KUNCI kesuksesan pembangunan nasional yang mandiri dan berdikari adalah terpenuhinya penerimaan negara sebagai modal utama untuk melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan.
Penerimaan perpajakan telah menjadi penerimaan negara terbesar sejak 1992 dengan kontribusi mencapai 47,4 persen dan meningkat pada 2020 menjadi sebesar 65,1 persen. Namun kontribusi tersebut belum cukup menutup pembiayaan pembangunan yang kian membesar.
Setidaknya sudah 12 tahun berturut-turut terjadi shortfall pajak, yaitu realisasi penerimaan pajak tidak memenuhi target yang ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Terakhir kali penerimaan pajak mencapai target yakni pada tahun 2008, mencapai 106,7 persen atau terealisasi Rp 571 triliun dari target Rp 535 triliun dalam APBN. Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp 36 triliun. Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari target.
Selain shortfall pajak, angka tax ratio atau rasio perpajakan Indonesia sejak 2010 hingga 2020 juga cenderung turun, dari 11,3 persen pada 2010 menjadi 9,8 persen pada 2019, dan pada 2020 turun lagi menjadi 8,3 persen.
Rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,3 persen. OECD mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan (PPh).
Terjadinya pandemi Covid-19 makin memperparah kondisi keuangan negara. Defisit APBN yang tadinya dibatasi maksimal 3 persen diberi kelonggaran bisa melebihi di atas 3 persen selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022. Pelebaran defisit APBN secara otomatis menambah akumulasi utang.
Dalam kondisi demikian, perlu dirancang skema reformasi perpajakan sebagai solusi meningkatkan penerimaan perpajakan, meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio), mengurangi defisit APBN dan memperkecil rasio utang terhadap PDB. Skema tersebut merubah beberapa undang-undang yang terkait dengan perpajakan yang kemudian disebut dengan harmonisasi peraturan perpajakan.
Harmonisasi Perpajakan
Harmonisasi peraturan perpajakan disusun berdasarkan asas: (1) keadilan; (2) kesederhaan; (3) efisiensi; (4) kepastian hukum; (5) kemanfaatan; dan (6) kepentingan nasional.
Sementara isu utama dari harmonisasi peraturan perpajakan ditujukan untuk : (1) meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; (2) mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; (4) melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan (5) meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan di atas, konstruksi harmonisasi peraturan perpajakan mencakup antara lain: (1) pemberlakuan NIK sebagai NPWP, (2) penguatan administrasi perpajakan, (3) asistensi penagihan pajak global dengan prinsip resiprokal, (4) penunjukkan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, (5) implementasi tindak pidana perpajakan, (6) pengaturan PPh, (7) pengaturan PPN, (8) program pengungkapan sukarela wajib pajak, (9) pajak karbon, dan (10) penegasan prinsip ultimum remedium pada tindak pidana cukai.
Kesepuluh kebijakan di atas tentu tidak mudah mengimplementasikannya karena beberapa kebijakan tersebut masih terkait dengan wewenang kementerian/lembaga lainnya dan bahkan negara/yuridiksi lainnya, sehingga diibutuhkan kerjasama dan kolaborasi dengan pihak lain tersebut.
Selain itu, beberapa isu lainya seperti penerapan NIK sebagai NPWP, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, penambahan layer tarif PPh, perlu disosialisasikan secara massif dan komprehensif agar bisa dipahami dan diterima semua kalangan.
Perlu kami sampaikan beberapa catatan dan sekaligus solusi implementasinya terhadap kebijakan tersebut. Pertama, kebijakan perluasan basis perpajakan dengan penerapan NIK sebagai NPWP perlu dipersiapkan dengan matang dan juga sosialisasi yang luas. Selama ini NIK dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga perlu kolaborasi antar dua kementerian agar proses integrasi dapat terwujud tanpa hambatan yang berarti.
Selain itu, perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat bahwa pemberlakuan NIK sebagai NPWP tidak serta merta akan menyasar seluruh warga menjadi sasaran pajak. Ada ketentuan batas penghasilan dan pengecualian-pengecualian tertentu yang tidak dikenakan pajak.
