Utang Harus Bisa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

 

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan. Foto: Andri/Man

 

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 yaitu sebesar minus 0,74 persen (yoy) dan minus 0,96 persen (qtoq). Meskipun pertumbuhan masih minus, namun utang pemerintah terus bertambah. Utang tersebut harus didorong untuk pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengemukakan hal ini dalam keterangan persnya, Rabu (5/5/2021). Per Maret 2021, utang pemeritah tembus Rp 6.445,07 triliun. Menteri Keuangan menganggap utang Indonesia masih relatif kecil, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain. Merespon sikap Menkeu, Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan mengatakan, idealnya utang yang semakin menumpuk harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

 

"Pandemi Covid-19 jangan dibuat aji mumpung untuk menambah utang. Utang harus digunakan secara maksimal untuk menangani Covid-19 dan memulihkan perekonomian. DPR telah menyetujui Perppu Corona menjadi UU. Salah satu pasal saktinya adalah membolehkan defisit APBN melebihi 3 persen selama 3 tahun. Jadi, selama 3 tahun ini defisit APBN dipatok Rp 1.000-an triliun. Nanti pada 2023 ketentuan tersebut tidak berlaku lagi. Jadi, Pemerintah harus memanfaatkan 3 tahun tersebut secara produktif,” tandas Hergun.

 

Ia mengingatkan bahwa pelebaran defisit di atas 3 persen sudah dimulai sejak 2020. Pada APBN 2020-Perpres No.72/2020 defisit dipatok sebesar Rp 1.039,2 triliun, yang dalam realisasinya hanya mencapai Rp 956,3 triliun. Sementara pembiayaan dipatok Rp 1.039,2 triliun, namun dalam realisasinya melebar menjadi Rp 1.190,9 triliun. Realisasi pembiayaan melebihi realisasi defisit dengan angka yang cukup fantastis yakni Rp 234,6 triliun. Hal ini menurut Hergun tak boleh terjadi.

 

Politisi Partai Gerindra itu, sekali lagi menegaskan, utang harus digunakan secara maksimal. Tidak boleh lagi utang menjadi SiLPA karena tidak terpakai pada tahun berjalan. Sementara itu, APBN 2021 defisit dipatok sebesar Rp 1.006,37 triliun atau 5,7 persen dari PDB. Sedangkan pembiayaan utang dipatok sebesar Rp1.177,35 triliun. Harapannya, utang dapat dipergunakan secara maksimal untuk menutup defisit. Hendaknya pemerintah tidak jumawa dengan mengatakan utang masih relatif kecil, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain.

 

“Soal membanding-bandingkan utang dengan utang negara lain, hendaknya tidak perlu dilakukan. Pertama, hal tersebut tidak memberi manfaat untuk perekonomian. Kedua, perbandingannya juga pilih-pilih yang sekiranya menguntungkan saja. Dan ketiga, dikhawatirkan bisa menyinggung negara yang dibuat perbandingan,” imbuh Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI. UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara memberi batasan utang sampai 60 persen dari PDB.

 

Sementara utang per Maret 2021, lanjut pria asal Sukabumi, Jabar ini, sudah mencapai Rp 6.445,07 triliun atau setara dengan 41,64 persen dari PDB. Artinya, jarak mencapai batasan utang semakin dekat. Pemerintah perlu makin berhati-hati dalam mengelola utang. Di sisi lain, pengumuman BPS yang menyatakan pertumbuhan ekonomi masih minus, akan semakin menyulut pertanyaan publik tentang efektifitas utang terhadap pertumbuhan ekonomi.

 

“Sejatinya selama 2020 kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan sudah cukup baik. Di saat konsumsi rumah tangga mengalami minus 2,63 persen dan PMTB (investasi) minus 4,95 persen, pengeluaran pemerintah masih mampu tampil sebagai penyelamat pertumbuhan dengan mampu tumbuh positif sebesar 1,94 persen. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah yang positif tersebut karena ditopang oleh utang,” ungkap Hergun lagi.

 

Memasuki 2021, pengeluaran pemerintah masih diandalkan sebagai pendorong pertumbuhan. Belanja negara naik dari Rp 2.589,9 triliun menjadi Rp 2.750,0 triliun. Adapun anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional dipatok Rp 699,43 triliun atau naik lebih dari 20 persen dari tahun lalu. Namun sayangnya, realisasi belanja pemerintah pada kuartal I-2021 dibanding pada kuartal IV-2020 turun sebesar minus 43,35 persen. Itu artinya, arahan Presiden Jokowi untuk mempercepat belanja di awal tahun belum diindahkan.

 

Legislator dapil Jabar IV ini menambahkan, meskipun secara triwulanan pertumbuhan pengeluaran pemerintah terkontraksi cukup besar, namun kontribusinya terhadap pembentukan PDB secara tahunan masih menorehkan angka yang positif yaitu 0,17 persen (yoy). Sedangkan konsumsi rumah tangga masih minus 1,22 persen dan PMTB (investasi) minus 0,07 persen. Memang, pengeluaran pemerintah yang ditopang oleh utang masih menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2021.

 

"Namun, angka pertumbuhannya masih sangat terbatas. Hal tersebut ditunjukkan oleh grafik pertumbuhan yang terus naik namun masih di berada di area minus. Idealnya, dengan pertumbuhan utang yang begitu besar mestinya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif," harapnya, seraya melanjutkan, saat ini keberadaan utang hanya mampu mendorong pertumbuhan positif untuk konsumsi pemerintah saja. Ke depan diharapkan utang tersebut juga bisa berdampak signifikan terhadap konsumsi rumah tangga dan PMTB.

 

Untuk meningkatkan kontribusi utang terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu melakukan solusi konkrit. Solusi pertama, urai Hergun, pemerintah perlu mempercepat akselerasi belanja negara dan program PEN agar memiliki efek domino terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan PMTB. Presiden Jokowi perlu menegur menteri yang masih lambat belanjanya.

 

Kedua, pengelolaan utang harus lebih hati-hati. Berutang seperlunya saja, jangan sampai uang hasil utang menjadi SiLPA, karena utang memiliki konsekuensi membayar bunga. Daripada untuk membayar bunga, lebih baik anggaran APBN digunakan untuk stimulus perekonomian. Ketiga, program vaksinasi harus lebih dipercepat agar tercipta herd immunity dan kemudian bisa meningkatkan mobilitas masyarakat. Salah satu kunci pertumbuhan ekonomi adalah mobilitas masyarakat.

 

Keempat, perlu ada upaya yang lebih konkrit untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Selama pertumbuhan kredit masih lesu maka akan sulit mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Perlu juga dipertimbangkan agar BI kembali menurunkan suku bunganya. "Bila itu bisa direalisasikan maka akan bisa mendorong pertumbuhan PDB yang positif dan yang sekaligus mengentaskan Indonesia dari jurang resesi,” tutup Hergun. (mh/es)

0 komentar:

Posting Komentar