Kabar Penundaan Cicilan Kredit Bikin Heboh, OJK Harus Bertanggung Jawab


jpnn.comJAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus bertanggung jawab atas iming-iming penundaan cicilan kredit bagi masyarakat terdampak virus corona (Covid-19), sebagaimana telah dijanjikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Presiden Jokowi sebelumnya mengumumkan langkah mitigasi dampak ekonomi kepada masyarakat yang terdampak wabah Covid-19. Kemudahan itu diberikan presiden setelah mendengar berbagai keluhan dari kalangan pelaku usaha, mulai dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga tukang ojek dan supir taksi.
"Bagi para tukang ojek, sopir taksi, maupun nelayan yang saat ini memiliki cicilan kredit, presiden mengatakan, pembayaran bunga atau angsuran akan diberikan kelonggaran selama satu tahun ke depan," ucap Heri Gunawan, Senin (30/3) pagi, mengutip pernyataan Presiden Jokowi.
Sejatinya, arahan Kepala Negara tersebut sudah dibicarakan sebelumnya dengan OJK, yang menyepakati pemberian relaksasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan OJK No. 11/POJK.03/2020, pada tanggal 13 Maret 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
"Namun sayangnya, kabar indah tersebut tidak indah di lapangan bahkan ramai menjadi pertanyaan publik. Sebagian masyarakat mulai menanyakan, bahkan meminta kepada beberapa perbankan dan lembaga pembiayaan (leasing) untuk mendapatkan keringanan tersebut," kata politikus Gerindra ini.
Persoalannya, kata legislator yang beken disapa dengan panggilan Hergun ini, perbankan dan perusahaan pembiayaan masih belum dapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut dari manajemen internalnya, bahkan aturannyapun mereka belum tahu.
Ketika POJK ini menimbulkan masalah di lapangan karena kesulitan dalam pelaksanaanya, terkesan kebijakan dilemparkan ke masing-masing bidang komisioner dan membuat Komisioner IKNB, dan Pengawasan Bank menjadi kebingungan karena sejak awal terkesan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan ini.
"Lalu siapa yang membuat, dan berani menyampaikan langsung kepada presiden bahkan disampaikan oleh presiden dalam rapat terbatas di Istana Merdeka," katanya mempertanyakan.
Bila dipelajari secara detail, kebijakan penangguhan pembayaran angsuran dan cicilan ini sangat sulit dilaksanakan tanpa aturan ikutan yang lain. Karena pihak perbankan, maupun lembaga pembiayaan hanyalah lembaga intermediary (lembaga perantara).
Sumber dana bagi perbankan dan lembaga pembiayaan untuk memberikan kredit berasal juga dari dana masyarakat yang punya tabungan dan deposito di perbankan.
"Artinya, jika semua debitur tidak mau membayar cicilan padahal sebagian besar mampu membayarnya, maka yang akan terjadi justru kerugian besar di sektor perbankan dan lembaga pembiayaan. Hal ini dikarenakan perbankan harus tetap membayar bunga kepada penabung (deposan) tapi bank tidak menerima pendapatan dari debitur," tutur wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini.
Diketahui bahwa kebijakan yang disampaikan langsung melalui pidato presiden sebagai bagian dari insentif ekonomi untuk UKM, terkait dengan penangguhan angsuran cicilan selama 1 tahun itu menyangkut 3 komponen, cicilan atas pokok, bunga dan denda.
"Ini masalah yang rumit lagi, sebagai aturan harus jelas mana yang ditangguhkan. Risiko industrinya juga harus diatur termasuk masalah pencadangan atas NPL dan NPF," tegas politikus kelahiran Sukabumi ini.
Seharusnya, kata dia, kategori sektor mana saja yang dianggap terkena dampak covid19 harus dijelaskan secara detail. Jangan sampai aturan itu dimanfaatkan oleh debitur yang sebelum ada covid-19 kreditnya sudah bermasalah tetapi memanfaatkan fasilitas ini.
Keadaan diperparah dengan ketentuan-ketentuan di dalam POJK yang terlalu simplisitis sehingga memberi kelonggaran kepada perbankan untuk menafsirkan sendiri POJK tersebut.
Hal itu dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : "Bank dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah".
"Ketentuan tersebut memberi kebebasan penuh kepada pihak Bank untuk menentukan sendiri model restrukturisasi yang diberikan kepada nasabah," ungkap Anggota Badan Pengkajian MPR-RI.
Model tersebut tentu jauh dari pesan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi. Rakyat memahami pernyataan mantan gubernur DKI Jakarta itu untuk menunda seluruh cicilan yang mencakup pokok dan bunga. Namun pihak lembaga keuangan memiliki tafsir sendiri berdasarkan ketentuan POJK tersebut.
Kewajiban lembaga keuangan inilah yang tidak turut diakomodir oleh POJK. Ujungnya kebijakan baik dari kepala negara untuk turut menjaga kesehatan ekonomi Indonesia dalam menghadapi Covid-19, malah menjadi blunder karena penjabarannya.
Misi politis untuk meraih simpati rakyat ini seharusnya mengatur dua kepentingan yakni kepentingan debitur dan kreditur.
Melihat tidak sinkronnya antara perintah presiden, POJK dan pelaksanaanya di lapangan, serta untuk menghindari keributan yang lebih luas antara masyarakat dengan pihak lembaga keuangan, Hergun menyarankan sebaiknya POJK tersebut direvisi.
"OJK juga harus bertanggung jawab atas terjadinya kekisruhan di masyarakat. Diakui atau tidak POJK 11/2020 adalah sumber masalah baru di tengah peliknya Indonesia menghadapi wabah covid-19," tandasnya. (fat/jpnn)

0 komentar:

Posting Komentar