Kedua, sejumlah penguatan administrasi dan kebijkan perpajakan lainya perlu dipersiapkan secara matang, disosialisasikan secara luas, serta didukung dengan penguatan digitalisasi sistem.
Ketiga, asistensi penagihan pajak global dengan prinsip resiprokal perlu diperkuat dan diperluas. Selama ini penagihan pajak antaryuridiksi belum membuahkan hasil yang maksimal disebabkan belum diaturnya ketentuan perbantuan penagihan pajak global dalam undang-undang. Saat ini diperkirakan masih banyak negara/yuridiksi yang dijadikan sebagai tempat tax haven.
Keempat, pemberlakuan pajak karbon memiliki dua makna penting yaitu sebagai upaya penambahan penerimaan pajak dan sekaligus pengurangan bencana perubahan iklim. Pajak karbon merupakan hal baru sehingga penerapannya perlu strategi khusus agar tidak mengguncang perekonomian. Karena itu, tarif pajak karbon harus ditetapkan secara moderat. Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp30 per kilogram, atau Rp30 ribu per ton equivalen dengan 2 dollar Amerika (asumsi 1 USD : Rp15 ribu).
Jika dilacak ke belakang, pajak karbon adalah upaya Indonesia lebih serius pascaratifikasi Paris Agreement. Buktinya, dari 175 negara yang menandatangani Paris Agreement, sejauh ini baru 15 negara yang telah meratifikasinya.
Kelima, pemberlakukan prinsip ultimum remedium dalam penegakan hukum pajak dan cukai perlu dimaknai sebagai upaya terobososan untuk lebih memaksimalkan penerimaan negara. Proses hukum yang memakan waktu lama bisa diselesaikan dengan cepat tanpa mengurangi penerimaan negara.
Selain itu, dan yang tidak kalah penting, bahwa penyusunan kebijakan harmonisasi peraturan perpajakan juga harus menyeimbangkan antara peningkatan penerimaan perpajakan dan perlindungan terhadap rakyat.
Terkait dengan rancangan kebijakan yang akan menyasar pajak sembako, jasa pelayanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, kami telah menolaknya, sehingga sembako, jasa pelayanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial tetap tidak dikenakan PPN.
Dan, terhadap rencana penghapusan diskon pajak UMKM, kami juga menolaknya. UMKM adalah penopang ekonomi kerakyatan dan layak menerima keringanan tarif pajak.
Itulah komitmen politik yang mengedepankan kepentingan berbangsa dan bernegara dengan tetap memberi perlidungan kepada rakyat. Negara wajib hadir di tengah-tengah rakyat.
Harapan Besar
Perubahan dinamika global yang begitu cepat belum diantisipasi oleh regulasi perpajakan sehingga masih ada celah untuk menghindari pajak secara lintas yurisdiksi. Regulasi perpajakan lambat merespons eksistensi bisnis digital dan transaksi dengan e-commerce. Wajib pajak selalu menghindar dengan berbagai modus penghindaran pajak yang kian canggih.
Dalam tataran makro, pajak adalah instrumen strategis bagi fiskal negara. Bila penerimaan perpajakan selalu gagal memenuhi target, ketangguhannya menjadi instrumen penggerak pembangunan juga tidak bekerja dengan maksimal. Salah satu indikator perpajakan yang baik adalah makin kompatibelnya dengan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini tax ratio Indonesia masih rendah hanya di kisaran 9–11 persen produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah negara-negara ASEN. Sebut saja, Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Thailand sudah di kisaran 16–18 persen PDB. Sedangkan Laos, Singapura, dan Malaysia pada kisaran 12–14 persen PDB.
Berdasar latar belakang keadaan itulah DPR dan pemerintah sepakat untuk melakukan harmonisasi peraturan perpajakan. Dalam rangka itu segenap regulasi perlu disempurnakan dan perlu dibuat untuk menopangnya.
Harmonisasi peraturan perpajakan menjadi harapan besar untuk mendongkrak penerimaan perpajakan. Bila penerimaan perpajakan naik secara signifikan maka Indonesia bisa mengurangi akumulasi hutang yang kian menggunung. Idealnya, biaya pembangunan memang seharusnya mengandalkan dari penerimaan perpajakan, sementara hutang cukup menjadi pendukung.
