Legislator Minta Pemerintah Batalkan PP 23/2020


JAKARTA – DPR Komisi XI meminta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 mengenai Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Penanganan Pandemi Covid-19 agar segera dibatalkan.
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai PP tersebut memunculkan isu dikotomi antara Bank Peserta atau Bank Jangkar dengan Bank Pelaksana. Termasuk di dalamnya sejumlah Bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
"Bila mudharatnya lebih besar dari manfaatnya maka sebaiknya PP 23/2020 dibatalkan," kata Hergun -sapaan Heri Gunawan saat dikonfirmasi mengenai kemunculan PP tersebut, Selasa (26/5).
Bank peserta atau bank jangkar merupakan 15 bank beraset terbesar yang akan menerima penempatan dana pemerintah untuk memberi likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit, pembiayaan, dan/atau memberikan tambahan kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 1 PP 23/2020.
Sementara bank pelaksana adalah bank yang akan menerima dana dari bank peserta yang kemudian memberikan restrukturisasi, pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit kepada usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi. 
"Pendeknya, pemerintah mengucurkan dana kepada bank peserta atau bank jangkar. Kemudian bank jangkar akan menyalurkan ke bank pelaksana," jelas legislator Partai Gerindra ini.
Dikotomi antara bank peserta dengan bank pelaksana menurutnya tidak perlu terjadi jika Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melaksanakan perannya sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).
Namun faktanya, lanjut Hergun, menghadapi pandemi covid-19 para pejabat KSSK (Menkeu, BI, OJK, LPS) seakan-akan lebih memilih melindungi tangganya. Hal itu terlihat jelas dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2020 di mana dalam Pasal 27 dijelaskan bahwa para pejabat KSSK tidak bisa dijerat oleh hukum.
Hergun melanjutkan, melalui PP Nomor 23 Tahun 2020 yang memunculkan dikotomi bank peserta dan bank pelaksana, KSSK seolah ingin meminjam tangan 15 bank peserta untuk berperan menjadi regulator padahal bank-bank tersebut sejatinya berstatus sebagai objek kebijakan. 
"Remot kontrol kebijakan tetap dipegang oleh KSSK. Kesimpulannya, bank peserta hanya dijadikan tumbal," ujar dia.
Ia juga mengatakan ada aroma spekulatif bahwa kelahiran PP Nomor 23 Tahun 2020 sengaja menggusur UU PPKSK dalam penanganan masalah likuiditas perbankan. Di mana penanganan likuiditas bank sistemik sudah sangat jelas menjadi kewenangan Kemenkeu, BI, OJK dan LPS. 
"Tak ada satu pasal pun yang menyebut peran perbankan, karena memang perbankan tidak termasuk regulator, tapi objek kebijakan," sambung Hergun.
Ia menambahkan, dalam PP Nomor 23 Tahun 2020 terutama dalam pasal 10 dan pasal 11 diatur mengenai pelaksanaan program PEN terutama bagian penempatan dana yaitu ada bank peserta dan bank pelaksana. Bank peserta akan mendapatkan dana dari pemerintah dan kemudian akan menyalurkan kepada bank pelaksana. 
Kemudian, antara bank peserta dan bank pelaksana diatur dengan perjanjian tersendiri antarkeduanya. Jadi, lanjut Hergun, jika terjadi gagal sistemik maka bank-bank tersebutlah yang akan menanggung risikonya. 
Untuk diketahui, Pasal 12 PP Nomor 23 Tahun 2020 secara terang menyatakan dalam hal bank peserta mengalami permasalahan dan diserahkan penanganannya kepada LPS, maka LPS mengutamakan pengembalian dana Pemerintah. 
"Artinya aset milik bank peserta maupun dana masyarakat tidak menjadi prioritas. LPS yang semestinya menjadi penjamin dana nasabah sudah berubah fungsi menjadi lembaga penjamin simpanan pemerintah (LPSP)," ujar dia.
Menurut anggota Badan Pengkajian MPR ini, Pasal 12 PP tersebut bisa menjadi sumber petaka bagi bank Himbara. Perlu diingatkan bahwa dari 15 bank yang ditetapkan sebagai bank peserta, terdapat empat bank yang berstatus sebagai bank Himbara, yakni BRI, Bank Mandiri, BNI dan BTN. 
Hergun mengatakan total aset keempat bank tersebut mencapai Rp3.655,51 triliun dan total DPK mencapai Rp2.665,04 triliun. Menurut dia, Inilah nilai yang akan dipertaruhkan oleh bank Himbara, masih ada 11 bank lagi yang berstatus sebagai bank peserta. 
"Terbukti, beberapa hari belakangan saham-saham bank Himbara berguguran gara-gara wacana akan dijadikan bank peserta alias bank jangkar. Nasib buruk juga bisa dialami oleh dana nasabah yang disimpan di dalam bank Himbara karena LPS lebih memprioritaskan dana pemerintah, bukan dana nasabah saat kemungkinan terburuk terjadi," ucapnya. (Rheza Alfian)  

0 komentar:

Posting Komentar