Bisnis Mafia Bank Ekspor, Aparat Hukum Diam Saja?

 

LPEI memiliki catatan merah dari BPK karena merugi Rp 4,7 triliun pada tahun 2019. Suntikan dana Penyertaan Modal Negara terus diguyur kepada lembaga tersebut. Anehnya, baik KPK atau Kejaksaan Agung belum aktif menindaklanjuti potensi kerugian negara. Anjloknya pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2020 yang merosot hingga minus 5,32 persen (yoy), membuat pemerintah berupaya mendongkrak ekonomi di kuartal III-2020 dengan menggenjot program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Realisasi PEN itu dilakukan salah satunya melalui skema Special Mission Vehicles atau SMV, dengan cara menempatkan modal ke perusahaan-perusahaan BUMN dan lembaga lainnya. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Bank Exim Indonesia tercatat sebagai salah satu yang mendapatkan suntikan modal tersebut.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2020, LPEI mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 5 Triliun, dengan perincian sebesar Rp 4 triliun untuk meningkatkan kapasitas usaha LPEI dan Rp 1 triliun untuk melaksanakan penugasan khusus, dimana LPEI ditugaskan untuk penjaminan korporasi dalam rangka penyelenggaraan program ekspor nasional.

Apakah betul BUMN ini meningkatkan kontribusi terhadap PDB nasional? Ini perlu sebagai bahan evaluasi bahwa kekayaan negara yang dipisahkan benar-benar dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

LPEI sebelumnya tercatat merugi Rp 4,7 triliun pada tahun 2019. Nilai kerugian yang besar itu memunculkan pertanyaan apakah lembaga tersebut mampu mengakselerasi PEN di tengah kondisi keuangan tersebut.

Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan, mempertanyakan alokasi dan roadmap atas pengucuran PMN tersebut. Pasalnya, angka PMN sebesar Rp 5 triliun dinilai hanya beda tipis dengan nilai kerugian LPEI pada 2019, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa LPEI hanya akan menutup nilai kerugiannya tersebut tanpa ada peningkatan mutu kinerja.

Dia pun menegaskan, penggunaan dana PMN untuk LPEI perlu dievaluasi guna menjamin kekayaan negara benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat.

"Apakah betul PMN ini dapat meningkatkan kontribusi terhadap PDB nasional? Pada 2020 LPEI meminta PMN senilai Rp 5 triliun. Beda-beda tipis lah dengan nilai kerugiannya pada 2019 yang mencapai Rp 4,7 triliun. Saya malah punya pikiran jangan-jangan ini untuk menutupi rugi bersih kemarin?" kata dia kepada Law-Justice, Ahad (10/1/2021) lalu.

Politikus yang akrab disapa Hergun ini menambahkan, Non Performing Loan (NPL) bruto LPEI mengalami peningkatan menjadi 23,39 persen dibarengi penurunan aset hampir 10 persen menjadi Rp 108,7 triliun dan penurunan Net Interest Margin (NIM) atau kemampuan bank dalam menghasilkan laba bunga bersih menjadi hanya 1,18 persen.

Peningkatan NPL gross yang cukup tajam dan melebihi batasan normal sudah terjadi sejak akhir 2017 di mana rasio Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) tercatat makin tinggi, yakni sebesar 100,51 persen di 2018 dan 179,63 persen di 2019 sehingga menandakan kemampuan pengelolaan dan strategi manajemen menjadi sangat dipertanyakan. BOPO merupakan kemampuan bank dalam mengelola beban operasional. Semakin tinggi nilai BOPO, maka semakin buruk pengelolaan perusahaan tersebut.Kondisi-kondisi tersebut, kata Hergun, jelas memerlukan perhatian lebih lanjut atas penggunaan  rencana dana PMN oleh LPEI.

"Terlebih karena dana PMN berasal dari defisit APBN dan pola pencetakan uang terselubung dari pemerintah dengan skema burden sharing-nya," ujarnya.

Hergun mengatakan, rapat Komisi XI dengan LPEI pada 18 November 2020 lalu belum menemukan titik kesimpulan."Kami belum puas atas pemaparan yang disampaikan jajaran pimpinan LPEI. Tidak ada bahan khusus yang membahas perihal penggunaan PMN Rp 5 triliun. Dalam rapat tersebut, LPEI hanya memaparkan data umum yang sudah sering disampaikan dalam rapat-rapat sebelumnya. Oleh karena itu, kami akan menjadwalkan Rapat FGD dengan LPEI pada masa sidang ini," katanya.

Selain data lama, menurutnya, data yang disampaikan oleh LPEI juga bombastis. Misalnya soal penyerapan tenaga kerja. LPEI mengklaim bahwa setiap Rp 1 miliar pembiayaan yang dikucurkannya mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja hingga 50 orang. Dengan begitu, pembiayaan LPEI sebesar Rp 93,03 triliun mampu menyerap sekitar 4,7 juta tenaga kerja. Klaim seperti itu, kata Hergun, sama saja meremehkan kerja pemerintah. Pada 2 September 2020, pemerintah telah mengucurkan dana PEN sebesar Rp 271,94 triliun. Namun di waktu yang hampir bersamaan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa per Agustus 2020, jumlah pengangguran bertambah sebanyak 2,67 juta orang dibanding periode yang sama tahun lalu, sehingga jumlah pengangguran saat ini mencapai 9,77 juta orang.

"Artinya dana PEN yang lebih besar dari pembiayaan LPEI saja tidak mampu menahan bertambahnya laju pengangguran. Ke depan, LPEI harus menyampaikan bahan yang realistis,” tegasnya.

Ketua DPP Partai Gerindra ini menjelaskan, ketika ada injeksi PMN, seharusnya ada perjanjian bahwa kinerja LPEI bisa menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dari biaya utang, di samping harus jelas keuntungan finansial yang didapat.

"Kalau tidak, negara akan merugi," ujar dia.

DPR berkomitmen mengamankan uang Rp 5 triliun yang dikucurkan kepada LPEI. Selain harus jelas peruntukannya, dana tersebut juga tidak boleh digunakan hanya untuk menutup kerugian LPEI pada 2019 lalu. Kedepannya, DPR RI akan mengeksplorasi penyebab kerugian yang cukup besar tersebut.

"Kami akan pertanyakan kolektibilitas beberapa debitur kakap. Bagaimana status kolektibilitas dan perkembangan portfolio debitur Duniatex Group, penugasan khusus ekspor yang masih berjalan, dan komposisi portofolio-portofolio besar termasuk partisipasi di kredit sindikasi," katanya.

Kontribusi Laporan: Rio Alfin Pulungan, Ghivary Apriman, Yudi Rachman, Januardi Husin

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)
https://www.law-justice.co/artikel/101224/bisnis-mafia-bank-ekspor-aparat-hukum-diam-saja/

0 komentar:

Posting Komentar