JAKARTA, - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai regulasi cukai rokok elektrik selama ini belum jelas. Padahal, pemakainya sudah menjamur seperti rokok konvensional. Karena itu menurutnya, cukai rokok elektrik harus diatur secara eksplisit dalam undang-undang.
Politisi Partai Gerindra yang akrab disapa Hergun tersebut mengungkapkan, saat ini Komisi XI DPR RI dan pemerintah sedang membahas RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang salah satu isu pentingnya adalah cukai rokok elektrik.
“Sejatinya, aturan mengenai rokok eletrik sudah tersirat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Cukai. Namun, bunyinya masih samar dan kurang eksplisit. Pengaturan lebih jelasnya diatur dalam PMK Nomor 198/2020 dimana pada Pasal 1, Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 16 menjelaskan tentang definisi, cakupan, dan tarif Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), termasuk di antaranya menyebutkan mengenai rokok elektrik," jelas paparnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Senin (30/8/2021)
Hergun yang merupakan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini meminta agar aturan cukai rokok elektrik segera dibunyikan dengan jelas dalam RUU KUP yang sedang dirumuskan. “Seiring dengan perkembangan teknologi, dimana konsumsi rokok elektrik mulai meningkat, maka idealnya pengaturan tentang cukai rokok elektrik juga perlu diatur dalam UU. Dalam hal ini pengaturan tersebut perlu dimasukkan dalam RUU KUP," ujarnya.
Lebih jauh dikatakan, pengajuan RUU KUP dilandasi tujuan untuk melakukan reformasi perpajakan sekaligus memperluas basis perpajakan. Pasalnya rasio perpajakan Indonesia terus mengalami penurunan. Pada 2018 sebesar 10,2%, kemudian pada 2019 menurun menjadi 9,8%, lalu 2020 turun kembali menjadi 8,3%, dan pada 2021 diperkirakan akan turun lagi menjadi 8,2%.
“Salah satu reformasi perpajakan yang perlu diusulkan adalah dengan membunyikan penyederhaan layer tarif CHT dan pengaturan HPTL dalam UU, sehingga diharapkan bisa meningkatkan penerimaan dan rasio perpajakan. Pada RAPBN 2022, penerimaan cukai ditargetkan mencapai Rp 203,9 triliun. Dengan usulan tersebut, maka penerimaan cukai bisa lebih meningkat secara signifikan,” ujarnya.
Penyederhanaan Layer
Anggota DPR dari Dapil Sukabumi ini menyebutkan, penyederhanaan layer CHT akan mempersempit potensi manipulasi pabrikan rokok. “Patut dipahami secara seksama bahwa aturan layer cukai rokok yang saat ini berlaku bisa dimanipulasi oleh pabrikan multinasional dengan memproduksi masing-masing segmen (SKM dan SPM) tidak melebihi 3 miliar batang per tahun. Sehingga, pabrik rokok besar bisa membayar cukai yang sama murahnya dengan pabrikan menengah dan kecil,” tegasnya.
Dikatakan, setidaknya ada 3 dampak buruk akibat manipulasi tersebut. Pertama, merugikan keuangan negara karena cukai yang dibayarkan kepada negara menjadi lebih kecil. Kedua, perusahaan besar bisa menjual produknya dengan harga yang lebih murah sehingga menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat. Dan Ketiga, akibat persaingan tidak sehat tersebut bisa mematikan pabrikan kelas menengah dan kecil.
“Solusinya, perlu segera dilakukan simplifikasi dan penggabungan perhitungan total SKM dan SPM. Simplifikasi akan secara tegas memisahkan antara pabrikan kelas besar dengan pabrikan kelas menengah dan kecil. Sehingga tidak lagi terjadi perusahaan besar akan berkompetisi secara langsung dengan pabrikan kelas menengah dan kecil,” katanya.
Jadi menurutnya, anggapan yang menyatakan penyederhanaan layer akan merugikan pabrik rokok kecil dan menengah serta merugikan buruh dan petani tembakau, sesungguhnya perlu dikaji ulang.
“Simplifikasi layer cukai hasil tembakau justru menyelematkan pabrik rokok kelas menengah dan kecil serta juga menyelamatkan para petani tembakau karena pabrik kelas menengah dan kecil tersebut terjaga usahanya sehingga bisa tetap menyerap hasil tembakau dari para petani,” pungkasnya.
Editor : Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar