Berjuang Bersama Gerindra dan Prabowo Subianto

Mengamalkan TRIDHARMA Kader Partai Gerindra : Berasal Dari Rakyat, Berjuang Untuk Rakyat, Berkorban Untuk Rakyat.

Heri Gunawan Seminar Nasional

Tantangan dan Peluang Bisnis bagi Generasi Milenial.

Jalan Santai

JHeri Gunawan Apresiasi Peluncuran Program Pemuda Pelopor Desa di Sukabumi

Kunjungan Ketua Umum GERINDRA

Prabowo Subianto Melakukan Kunjungan ke Sukabumi

Bantuan Hand Traktor

Heri Gunawan Memfasilitasi Bantuan 30 Unit Traktor Untuk Gapoktan di Kabupaten Sukabumi Pada Tahun 2015

Kunjungan Kerja BKSAP DPR RI Ke Australia

Heri Gunawan Sebagai Anggota BKSAP DPR RI saat berkunjung dan berdialog dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia

Tampilkan postingan dengan label Tiongkok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tiongkok. Tampilkan semua postingan

Tiongkok Lecehkan Indonesia, Kata Anggota DPR

Rimanews - Tindakan Kapal patroli penjaga pantai (coast guard) Tiongkok yang menghalangi kapal pengawas perikanan milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di perairan Natuna melecehkan kedaulatan Republik Indonesia.

Sekadar diketahui, kapal pengawas perikanan KKP yakni KM Hiu hendak menindak KM Kway Fey 10078 yang mencuri ikan di perairan Natuna, Kepulauan Riau (19/03).Namun, saat itu muncul kapal Coast Guard Tiongkok dan sengaja menabrak KM Kway Fey. Akibatnya, KKP tak bisa menindak tegas kapal pencuri ikan itu.


Menurut anggota DPR RI, Heri Gunawan, tindaka Tiongkok memasuki wilayah perairan Indonesia saja harus dipandang sebagai bentuk pelecehan Kedaulatan negara.

"Terkait masalah klaim Tiongkok tentang traditional fishing zone tidak ada dalam The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS). Kalaupun ada tentang traditional fishing rights itu harus atas kesepakatan bersama diantara negara, jadi klaim tersebut tidak berdasar," kata Heri Gunawan di Jakarta, Jumat (25/03/20216).

Politisi Partai Gerindra itu mengapresiasi sikap Kementerian Kelautan dan Kementerian Luar Negeri yang telah melakukan protes.

Namun ke depan, tindakan Tiongkok seperti itu kemungkinan akan terulang kalau pemerintah tidak mengambil sikap tegas dan tuntas.
"Ini bukan hanya soal kapal ikan yang melakukan illegal fishing tapi ini pencaplokan tersistematis untuk tujuan-tujuan jangka ‎panjang," ujar Heri.

Cara-cara Tiongkok melecehkan Kedaulatan Republik Indonesia bisa jadi bagian dari upaya untuk mencaplok Natuna.

"Rasanya Tiongkok akan terus ngotot mencaplok Natuna karena mereka tahu akan untung besar dari pendapatan gas. Sedang kita, buntung. Pendapatan sektor Migas pasti terpuruk," kata anggota Komisi XI DPR RI itu.

Dia mengatakan, sejumlah ahli mengklaim Natuna adalah 'surga' energi terbesar di dunia yang bernilai ekonomi tinggi.

Sebut saja, misalnya di Blok Natuna D-Alpha, tersimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun cubic feet (tcf). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30tahun mendatang.

"Lebih jauh jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut," kata dia.

Dengan cadangan minyak dan gas tersebut, jika diuangkan, kekayaan gas Natuna bernilai Rp6.000 triliun. Nilai itu sama dengan 3 kali lipat APBN saat ini.

"Tercatat, beberapa perusahaan asing seperti Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), ENI (Italia), Total Indonesie (Perancis), dan China National Petroleum Corporation (China) pernah bercokol di situ dan ikut menikmati untung besar," kata Heri Gunawan.

