Bila Pertumbuhan Ekonomi Tetap 5%, Ya, Sulit Jadi Indonesia Maju






Info Heri Gunawan _ Kabinet Indonesia Maju telah dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Tugas besar telah menanti, terutama di bidang ekonomi yang pada periode lalu menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan. Pembenahan target pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita jadi sasaran pembenahan.

Hal itu disampaikan anggota DPR RI Heri Gunawan seabgai catatan kritisnya terhadap pemerintahan  (kabinet) Jokowi yang terbentuk. Paradoks perekonomian Indonesia lima tahun terakhir harus jadi catatan khususnya di Kementerian Keuangan dalam mengambil kebijakan lima tahun ke depan.

Catatan bagi Kementerian Keuangan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai lima persen menempatkan Indonesia di peringkat ke-33 dunia. Ini menegaskan Indonesia belum pernah mengalami pertumbuhan double digit (lebih dari 10 persen).
Begitu juga dengan pendapatan perkapita yang masuk kategori menengah-rendah juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-114 dunia.
“Bila pertumbuhan ekonomi kita terus hanya berada di kisaran lima persen bahkan mungkin tidak sampai, berarti kita tidak akan mungkin sampai pada kategori negara maju (pendapatan perkapita lebih dari 12.000 dollar Amerika Serikat),” papar politisi F-Gerindra itu.
Masalah perpajakan juga ia kritisi. Rasio pajak Indonesia termasuk yang terendah di kawasan Asia dan Afrika. Begitu juga dengan masalah deindustrialisasi. Industri nasional kita yang vital seperti industri baja terus mengalami kebocoran.
Daerah industri seperti Batam pertumbuhan ekonominya jatuh hingga dua persen. Apalagi, perekonomian nasional saat ini juga cukup rentan, karena defisit transaksi berjalan yang sangat besar (-8,4 miliar dollar AS).
Ditambah lagi, sambung Heri, kurang lebih 50 persen surat utang pemerintah dipegang oleh asing. Di sisi lain, pengurangan angka kemiskinan lima tahun lalu juga sangat lambat (paling cepat adalah di era Gus Dur).
Namun, tetap kita berikan apresiasi karena berhasil menembus di bawah 10 persen. Sementara soal gini ratio, saat ini (0,38) bukanlah yang terbaik. Indonesia pernah berhasil memiliki angka gini ratio yang sangat rendah (0,31) mendekati negara-negara welfare state (Gini ratio 0,20-0,30) pada tahun 2000.
“Catatan terpenting juga soal pengelolaan APBN kita yang masih mengadopsi konsep yang sudah terbukti gagal di banyak negara, yaitu masih menggunakan metode austerity policy (pengetatan anggaran). Terbukti konsep austerity policy yang eksesif malah menimbulkan penolakan dari rakyat sehingga mengarah pada krisis politik. Dan pada saat yang sama, 30 persen APBN kita habis digunakan untuk membayar kewajiban utang sebesar Rp 680-an triliun,” ungakap legislator asal Sukabumi ini.
Itu disebabkan, menurut Heri, tingginya beban bunga utang akibat kebijakan pemberian kupon/bunga surat utang yang terlalu tinggi, sekitar 2-3 persen lebih tinggi daripada negara-negara yang kredit ratingnya di bawah Indonesia.
Jika pemerintah bisa bernegosiasi agar bunga surat utang diturunkan menjadi 1,5 persen bukan tidak mungkin bisa menghemat anggaran sekitar Rp 29 triliun yang bisa digunakan menutup defisit BPJS Kesehatan.
“Kondisi yang harus kita ketahui juga saat ini adalah turunnya indeks daya saing Indonesia menurut World Economic Forum. Padahal, saat ini indeks daya saing negara-negara tetangga kita seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand mengalami kenaikan. Semoga hal-hal ini dapat menjadi catatan serius untuk Kementerian Keuangan guna mencapai Indonesia Maju, Adil Makmur, dan Sejahtera,” tutup Heri. (win)

0 komentar:

Posting Komentar