DetikLampung - Menjelang Bulan Puasa, beberapa komoditas kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Pemerintah (Cq. Kementerian Perdagangan) harus lebih aktif mencermati fluktuasi harga-harga tersebut. Jika tidak, maka bisa dipastikan inflasi akan semakin tinggi. Kondisi ini sangat memprihatinkan.
Fluktuasi beberapa harga-harga komoditas patut diduga dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal: (1) praktik kecurangan; (2) permainan harga komoditas oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan secara tidak wajar; dan (3) importasi komoditas secara ilegal.
Tiga hal itu telah telah mendistorsi pasar domestik sehingga tidak berjalan secara efisien. Informasi hasil investigasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), misalnya, menyatakan bahwa “Bawang Merah impor ilegal sudah masuk ke pasar-pasar induk di Jabodetabek.”
Modusnya dilakukan melalui kendaraan roda empat ukuran kecil agar lolos dari pengawasan Badan Pengelola Pekerja Bongkar Muat, seperti di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Tanah Tinggi, dan Cibitung. Kasus lainnya terjadi di Pasar Minggu. Berdasarkan pengakuan para pedagang, Bawang Merah bisa masuk dengan mudah dari Filipina melalui Medan, Sumatera Utara.
"Deretan kasus-kasus tersebut sudah cukup menjadi alasan bahwa pemerintah lemah dalam pengawasan dan pengusutan importasi komoditas ilegal dalam menjaga keamanan perdagangan dalam negeri yang berpotensi mendistorsi pasar domestik. Ujungnya, pasar harga-harga terus berfluktuasi yang secara nyata telah merugikan pelaku usaha lokal," ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan di Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin (1/6).
Pemerintah sepertinya tidak siap dalam merespon praktik kecurangan, permainan harga, dan importasi komoditas ilegal. Dari aspek kebijakan, Kementerian Perdagangan tidak memiliki prosedur teknis dalam rangka mengantisipasi “rembesan” komoditas ilegal di pasar-pasar tradisional. Padahal, praktik-praktik tersebut sudah berlangsung cukup lama dengan modus yang relatif sama.
Sebetulnya, jika mau jujur stabilitas dan efisiensi pasar domestik bisa terwujud jika pemerintah bekerja keras secara sinergi dan sistematis berdasarkan landasan peraturan yang kuat. Namun, UU No. 7 tentang Perdagangan yang disahkan sejak 2014—yang menugaskan Pemerintah untuk mengamankan perdagangan dari praktik-praktik tidak terpuji, belum disempurnakan dalam peraturan teknis yang berfungsi sebagai buffer yang mampu mengamankan pasar domestik dari distorsi.
"Sayangnya, sampai detik ini, Pemerintah tidak segera membuatkan perangkat teknisnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Hasilnya, proses perdagangan yang ada tidak berlangsung secara seimbang dan efisien," tutur Politisi Gerindra ini.
Lambannya sikap Pemerintah dalam menerbitkan PP bisa ditafsirkan berbeda. Dalam konteks ini, publik bisa mengartikan bahwa Pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam merumuskan kebijakan pengamanan perdagangan. Bahkan, bisa jadi ada tafsir bahwa telah terjadi pembiaran secara sengaja oleh oknum-oknum tertentu. Jika itu benar, maka sangat disayangkan karena jelas bertentangan dengan amanat UU Perdagangan.
Karena itu, saya Heri Gunawan selaku Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi Gerindra meminta dan mendorong Pemerintah untuk segera menerbitkan PP yang mengatur secara teknis ihwal pengamanan perdagangan, terutama perdagangan dalam negeri. PP tersebut harus mampu menjamin stabilitas pasar domestik dan melindungi kepentingan pelaku usaha lokal, khususnya IKM dan UKM.
"Dalam PP tersebut juga harus dimuat isu-isu yang meliputi pengaturan pasokan, masalah kelangkaan, pengaturan harga komoditas, dan sinergitas kebijakan untuk meningkatkan volume perdagangan komoditas lokal. Dengan begitu, maka peran UU No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan akan lebih konkret dalam rangka mengamankan kepentingan nasional," tambahnya. (Ryan)
0 komentar:
Posting Komentar