JURNALSUKABUMI.COM – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengemukakan pandangan kritis terkait kebijakan Indonesia menerbitkan surat utang dengan denominasi dolar AS yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 7 April lalu. Total nilainya mencapai 4,3 miliar dollar AS atau Rp68,6 triliun (kurs Rp 16.000).
Saat itu, Sri Mulyani yang menyandang predikat sebagai menteri keuangan terbaik sedunia, dengan bangga menyatakan surat utang itu adalah penerbitan terbesar dalam US bond dalam sejarah RI. Dan Indonesia juga jadi negara pertama yang menerbitkan sovereign bond sejak pandemic covid-19 terjadi.
“Bahkan menurutnya, ini menunjukkan kepercayaan investor dari pengelolaan keuangan negara. Benarkah demikian?” kata politikus yang akrab disapa Hergun ini, Kamis (9/4).
Dia pun menyebutkan ada 3 jenis surat utang yang diterbitkan pemerintah. Pertama, Surat Berharga Negara (SBN) Seri RI1030 dengan tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober 2030 diterbitkan sebesar 1,65 miliar dolar AS dengan yield global/kupon sebesar 3,9 persen.
Kedua, Seri RI1050 dengan tenor 30,5 tahun atau jatuh tempo 15 Oktober 2050. Nominal yang diterbitkan juga 1,65 miliar dolar AS dengan yield/kupon 4,25 persen. Ketiga, Seri RI0470 dengan tenor 50 tahun, jatuh tempo 15 April tahun 2070 sebesar 1 miliar dolar AS dengan tingkat yield/kupon 4,5 persen.
SBN yang ketiga adalah seri baru yang belum pernah diterbitkan sebelumnya Seri RI0470. Jatuh tempo atau tenornya 50 tahun yaitu 15 April tahun 2070 sebesar USD1 miliar dengan tingkat yield 4,5%.
“Bila melihat besaran yield/kupon yang diberikan, yakni 3,9 persen, 4,25 persen dan 4,5 persen, sejatinya Indonesia sudah masuk dalam perangkap manager fund global,” tukas wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini.
Dia mengatakan bahwa sejak awal banyak pihak sudah mengingatkan pemerintah untuk tidak memanfaatkan sumber pendanaan dari global bond di saat pandemik Covid-19, karena para manager fund global akan mematok yield/kupon yang sangat tinggi.
“Ternyata, peringatan tersebut tidak diindahkan oleh Menteri Keuangan dan akhirnya Indonesia masuk dalam perangkap lilitan global bond berbunga tinggi,” ucap Hergun.
Jika dibandingkan, surat utang Seri RI1030 senilai 1,65 miliar dolar AS dengan tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober 2030 dipatok yield/kupon sebesar 3,9 persen. Sementara, Obligasi Pemerintah AS dengan tenor 10 tahun hanya dipatok yield/kupon 0,72 persen. Padahal sama-sama berdenominasi dolar AS dan dengan tenor yang hampir sama yakni 10 tahun.
Lainnya, pada 14 Januari 2020 (awal tahun) pemerintah menerbitkan tiga seri surat utang negara (SUN) berbentuk valuta asing. Ketiga surat utang ini berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) dan euro, dengan total nilai setara Rp. 43 triliun. Adapun terdapat dua seri global bond berdenominasi dolar AS yakni RI0230 dan RI0250. Sementara satu seri global bond berdenominasi euro yakni RIEUR0227.
Kalau kita lihat yang berdenominasi dolar AS saja yakni surat utang RI0230 senilai 1,2 miliar dolar AS dengan tenor 10 tahun dan akan jatuh tempo pada 14 Februari 2030, hanya mematok yield/kupon 2,85 persen. Kemudian RI0250 senilai 800 juta dolar AS dengan tenor 30 tahun dan yang akan jatuh tempo pada 14 Februari 2050, hanya mematok tingkat yield/kupon 3,5%.
Ternyata, tingkat yield/kupon SUN berdominasi dolar AS yang diterbitkan pemerintah pada Januari 2020 lalu jauh lebih rendah dibanding tingkat kupon SUN berdominasi dolar AS yang baru kemarin (7/4/2020) diumumkan oleh Menteri Keuangan. “Ada selisih 1,05 persen untuk surat utang yang bertenor 10 tahun, dan 0,75 persen untuk surat utang yang bertenor 30 tahun,” Hergun menganalisis.
Nah, Anggota Badan Pengkajian MPR RI ini memandang bahwa Global bond yang kemarin diumumkan oleh Menteri Keuangan sejatinya bukan prestasi tetapi bencana kedua bagi bangsa Indonesia selain Pandemik Covid-19 karena Indonesia terperosok dalam lilitan global bond berbunga tinggi.
Sejatinya, utang itu merupakan sesuatu yang sangat biasa. Tak hanya negara, rumah tangga hingga bisnis pun hampir seluruhnya memiliki utang, terlebih seperti kondisi saat ini. Jika berbicara mengenai utang, ada dua hal yang harus dicermati: kapasitas untuk melunasi dan tujuannya.
Berbicara mengenai kapasitas, tentu kapasitas Indonesia masih besar seiring dengan rasio utang terhadap PDB yang masih rendah. Jika berbicara mengenai tujuan, tujuannya adalah jelas dan bisa dipahami, namun patut diketahui alokasinya berapa yang benar-benar untuk rakyat? ataukah hanya akan dinikmati untuk membantu segelintir orang, itulah paradoks.
Selain dicekik oleh yield yang tinggi, katanya, Indonesia juga terperangkap hutang dalam jangka waktu yang sangat lama yakni 50 tahun. Rekor ini lebih buruk dari obligasi rekapitulasi BLBI yang hanya bertenor 30 tahun.
Kondisi ini juga menimbulkan kecurigaan apakah kondisi sekarang lebih buruk dari krisis ekonomi 1997/1998? Jika krisis 1997/1998 hanya melahirkan obligasi bertenor 30 tahun, kenapa saat ini bisa melahirkan obligasi bertenor 50 tahun.
“Terakhir, dengan menerima kupon sangat tinggi dan tenor hingga 50 tahun, itu artinya pemerintah menemui jalan buntu dan akhirnya menerima global bond dengan persyaratan yang sangat berat tersebut. Masih bilang ini prestasi?”
tandas ketua DPP Gerindra ini.
tandas ketua DPP Gerindra ini.
Reporter: Hendi
Redaktur: FK Robbi
Redaktur: FK Robbi
0 komentar:
Posting Komentar