Kapoksi Fraksi Gerindra Komisi XI DPR-RI
Setidaknya sudah 12 tahun berturut-turut terjadi shortfall pajak, yaitu realisasi penerimaan pajak tidak memenuhi target yang ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Terakhir kali penerimaan pajak mencapai target yakni pada tahun 2008, mencapai 106,7 persen atau terealisasi Rp 571 triliun dari target Rp 535 triliun dalam APBN. Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp 36 triliun. Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari target.
Selain shortfall pajak, angka tax ratio atau rasio perpajakan Indonesia sejak 2010 hingga 2020 juga cenderung turun, dari 11,3 persen pada 2010 menjadi 9,8 persen pada 2019, dan pada 2020 turun lagi menjadi 8,3 persen.
Rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,3 persen. OECD mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan (PPh).
Terjadinya pandemi Covid-19 makin memperparah kondisi keuangan negara. Defisit APBN yang tadinya dibatasi maksimal 3 persen diberi kelonggaran bisa melebihi di atas 3 persen selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022. Pelebaran defisit APBN secara otomatis menambah akumulasi utang.
Dalam kondisi demikian, perlu dirancang skema reformasi perpajakan sebagai solusi meningkatkan penerimaan perpajakan, meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio), mengurangi defisit APBN dan memperkecil rasio utang terhadap PDB. Skema tersebut merubah beberapa undang-undang yang terkait dengan perpajakan yang kemudian disebut dengan harmonisasi peraturan perpajakan.
Harmonisasi Perpajakan
Harmonisasi peraturan perpajakan disusun berdasarkan asas: (1) keadilan; (2) kesederhaan; (3) efisiensi; (4) kepastian hukum; (5) kemanfaatan; dan (6) kepentingan nasional.
Sementara isu utama dari harmonisasi peraturan perpajakan ditujukan untuk : (1) meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; (2) mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; (4) melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan (5) meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan di atas, konstruksi harmonisasi peraturan perpajakan mencakup antara lain: (1) pemberlakuan NIK sebagai NPWP, (2) penguatan administrasi perpajakan, (3) asistensi penagihan pajak global dengan prinsip resiprokal, (4) penunjukkan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, (5) implementasi tindak pidana perpajakan, (6) pengaturan PPh, (7) pengaturan PPN, (8) program pengungkapan sukarela wajib pajak, (9) pajak karbon, dan (10) penegasan prinsip ultimum remedium pada tindak pidana cukai.
Kesepuluh kebijakan di atas tentu tidak mudah mengimplementasikannya karena beberapa kebijakan tersebut masih terkait dengan wewenang kementerian/lembaga lainnya dan bahkan negara/yuridiksi lainnya, sehingga diibutuhkan kerjasama dan kolaborasi dengan pihak lain tersebut.
Selain itu, beberapa isu lainya seperti penerapan NIK sebagai NPWP, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, penambahan layer tarif PPh, perlu disosialisasikan secara massif dan komprehensif agar bisa dipahami dan diterima semua kalangan.
Perlu kami sampaikan beberapa catatan dan sekaligus solusi implementasinya terhadap kebijakan tersebut. Pertama, kebijakan perluasan basis perpajakan dengan penerapan NIK sebagai NPWP perlu dipersiapkan dengan matang dan juga sosialisasi yang luas. Selama ini NIK dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga perlu kolaborasi antar dua kementerian agar proses integrasi dapat terwujud tanpa hambatan yang berarti.
Selain itu, perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat bahwa pemberlakuan NIK sebagai NPWP tidak serta merta akan menyasar seluruh warga menjadi sasaran pajak. Ada ketentuan batas penghasilan dan pengecualian-pengecualian tertentu yang tidak dikenakan pajak.
Kedua, sejumlah penguatan administrasi dan kebijkan perpajakan lainya perlu dipersiapkan secara matang, disosialisasikan secara luas, serta didukung dengan penguatan digitalisasi sistem.
