Pemerintah Ragu Patok Asumsi Makro RAPBN 2017

Jakarta (dpr.go.id) - Pemerintah dinilai ragu-ragu dan penuh kehati-hatian dalam mematok asumsi makro untuk RAPBN 2017. Ini semua lantaran kondisi ekonomi domestik dan global masih diselimuti ketidakpastian. Kematangan pemerintah sangat dibutuhkan dalam memproyeksikan ekonomi ke depan. Up date data harus selalu dilakukan, agar ekonomi nasional tidak terus terjatuh.

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengemukakan hal ini, Selasa (19/7/2016). Banyak yang harus diperhatikan pemerintah dengan kenyataan yang ada. Misalnya, sebut Heri, BI rate masih tidak menentu karena terkait faktor eksternal. Inflasi masih di koridor 3-4%. Dan SBN kurang berpihak pada bisnis yang kondusif.

Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan perlambatan ekonomi Tiongkok, karena adanya rapid aging society (cepatnya peningkatan populasi usia tua). Masalah lainnya yang harus diperhatikan adalah potensi arus modal keluar dalam jangka pendek yang dipastikan segera menekan nilai tukar rupiah. Belum lagi risiko penyerapan anggaran yang kecil di daerah.

”Dengan keadaan seperti itu, ke depan perekonomian nasional tetap tidak akan menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi yang nanti dihasilkan tidak akan mengubah apapun. Yang miskin tetap miskin. Yang rentan miskin sangat mungkin jatuh miskin. Untuk diketahui, saat ini, jumlah penduduk miskin sudah mencapai 28,51 juta orang atau sekitar 11,13%,” papar politisi Gerindra ini.

Seperti diketahui, pemerintah telah menyampaikan asumsi makro ekonomi dalan RAPBN 2017 di hadapan Komisi XI DPR. Pertumbuhan ekonomi 5,3-5,9%, inflasi 3-5%, nilai tukar rupiah dipatok Rp 13.650-Rp13.900 per USD, dan SBN 5-5,5%. Menurut Heri yang paling realistis adalah pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5%, inflasi 3-4,5%, nilai tukar rupiah Rp 13.300-Rp 13.500 per USD, dan SBN 5,0-5,5%. “Idealnya penyusunan RAPBN lebih realistis dan berdasarkan kondisi perkembangan ekonomi yang ada.”

Pada bagian lain, Heri menjelaskan, angka pengangguran berpotensi terus meningkat hampir 8 juta orang. Pemerintah belum mampu membuka lapangan kerja baru. Bahkan, sebagian besar satuan bisnis termasuk UMKM telah melakukan efisiensi. Tak sedikit pula yang menutup usaha, karena tak sanggup lagi menanggung beban operasional. Apalagi, pasar kini masih lesu. Yang menyedihkan lagi, lapangan kerja yang tersedia mulai diisi oleh tenaga kerja asing.

“Pemerintah harus bekerja keras lagi dalam mendorong perekonomian nasional yang kuat dan punya dampak nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Dari berbagai survei yang ada, mayoritas masyarakat menilai buruk kesejahteraan masyarakat pada pemerintahan Jokowi,” ungkap mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR tersebut.

Sementara itu, lanjut Heri, masyarakat yang tidak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi di atas 50% dan terus meningkat sejak dilantik pada Oktober 2014 lalu. Semua angka ini, kata Heri, merupakan refleksi atas kegagalan pemerintah menciptakan perekonomian nasional yang kuat. “Ini sudah waktunya menjadi warning keras bagi pemerintah agar tidak santai,” tutup Heri. (mh)/foto:arief/iw.

0 komentar:

Posting Komentar