Netizen Dukung Sikap Tegas di Wilayah Natuna


Konflik di Natuna yang melibatkan kapal pengawas Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan di Laut Natuna, Kepulauan Riau, dengan kapal nelayan KM Kway Fey dan armada patroli pantai (Coast Guard) Tiongkok, Sabtu (19/3) lalu menjadi perhatian banyak pihak.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan juga memberi perhatian besar terhadap insiden tersebut. Menurutnya Pemerintah Indonesia akan memperkuat pertahanan perairan, khususnya di Natuna dengan pengadaan kapal patroli dalam jumlah besar dengan kapasitas mesin dan dilengkapi alat utama sistem persenjataan yang lebih mumpuni dibandingkan sebelumnya.
Komentar lainnya pun datang dari salah satu Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan. Mengutip dariNBCIndonesia.com, dirinya mengatakan bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Kapal Coast-Guard Tiongkok yang terkesan menghalang-halangi kapal Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP) yang hendak menangkap KM Kway Fey yang memasuki perairan wilayah Natuna sebagai wilayah NKRI harus dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia.
Pantauan redaksi eveline periode 19-25 Maret 2016 pada media sosial twitter, mendapati sebanyak 24.047 tweet memperbincangkan insiden antara Republik Indonesia dan China di Wilayah Natuna. Apa yang terjadi di Kepulauan Natuna, membuat salah seorang netizen mengusulkan agar Pak Jokowi membuat pangkalan militer di sekitar kepulauan tersebut. “Pak Jokowi, mohon dipertimbangkan pangkalan militer terbesar setelah Madiun dan Ujung Surabaya di Natuna, agar bangsa kita tidak diremehkan!” ujar @MangTujah.
Akun twitter @si1iwangi pun mengomentari hal yang sama, agat kedaulatan RI tidak dipermainkan. Hal itu dikatakan melalui kicauannya “Terkait natuna akhir2 ini, tak ada satu kekuatan asing pun yg boleh mengusik kedaulatan #NKRI…. Harga diri atau mati #saveNKRI
Pemerintah Indonesia telah melayangkan nota protes kepada Pemerintah Cina terkait insiden di kawasan perairan Natuna. Dimana terdapat tigal hal yang menjadi perhatian Indonesia dalam nota protes tersebut :
Pertama, Indonesia memprotes pelanggaran yang dilakukan kapal keamanan laut China terhadap hak berdaulat atau yurisdiksi Indonesia di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan di landas kontinen. Kedua, Indonesia memprotes terkait pelanggaran terhadap upaya penegakan hukum yang dilakukan aparat Indonesia di wilayah ZEE dan di landas kontinen. Ketiga, Indonesia memprotes pelanggaran terhadap kedaulatan laut teritorial Indonesia oleh kapal keamanan laut China.
Bahkan seorang netizen mengingatkan kepada kita bahwa ada niat lain dari China untuk merebut kedaulat selain ikan. “Kepentingan RRT untuk merebut kedaulatan NKRI,selain ikan adalah kepulauan natuna yg byk mngabdung gas alam” ujar @yohanespatih.

Heri Gunawan: Konflik Natuna Merupakan Perebutan Sumber Daya Alam

JAKARTA (CendanaNews) --- Insiden pelanggaran perbatasan perairan (Teritorial) yang dilakukan nelayan Tiongkok di wilayah perairan Natuna Indonesia, dinilai melecehkan Kedaulatan.

Mantan Wakil Ketua Komisi VI yang sekarang menjadi anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan menilai, sikap yang ditunjukkan Kapal Coast-Guard China yang terkesan menghalang-halangi kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Wilayah NKRI tersebut, mestinya dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia.

“China mengklaim, bahwa nelayannya melakukan kegiatan masih diwilayah perairannya, hal ini sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat berdasarkan peraturan hukum laut internasional,” Sebut Heri dalam rilis yang diterima Cendana News di Jakarta, Jumat (25/3/2016).

Heri mengatakan, masalah klaim negeri tirai bambu, tentang traditional "fishing zone" tidak tercantum dalam The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).

“Toh Kalaupun ada tentang traditional fishing rights itu harus atas kesepakatan bersama diantara negara, jadi klaim tersebut tidak berdasar sama sekali,” tegasnya

Jadi, sambung Heri, apa yang dilakukan dua kementerian yakni Kementerian Luar Negeri yang mengirimkan nota protesnya dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah melakukan penangkapan terhadap para nelayan asal China tersebut merupakan tindakan yang sudah tepat.

“Ya diapresiasilah, sikap kementerian kelautan dan kementerian luar negeri yang telah melakukan protes tersebut,” imbuhnya.

Namun, Heri menuturkan, ke depan, hal ini akan bisa terulang kembali karena pemerintahan tidak mengambil sikap tegas serta diselesaikan secara tuntas.

Dia menyebutkan, bukan hanya soal kapal ikan yang melakukan "illegal fishing" tapi ini pencaplokan tersistematis untuk tujuan-tujuan jangka panjang, untuk itu, 'Sengketa Natuna' nampaknya akan merupakan bom waktu, dan akan meledak jika sudah capai tujuannya.

Konflik Natuna merupakan perebutan sumber daya alam (SDA), selain minyak bumi, wilayah itu menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia.

“Sudah banyak ahli mengklaim Natuna adalah 'surga' energi terbesar di dunia yang bernilai ekonomi tinggi. Di Blok Natuna D-Alpha misalnya, tersimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun mendatang,” Ungkapnya.

Sementara itu, potensi gas yang recoverable di Kepulauan Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak. Nah ini, jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut. Bahkan, jika diuangkan, kekayaan gas Natuna bernilai mencapai Rp.6.000 triliun.

“Coba bayangkan, nilai itu sama dengan 3 kali lipat APBN saat ini,” paparnya

Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan, beberapa perusahaan asing seperti Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), ENI (Italia), Total Indonesie (Perancis), dan China National Petroleum Corporation (China) pernah bercokol di sana dan ikut menikmati untung besar.

Lebih jauh, dirinya menyampaikan China akan terus ngotot mencaplok Natuna karena mereka tahu akan untung besar dari pendapatan gas.

Dia mengingatkan bahwa pemerintah jangan sekali-kali berbicara ini adalah urusan negara lain, jangan juga berbicara tidak ikut-ikutan. Sebab, Natuna beserta kekayaan alam yang terkandungnya merupakan milik dan berada diwilayah kedaulatan NKRI.

“Kedaulatan Natuna dan laut teritorial milik Indonesia, Pemerintah harus tegas, Jangan biarkan bangsa asing menginjak-injak wilayah Kedaulatan NKRI walau hanya sejengkal,” Tutupnya.

Legislator: Lecehkan Kedaulatan NKRI, Tiongkok ‘Mencaplok’ Wilayah Natuna


NBCIndonesia.com - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Kapal Coast-Guard Tiongkok yang terkesan menghalang-halangi kapal Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP) yang hendak menangkap KM Kway Fey yang memasuki perairan Natuna sebagai wilayah NKRI harus dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia.

Adapun adanya klaim Tiongkok bahwa nelayannya melakukan kegiatan masih di wilayah perairannya, hal tersebut sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat berdasarkan peraturan hukum laut internasional.

“Terkait masalah klaim Tiongkok tentang traditional fishing zone tidak ada dalam The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), kalaupun ada tentang traditional fishing rights itu harus atas kesepakatan bersama di antara negara, jadi klaim tersebut tidak berdasar,” ujar Heri, kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (25/03).

Heri menuturkan, apa yang dilakukan dua Kementerian yakni Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) yang mengirimkan nota protesnya dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah melakukan penangkapan terhadap para nelayan ‘maling’ asal Tiongkok tersebut merupakan tindakan yang sudah tepat.

Namun, Heri menilai sikap-sikap Tiongkok seperti itu sangat bisa jadi akan terulang kalau pemerintah Republik Indonesia tidak mengambil sikap tegas dan tuntas.

“Ini bukan hanya soal kapal ikan yang melakukan illegal fishing tapi ini pencaplokan tersistematis untuk tujuan-tujuan jangka panjang,” cetusnya.

Selain itu, lanjut ia, sengketa Natuna nampaknya merupakan ‘bom waktu’. Sebab, menurutnya, konflik Natuna adalah soal perebutan sumber daya alam (SDA).



“Selain minyak bumi, wilayah itu menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia. Banyak ahli mengklaim Natuna adalah ‘surga’ energi terbesar di dunia yang bernilai ekonomi tinggi. Di Blok Natuna D-Alpha, misalnya, tersimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun mendatang. Sementara itu, potensi gas yang recoverable di Kepulauan Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak. Lebih jauh, jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut,” ungkap Politisi Partai Gerindra tersebut.

Bahkan, tambah dia, jika diuangkan, kekayaan gas Natuna bernilai mencapai Rp6.000 triliun.

“Nilai itu sama dengan 3 kali lipat APBN saat ini,” terang dia.

Lebih lanjut, Heri mengungkapkan  beberapa perusahaan asing seperti Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), ENI (Italia), Total Indonesie (Perancis), dan China National Petroleum Corporation (Tiongkok) pernah ‘bercokol’ di Natuna dan ikut menikmati untung besar.

