PPN Digital Yang Cukup Besar Harus Dihadapi Hati-Hati


Jakarta – Implementasi pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk produk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) saat ini merupakan waktu yang sangat tepat. Traffict digital di Indonesia pasti meningkat karena adanya kebijakan work from home (WFH). Dengan kata lain, PPN digital cukup besar, namun pemerintah harus tetap berhati-hati menghadapinya.
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengemukakan hal ini dalam keterangan persnya, Rabu (10/6/2020). Dijelaskannya, potensi penerimaan pajak digital ini, dihitung dari proyeksi pendapatan perusahaan PMSE dalam setahun dan dikalikan PPN 10 persen. Dengan asumsi tingkat kepatuhan pajak sebesar 50 persen, potensi penerimaan pajak sektor ini bisa mencapai Rp 530 miliar.
Jumlah tersebut, nilai Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan, cukup besar bagi penerimaan negara, terlebih di tengah pandemi corona seperti saat ini. Namun, ada persoalan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 yang akan diberlakukan 1 Juli nanti. Pertama, pelaku usaha yang dari luar negeri seperti Zoom, Netflix, dan sebagainya bisa menekan pemerintah dari masing-masing negaranya untuk melakukan intervensi. Terutama pelaku usaha digital dari China yang memang pemerintahnya memiliki peran besar.
Kedua, sambung politisi Partai Gerindra itu, dengan adanya bukti bahwa kegiatan pelaku usaha PMSE mempunyai significant economic presence, maka implementasinya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Data yang pasti hanyalah dimiliki oleh perusahaan, negara mungkin hanya bisa memperkirakan, harus benar-benar tepat sasaran. Ketiga, data digital merupakan barang tak kasat mata, bukan seperti aset atau barang yang berwujud. Pemerintah harus lebih detail mengetahui transparansi transaksi digital dari setiap konsumen.
Keempat, masih kata Hergun, pemerintah perlu menghitung dampak perpindahan konsumen ke berbagai situs yang masih bebas menjual tanpa ada kewajiban PPN. “Sebaiknya Pemerintah dapat memilih transaksi digital mana dulu yang harus dikenakan PPN, serta mana yang harus dibiarkan layanannya berjalan tanpa PPN guna memberikan produk yang murah kepada masyarakat. Artinya, dalam penerapan awal nanti, Pemerintah bisa melakukannya secara bertahap, sesuai produk prioritas yang bisa dikenakan PPN agar masyarakat bisa menyesuaikan diri secara perlahan,” paparnya.
Menurut Anggota Baleg DPR RI ini, masih ada celah masalah dalam PMK bagi transaksi PMSE. Pemerintah harus memperhatikan setiap detail yang bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari, terutama perusahaan-perusahaaan besar dari luar negeri. “Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Niat menambah pajak, jangan sampai malah merugikan dengan memicu negara lain menerapkan hal yang lebih besar dan memberikan dampak negatif bagi Indonesia,” imbuh Hergun.
PMK 48/2020 itu bertujuan menambah penerimaan pajak sekaligus melengkapi UU PPN dan aturan pelaksanaan yang sudah ada khususnya memberikan dasar hukum untuk menunjuk pelaku usaha luar negeri sebagai pemungut PPN atas penjualan produk digitalnya. Otoritas pajak di dalam negeri harus sudah melakukan pendekatan dan komunikasi dengan perrwakilan yurisdiksi yang merupakan pelaku usaha dari Amerika Serikat, Australia, China, Hong Kong, India, Inggris, Jepang, Singapura, Swedia, dan Thailand.
Termasuk juga dalam hal ini anggota-anggota perusahaan dari US Chamber, US Asean Business Council (USABC), dan European Chamber. “Pemerintah harus menyosialisasikan mekanisme, ketentuan, dan kriteria Significant Economic Presence (SEP), Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif pajak PTE, dan ketentuan administrasi lainnya seperti pendaftaran, pelaporan, penyetoran, dan sanksi. (mh/sf)

0 komentar:

Posting Komentar