Rupiah Melemah, DPR: Perlu Kedaulatan Rupiah

SUKABUMI - Wakil Ketua Komisi VI DPR, Heri Gunawan (HG) angkat bicara mengenai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Menurutnya melemahnya nilai rupiah bukti nasionalisme rontok dan bukti sistem ekonomi Indonesia, termasuk sektor industri dan perdagangan liberal. 

"Kenapa rupiah melemah ? Karena tingginya arus modal yg keluar dari Indonesia. Apalagi, investasi asing yang ada sekarang mayoritas dalam bentuk portofolio (saham, dll). Substansinya adalah perlu kedaulatan rupiah," tegas politikus yang menjabat Ketua DPP Bidang Perdagangan Partai Gerindra, Jumat (19/12).

Menurut HG, strategi pemerintah meningkatkan ekspor dan menekan impor merupakan langkah normatif dan efeknya jangka panjang. Padahal, arus modal keluar bisa secepat kilat.

Masalah lemahnya rupiah, dinilai HG karena rontoknya nasionalisme. Orang lebih suka pake dollar setiap kali melakukan transaksi pembayaran. Padahal amanat UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengamanatkan bahwa seluruh transaksi dalam negeri (NKRI) wajib memakai rupiah.

"Yang kita butuhkan sekarang adalah pemecahan jangka pendek yaitu dengan menegakkan Amanat UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Di mana pengusaha Indonesia harus menggunakan rupiah dalam melakukan transaksi. Setiap transaksi yg menggunakan dollar harus dikonversi ke rupiah. Dengan begitu, nilai rupiah akan tetap terjaga, sekaligus punya kedaulatan," urainya.

Di sisi lain, globalisasi dan perdagangan bebas telah sedemikian rupa membuat Indonesia semakin tergantung pada negara lain. Ketergantungan itu tidak saja hanya secara ekonomi (sebagai sumber dana investasi dan sumber utang), tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan lain seperti aspek kultural dan bahkan aspek akademis. Ketergantungan Indonesia pada luar negeri kini bukan lagi hanya struktural, namun juga kultural.

"Setidak-tidaknya terhitung sejak memasuki era reformasi dan iklim demokrasi, Indonesia tidak memiliki konsep yang sistemik untuk menciptakan serta menuju kemandirian dan ketahanan ekonomi. Akibatnya, pengelolaan makro ekonomi cenderung hanya bersandarkan target-target pragmatis konvensional (seperti laju pertumbuhan ekonomi, keterkendalian laju inflasi dan kurs rupiah)," tuturnya.

"Lalu sejauh mana keberpihakan program trisakti pemerintah..? Masa rupiah kita harus bergantung dollar, itu artinya ekonomi kita tidak mandiri, dan terus bergantung. Ambil contoh industri makanan kita, dimana bahan bakunya hampir 60%-70% adalah impor," timpalnya.

Lemahnya kemandirian dan tiadanya ketahanan ekonomi, lanjut HG, menyebabkan perekonomian dalam negeri sangat rentan terhadap setiap gejolak perekonomian luar negeri. (*

0 komentar:

Posting Komentar