“Jadi, cara-cara Tiongkok yang melecehkan Kedaulatan Republik Indonesia bisa jadi merupakan bagian dari upaya sistematis Tiongkok yang ingin mencaplok Natuna karena motif penguasaan Sumber Daya Alam,”

“Rasanya Tiongkok akan terus ngotot mencaplok Natuna karena mereka tahu akan untung besar dari pendapatan gas. Sedang kita, buntung. Pendapatan sektor Migas pasti terpuruk,” ungkapnya.

Heri pun mengingatkan kepada pemerintah agar jangan bersikap ‘masa bodoh’ dengan masalah tersebut. Sebab, kata dia, Natuna beserta kekayaan alam yang terkandungnya merupakan kedaulatan NKRI.

“Kedaulatan Natuna milik Indonesia, kedaulatan laut teritorial Indonesia, Jangan biarkan bangsa asing menginjak-injak wilayah Kedaulatan NKRI walau hanya sejengkal,” tandasnya.(akt)

Miliki Cadangan Gas Rp 6.000 T, Cina Berhasrat Caplok Natuna


JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Masuknya kapal nelayan Cina ke perairan Natuna bukan sekadar masalag ilegal fishing. Tindakan itu merupakan bagian dari upaya sistematis negeri Tirai Bambu itu untuk mencaplok Natuna. 

Ketua DPP Partai Gerindra, Heri Gunawan menyampaikan pandangan tersebut menanggapi polemik masuknya kapal Cina ke perairan Natuna secara ilegal. Menurut Heri, persoalan Natuna akan menjadi bom waktu. Sebab, konflik Natuna adalah soal persoalan perebutan sumber daya alam.


"Selain minyak bumi, wilayah itu menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia. Banyak ahli mengklaim Natuna adalah 'surga' energi terbesar di dunia yang bernilai ekonomi tinggi," ujar Heri saat dihubungi TeropongSenayan di Jakarta, Jumat (25/3/2016).

Heri menyontohkan Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun mendatang. Sementara itu, potensi gas yang recoverable di Kepulauan Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak. 

"Jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut," ungkap dia.

Bahkan, tambah dia, jika diuangka  kekayaan gas Natuna  mencapai Rp 6.000 triliun.

"Nilai itu sama dengan 3 kali lipat APBN saat ini," terang dia.

Saat ini, beberapa perusahaan asing seperti Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), ENI (Italia), Total Indonesie (Perancis), dan China National Petroleum Corporation (China) pernah menggarap cadangan kekayaan Natuna dan menikmati untung besar.

Oleh karenanya, menurut Heri, cara-cara Cina yang melecehkan Kedaulatan Republik Indonesia bisa jadi merupakan bagian dari upaya sistematis untuk  mencaplok Natuna.

"Rasanya Cina akan terus ngotot mencaplok Natuna karena mereka tahu akan untung besar dari pendapatan gas. Sedang kita, buntung. Pendapatan sektor Migas pasti terpuruk," tandas dia.

Lebih lanjut Heri mengingatkan bahwa pemerintah jangan sekali-kali berbicara ini adalah urusan negara lain, jangan juga berbicara tidak ikut-ikutan.

Sebab, Natuna beserta kekayaan alam yang terkandungnya merupakan milik dan berada di wilayah kedaulatan NKRI.

"Kedaulatan Natuna milik Indonesia, kedaulatan laut teritorial Indonesia. Jangan biarkan bangsa asing menginjak-injak wilayah Kedaulatan NKRI walau hanya sejengkal," tegas dia. (plt)

