Penerimaan Pajak 2021 Melebihi Target, Hergun: Berkah Kenaikan Harga Komoditas dan Energi

 

JAKARTA  --Penerimaan pajak 2021 telah melebihi dari target yang dicanangkan pada APBN 2021. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak sampai 26 Desember 2021 telah mencapai Rp1.231,87 triliun atau 100,19 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun.

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan memberikan apresiasi kepada pemerintah khususnya Kementerian Keuangan cq DJP yang mampu memenuhi target penerimaan pajak 2021. Namun perlu dicatat, capaian tersebut tidak terlepas dari adanya berkah kenaikan harga komoditas dan energi yang mendorong aktivitas perdagangan internasional.

“Peningkatan perdagangan internasional telah mendorong kenaikan Pajak atas Impor. Hingga Oktober 2021 Pajak Penghasilan (PPh) Impor menjadi jenis pajak yang mencatatkan pertumbuhan penerimaan tertinggi mencapai 32,3 persen dengan jumlah pajak mencapai Rp182,28 triliun. Bahkan pada bulan November mengalami kenaikan sebesar 36,6 persen,” kata Heri Gunawan yang juga menjabat sebagai Kapoksi Fraksi Gerindra Komisi XI DPR-RI kepada awak media pada Kamis (30/12/21).

Politisi yang memiliki panggilan akrab Hergun melanjutkan, peningkatan perdagangan internasional terkonfirmasi oleh rilis Badan Pusat Statitik yang mencatat terjadinya pertumbuhan ekspor dan impor sepanjang kuartal I hingga kuartal III 2021 masing-masing sebesar 22,23 persen dan 21,46 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Ia melanjutkan, karena itu perlu dibreakdown sumber-sumber penerimaan pajak berdasarkan jenis pajaknya sehingga akan diketahui jenis pajak apa saja yang berkontribusi terhadap tercapaianya penerimaan perpajakan 2021.

“Seusai dengan Pasal 4 UU No 9 Tahun 2020 tentang APBN 2021, target pendapatan pajak meliputi pendapatan pajak penghasilan sebesar Rp683,64 triliun, pendapatan PPN dan PPnBM sebesar Rp518,55 triliun, pendapatan PBB sebesar Rp14,83 triliun, dan pendapatan pajak lainnya sebesar Rp12,43 triliun,” katanya.

“Sumber penerimaan perpajakan akan menjadi alas pijak untuk menyusun kebijakan perpajakan di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2021 terjadi berkah adanya kenaikan harga komoditas dan energi. Bagaimana bila ke depan terjadi penurunan harga komoditas dan energi. Ini perlu dipikirkan solusinya. Jangan sampai ‘kagetan’ karena target pajak tercapai hanya sekali saja,” lanjutnya.

Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR-RI itu lalu membeberkan, sudah 12 tahun berturut-turut terjadi shortfall pajak, yaitu realisasi penerimaan pajak di bawah target pajak.

“Shortfall terjadi sejak tahun 2009 hingga 2020. Pada tahun 2009, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp577 triliun namun realisasinya hanya sebesar 94,5 persen atau Rp545 triliun, sehingga terjadi _shortfall_ sebesar Rp32 triliun,” katanya.

“Sementara pada 2020, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp1.198,82 triliun namun terpenuhi hanya sebesar 89,3 persen atau Rp1.070 triliun, sehingga terjadi shortfall sebesar Rp128,8 triliun,” lanjutnya.

Ia menegaskan, penerimaan pajak bisa mencapai target terakhir kali pada 2008 dengan capaian sebesar 106,8 persen yang di antaranya disebabkan adanya kenaikan harga komoditas dan energi. Namun, setelah 2008 dan bahkan hingga selama 12 tahun kemudian terjadi shortfall pajak.

Politisi yang juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra tersebut berharap agar kasus setelah 2008 tidak terulang kembali dan capaian yang baik pada 2021 ini tetap bisa dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya.

“Tentu tidak bisa selalu bergantung kepada kenaikan harga komoditas dan energi. Kasus 2008 bisa menjadi pembelajaran. Karena itu, keberadaan UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bisa dijadikan sebagai katalitasor untuk menaikkan penerimaan perpajakan, rasio perpajakan, tingkat kepatuhan dan juga jumlah wajib pajak,” jelasnya.

Ia melanjutkan, sejumlah aturan dalam UU HPP berpontesi menjadi sumber penerimaan perpajakan, di antaranya implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025, sistem multitarif PPN dengan rentang 5 persen hingga 15 persen, orang kaya dengan penghasilan di atas Rp35 miliar akan dikenakan tarif PPh 35 persen, program pengungkapan sukarela (PPS), serta pajak karbon.

Politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) kembali menegaskan, terlampauinya target penerimaan pajak di tahun 2021 tidak serta-merta menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi sudah pulih ke level sebelum pandemi.

“Pertumbuhan ekonomi pada 2021 diprediksi akan tercapai pada rentang 3,5 persen hingga 4 persen. Angka tersebut masih di bawah sebelum adanya Covid-19, yakni pada 2019 yang mampu tumbuh 5,02 persen. Sedangkan pada 2018 tumbuh 5,17 persen,” jelasnya.

Namun demikian, ia melanjutkan, capaian penerimaan pajak pada 2021 ini bisa menjadi modal positif untuk mengejar target defisit fiskal. Karena itu, capaian pajak 2021 diharapkan bisa mengurangi defisit APBN 2021 yang dirancang sebesar 5,7 persen menjadi di bawah 5 persen.

“Lalu pada 2022, defisit APBN yang dirancang sebesar 4,8 persen dari PDB, dengan capaian pajak 2021 dan juga adanya UU HPP, bisa ditekan hingga 3,5 persen. Semoga bisa!!,” pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar