JAKARTA (CendanaNews) --- Insiden pelanggaran perbatasan perairan (Teritorial) yang dilakukan nelayan Tiongkok di wilayah perairan Natuna Indonesia, dinilai melecehkan Kedaulatan.
Mantan Wakil Ketua Komisi VI yang sekarang menjadi anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan menilai, sikap yang ditunjukkan Kapal Coast-Guard China yang terkesan menghalang-halangi kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Wilayah NKRI tersebut, mestinya dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia.
“China mengklaim, bahwa nelayannya melakukan kegiatan masih diwilayah perairannya, hal ini sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat berdasarkan peraturan hukum laut internasional,” Sebut Heri dalam rilis yang diterima Cendana News di Jakarta, Jumat (25/3/2016).
Heri mengatakan, masalah klaim negeri tirai bambu, tentang traditional "fishing zone" tidak tercantum dalam The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).
“Toh Kalaupun ada tentang traditional fishing rights itu harus atas kesepakatan bersama diantara negara, jadi klaim tersebut tidak berdasar sama sekali,” tegasnya
Jadi, sambung Heri, apa yang dilakukan dua kementerian yakni Kementerian Luar Negeri yang mengirimkan nota protesnya dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah melakukan penangkapan terhadap para nelayan asal China tersebut merupakan tindakan yang sudah tepat.
“Ya diapresiasilah, sikap kementerian kelautan dan kementerian luar negeri yang telah melakukan protes tersebut,” imbuhnya.
Namun, Heri menuturkan, ke depan, hal ini akan bisa terulang kembali karena pemerintahan tidak mengambil sikap tegas serta diselesaikan secara tuntas.
Dia menyebutkan, bukan hanya soal kapal ikan yang melakukan "illegal fishing" tapi ini pencaplokan tersistematis untuk tujuan-tujuan jangka panjang, untuk itu, 'Sengketa Natuna' nampaknya akan merupakan bom waktu, dan akan meledak jika sudah capai tujuannya.
Konflik Natuna merupakan perebutan sumber daya alam (SDA), selain minyak bumi, wilayah itu menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia.
“Sudah banyak ahli mengklaim Natuna adalah 'surga' energi terbesar di dunia yang bernilai ekonomi tinggi. Di Blok Natuna D-Alpha misalnya, tersimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun mendatang,” Ungkapnya.
Sementara itu, potensi gas yang recoverable di Kepulauan Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak. Nah ini, jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut. Bahkan, jika diuangkan, kekayaan gas Natuna bernilai mencapai Rp.6.000 triliun.
“Coba bayangkan, nilai itu sama dengan 3 kali lipat APBN saat ini,” paparnya
Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan, beberapa perusahaan asing seperti Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), ENI (Italia), Total Indonesie (Perancis), dan China National Petroleum Corporation (China) pernah bercokol di sana dan ikut menikmati untung besar.
Lebih jauh, dirinya menyampaikan China akan terus ngotot mencaplok Natuna karena mereka tahu akan untung besar dari pendapatan gas.
Dia mengingatkan bahwa pemerintah jangan sekali-kali berbicara ini adalah urusan negara lain, jangan juga berbicara tidak ikut-ikutan. Sebab, Natuna beserta kekayaan alam yang terkandungnya merupakan milik dan berada diwilayah kedaulatan NKRI.
“Kedaulatan Natuna dan laut teritorial milik Indonesia, Pemerintah harus tegas, Jangan biarkan bangsa asing menginjak-injak wilayah Kedaulatan NKRI walau hanya sejengkal,” Tutupnya.
0 komentar:
Posting Komentar