Jangan Biarkan Cina Semakin Sewenang-wenang Langgar Kedaulatan RI

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Ketua DPP Partai Gerindra Heri Gunawan mengatakan bahwa sikap yang ditunjukkan Kapal Coast-Guard Cina yang terkesan menghalang-halangi kapal KKP di Wilayah NKRI harus dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia.
Demikian disampaikan Heri saat menanggapi adanya insiden pelanggaran perbatasan perairan yang dilakukan nelayan Cina yang maling ikan diwilayah perairan Natuna Indonesia.
Adapun, lanjut dia, adanya klaim China bahwa nelayannya melakukan kegiatan masih diwilayah perairannya, hal tersebut sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat berdasarkan peraturan hukum laut internasional.
"Terkait masalah klaim Cina tentang traditional fishing zone tidak ada dalam The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), kalaupun ada tentang traditional fishing rights itu harus atas kesepakatan bersama diantara negara, jadi klaim tersebut tidak berdasar," tandas eks Wakil Ketua Komisi VI ini saat dihubungi TeropongSenayan di Jakarta, Jumat (25/03/2016).
Jadi, kata dia, apa yang dilakukan dua kementerian yakni Kemenlu yang mengirimkan nota protesnya dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah melakukan penangkapan terhadap para nelayan maling asal China tersebut merupakan tindakan yang sudah tepat.
"Saya mengapresiasi sikap kementerian kelautan dan kementerian luar negeri yang telah melakukan protes," ujar dia.
Namun, lanjut dia, kedepan, sikap-sikap Cina seperti itu sangat bisa jadi akan terulang kalau pemerintah Republik Indonesia tidak mengambil sikap tegas dan tuntas.
"Ini bukan hanya soal kapal ikan yang melakukan illegal fishing tapi ini pencaplokan tersistematis untuk tujuan-tujuan jangka panjang," tandas dia.
Karena, kata dia, Natuna beserta kekayaan alam yang terkandungnya merupakan milik dan berada diwilayah kedaulatan NKRI dan rasanya sangat tidak pantas jika pemerintah mengatakan bukan urusan negara lain.
"Kedaulatan Natuna milik Indonesia, kedaulatan laut teritorial Indonesia, Jangan biarkan bangsa asing menginjak-injak wilayah Kedaulatan NKRI walau hanya sejengkal," pungkas dia. (Icl) 

Heri Gunawan: Kenapa Proyek KRL Digarap Cina Bukan Jepang ?

VIVA.co.id - Pemerintah memastikan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bakal digarap investor asal Cina. Pelaksanaan proyek yang ditaksir membutuhkan dana sekitar Rp60 triliun tersebut akan digelar dengan model kerja sama business to business (B to B) antara investor Cina dengan konssorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Terkait hal ini Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan memberikan tanggapan soal kerjasama ini. “Ada tiga pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah. Pertama kenapa harus Cina bukan Jepang? Mungkinkah, salah satu pertimbangannya karena pangsa pasar mobil Cina yang besar di Indonesia? Sebetulnya, dari sisi pengalaman dan teknologi, Jepang harusnya lebih unggul,” ujar Heri, di Senayan, Senin 5 Oktober 2015.

Lebih lanjut Ia menjelaskan, Jepang sudah menyelesaikan Feasibility Study (FS) terlebih dahulu. Kenapa tiba-tiba Cina yang dapat proyek tersebut? Bukankah keputusan strategis pemerintah sebaiknya tidak dilihat dari perspektif untuk rugi, tapi juga secara politik?. 

Kedua, ujar Heri soal skema investasinya. Kalau bukan dari APBN langsung, PMN atau pinjaman, lalu lewat skema apa? Ini proyek infrastruktur jangka panjang yang punya resiko keuangan jangka panjang pada BUMN yang ditunjuk dalam konsorsium itu. “Apalagi dalam konsorsium itu, ada BUMN yang agenda prioritasnya bukan untuk infrastruktur transportasi,” ucap Heri.

Ketiga yang dipertanyakan Heri, sebagai investasi jangka panjang, tentu mempunyai dampak pada pendapatan negara dari konsorsium BUMN. “Apalagi kita tahu tugas BUMN bukan bisnis semata (business as usual), tapi juga ada tanggung jawab pelayanan publik, sehingga jangan sampai tugas-tugas prioritas konsorsium BUMN itu terbengkalai,”kata Heri.

“Karenanya, pemerintah harus memberi klarifikasi secara detil dan lengkap. Apalagi, makin kuat isu bahwa ada “barter proyek” disitu sebagai salah satu tukar-guling dengan pinjaman tiga bank BUMN sebelumnya, yaitu Mandiri, BRI dan BNI,” ujarnya.

Adapun BUMN yang akan terlibat dalam konsorsium tersebut meilputi PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perkebunan Nusantara VIII. Sebelumnya pemerintah Jepang dan Cina saling bersaing untuk menggarap proyek kereta cepat dengan model G to G. Namun karena kondisi anggaran negara tidak memadai, pemerintah memilih model B to B yang dianggap lebih layak tanpa harus melibatkan investasi APBN langsung, PMN, maupun jaminan pinjaman.

