung oleh kebijakan antar kementerian/lembaga, yang sinergis sehingga sangat mempengaruhi penurunan di sektor riil dan konsumsi," kata Heri.
0 komentar:
Posting Komentar