Ketiga, asistensi penagihan pajak global dengan prinsip resiprokal perlu diperkuat dan diperluas. Selama ini penagihan pajak antaryuridiksi belum membuahkan hasil yang maksimal disebabkan belum diaturnya ketentuan perbantuan penagihan pajak global dalam undang-undang. Saat ini diperkirakan masih banyak negara/yuridiksi yang dijadikan sebagai tempat tax haven.
Keempat, pemberlakuan pajak karbon memiliki dua makna penting yaitu sebagai upaya penambahan penerimaan pajak dan sekaligus pengurangan bencana perubahan iklim. Pajak karbon merupakan hal baru sehingga penerapannya perlu strategi khusus agar tidak mengguncang perekonomian. Karena itu, tarif pajak karbon harus ditetapkan secara moderat. Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp30 per kilogram, atau Rp30 ribu per ton equivalen dengan 2 dollar Amerika (asumsi 1 USD : Rp15 ribu).
Jika dilacak ke belakang, pajak karbon adalah upaya Indonesia lebih serius pascaratifikasi Paris Agreement. Buktinya, dari 175 negara yang menandatangani Paris Agreement, sejauh ini baru 15 negara yang telah meratifikasinya.
Kelima, pemberlakukan prinsip ultimum remedium dalam penegakan hukum pajak dan cukai perlu dimaknai sebagai upaya terobososan untuk lebih memaksimalkan penerimaan negara. Proses hukum yang memakan waktu lama bisa diselesaikan dengan cepat tanpa mengurangi penerimaan negara.
Selain itu, dan yang tidak kalah penting, bahwa penyusunan kebijakan harmonisasi peraturan perpajakan juga harus menyeimbangkan antara peningkatan penerimaan perpajakan dan perlindungan terhadap rakyat.
Terkait dengan rancangan kebijakan yang akan menyasar pajak sembako, jasa pelayanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, kami telah menolaknya, sehingga sembako, jasa pelayanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial tetap tidak dikenakan PPN.
Dan, terhadap rencana penghapusan diskon pajak UMKM, kami juga menolaknya. UMKM adalah penopang ekonomi kerakyatan dan layak menerima keringanan tarif pajak.
Itulah komitmen politik yang mengedepankan kepentingan berbangsa dan bernegara dengan tetap memberi perlidungan kepada rakyat. Negara wajib hadir di tengah-tengah rakyat.
Harapan Besar
Perubahan dinamika global yang begitu cepat belum diantisipasi oleh regulasi perpajakan sehingga masih ada celah untuk menghindari pajak secara lintas yurisdiksi. Regulasi perpajakan lambat merespons eksistensi bisnis digital dan transaksi dengan e-commerce. Wajib pajak selalu menghindar dengan berbagai modus penghindaran pajak yang kian canggih.
Dalam tataran makro, pajak adalah instrumen strategis bagi fiskal negara. Bila penerimaan perpajakan selalu gagal memenuhi target, ketangguhannya menjadi instrumen penggerak pembangunan juga tidak bekerja dengan maksimal. Salah satu indikator perpajakan yang baik adalah makin kompatibelnya dengan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini tax ratio Indonesia masih rendah hanya di kisaran 9–11 persen produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah negara-negara ASEN. Sebut saja, Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Thailand sudah di kisaran 16–18 persen PDB. Sedangkan Laos, Singapura, dan Malaysia pada kisaran 12–14 persen PDB.
Berdasar latar belakang keadaan itulah DPR dan pemerintah sepakat untuk melakukan harmonisasi peraturan perpajakan. Dalam rangka itu segenap regulasi perlu disempurnakan dan perlu dibuat untuk menopangnya.
Harmonisasi peraturan perpajakan menjadi harapan besar untuk mendongkrak penerimaan perpajakan. Bila penerimaan perpajakan naik secara signifikan maka Indonesia bisa mengurangi akumulasi hutang yang kian menggunung. Idealnya, biaya pembangunan memang seharusnya mengandalkan dari penerimaan perpajakan, sementara hutang cukup menjadi pendukung.
Kapoksi Fraksi Gerindra Komisi XI DPR-RI
0 komentar:
Posting Komentar