Bank Indonesia (BI) berencana memangkas Giro Wajib Minimum (GWM) kepada bank-bank yang melakukan Repurchase Agreement (Repo). Adapun repo tersebut dilakukan bank untuk relaksasi kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Menurut Anggota Komisi XI DPR RI/Fraksi Gerindra Heri Gunawan, Bank Indonesia (BI) telah menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps pada Januari, 50 bps pada April, dan 200 bps pada Mei. Dengan demikian, saat ini GWM rupiah menjadi 3,50 persen dari himpunan dana bank.
“Selama tahun 2020, BI telah melakukan pelonggaran kuantitatif senilai Rp 155 Triliunn melalui penurunan kewajiban GWM guna memperkuat manajemen likuiditas perbankan dan ikut menaikkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM),” papar Heri Gunawan saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, Rabu (06/05/20).
Kenaikan PLM itu, kata Heri wajib dipenuhi melalui pembelian SUN atau SBSN yang akan diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana.
“Langkah itu baik, tetapi yang menjadi pertanyaan, uangnya hanya numpang lewat saja, karena beberapa perbankan diperkirakan masih kesulitan likuiditas dan sudah tidak memiliki secondary reserve dalam bentuk SBN lagi. Sehingga enggak nyambung antara kebijakan dan regulasi,” kata Heri Gunawan.
Melihat kondisi ini, terkait Stabilitas Sistem Keuangan. Jika perbankan Himbara tetap dipaksakan dan harus menjadi bank penyangga likuiditas bank sistemik, setidaknya harus ada aturan dan peraturan yang jelas, di antaranya :
– Sumber pendanaan harus dari penempatan pemerintah (bukan dari DPK bank Himbara)
– Porsi penempatan dana ke Himbara harus lebih besar dibanding ke yang swasta.
– Sifat dari dana talangan ini adalah chanelling (penerusan), sehingga bila Banknya gagal, bukan menjadi kerugian bank Himbara.
– Sebaiknya direksi diberi perlindungan hukum dalam menjalankan fungsi sebagai pengelola penyangga likuiditas.
Sejatinya Legislator yang kental sapaan akrab Hergun menambahkan perbankan Himbara adalah objek kebijakan. Jika terjadi, perbankan Himbara diseret masuk ke dalam ranah regulator KSSK khususnya terkait perbankan, ini memberikan indikasi tidak bekerjanya fungsi pengawasan, pengaturan dan perlindungan yang dilakukan oleh OJK.
“Nampaknya bisikan OJK terlalu manis ke Presiden, sehingga tidak berlebihan kalau fungsi OJK dilebur kembali ke Bank Indonesia,” tandas Hergun.
0 komentar:
Posting Komentar