Komisi VII Ingin Tanya Rini Soal Pinjaman Rp560 Triliun ke Cina

Suara.com - Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan ingin bertanya kepada Menteri BUMN Rini Soemarno mengenai dana pinjaman dari Cina sebesar Rp560 triliun. Menurutnya, Komisi VI sebagai mitra kerja Kementerian BUMN perlu tahu dana pinjaman tersebut untuk apa.
Saya ingin mempertanyakan terkait pinjaman dari Cina, yang sebesar Rp560 triliun itu buat apa. Nah itu kita perlu tahu, perjanjianya apa, perjanjian hibah, pinjaman atau apa?" ujar Heri ketika ditemui Suara.com di gedung Nusantara I, Senin (29/6/2015).
Ia menilai masyarakat perlu tahu pinjaman tersebut memakai jaminan atau tidak. Bila memakai jaminan, maka jaminannya apa.
"Kalau memberikan pinjaman jaminannya apa? Kalau jaminannya BUMN itu sendiri, maka bila lusa BUMN bangkrut berarti BUMN kita sudah dikuasai mereka," tambahnya.
Menurutnya hal ini menjadi sangat penting karena BUMN merupakan salah satu aset negara. Bila sampai dikuasai pihak asing maka kedaulatan Indonesia sebagai negara akan dilecehkan.
"BUMN itu aset yang harus kita jaga bersama, bila sampai BUMN kita dikuasai asing maka dimana harkat martabat kita sebagai suatu negara," ujar Heri.
Hal ini karena menurutnya bila BUMN telah dikuasai negara asing, segala data yang harusnya tersimpan secara rahasia nanti mudah dilihat negara asing.

Legislator Soroti "Serbuan" Pekerja Tiongkok Ke Indonesia


Sukabumi (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan menyoroti "serbuan" pekerja asal Tiongkok ke Indonesia yang tidak hanya duduk sebagai pejabat, tetapi juga sebagai buruh kasar.


"Ini jelas merugikan tenaga kerja Indonesia. Di saat rakyat sulit mencari kerja di dalam negerinya sendiri dengan banyak warga Tiongkok yang menjadi pekerja di Indonesia sudah pasti persaingan dalam mencari kerjaaan lebih sulit lagi," kata politikus Partai Gerindra asal Sukabumi ini dalam siaran persnya, Minggu.

Menurutnya, lapangan kerja di Indonesia khususnya dari sisi keahlian dan jabatan sudah mulai dikuasai oleh asing, terutama dari Tiongkok.

Walaupun kedatangan tenaga kerja asing itu akan memberi kemajuan bagi pengembangan kualitas SDM lokal, tetapi tidak harus seluruh sektor dikuasi oleh tenaga kerja asing, kedatangan tim ahli hanya untuk mengisi beberapa jabatan kosong di suatu perusahaan yang tidak bisa dilakukan oleh warga pribumi.

"Seharusnya, pemerintah peka dengan hal ini dan tidak harus membuka pintu lebar-lebar kepada warga asing, tetapi harus lebih selektif lagi," katanya.

"Ini harus segera ditindak lanjuti, jangan sampai orang asing menguasai seluruh sektor pekerjaan di dalam negeri. Selain itu, sesuai amanat UUD 1945 pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya," tambahnya.

Di sisi lain, pihaknya juga prihatin di saat banyak WNI mencari kerja di luar negeri, ternyata kesempatan kerja di dalam negeri dikuasai oleh asing khususnya dari Tiongkok. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BPNP2TKI) pada 2015 menunjukkan jumlah TKI yang mencari kerja ke luar negeri meningkat 29%.

Bahkan, tingkat pengangguran terus meningkat dari 5,7% pada 2014 menjadi 5,81% di 2015 ini pemerintah justru membuka kesempatan kerja untuk tenaga kerja asing yang menyebabkan tenaga kerja lokal menjadi sulit bersaing karena faktor keterampilan dan pendidikan.

"Kami prihatin, di negerinya sendiri TKI hanya bisa menjadi tenaga kerja di lapis paling bawah, tapi untuk para pejabatnya berasal dari luar negeri. Bahkan parahnya lagi sekarang lapisan kerja paling bawah pun mulai diakuasai oleh asing sehingga warga pribumi hanya menjadi penonton di negerinya sendiri," kata Heri.

Ia meminta pemerintah untuk segera melakukan evaluasi tentang ketenagakerjaan.

"Yang harus diperhatikan tetap kesejahteraan rakyat dan jika alasan keahlian sudah menjadi tugas pemerintah memberikan keahlian dan keterampilan," katanya. 

Editor: Ruslan Burhani