VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan memberikan catatan kritis terkait Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam kontrak kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (BUMN) dengan PT Grand Indonesia dan PT Cipta Karya Bumi Indonesia.
Ia menyayangkan sembrautnya manajemen PT HIN sebagai BUMN yang mestinya berkontribusi atas penerimaan negara.
"Manajemen yang buruk itu telah menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan triliunan rupiah," ujarnya, Selasa 9 Februari 2016.
Ia menambahkan, pembangunan Menara BCA dan apartemen itu diduga telah menyalahi kontrak, sebab dalam kontak awal hanya ada empat BOT.
"Pertama, hotel bintang lima seluas 42.815 m2. Kedua, pusat perbelanjaan I seluas 80.000 m2. Ketiga, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 m2, dan fasilitas parkir seluas 175.000 m2. Kasus itu adalah pelanggaran yang berkategori merugikan keuangan negara sebagaimana temuan khusus BPK sebesar Rp1,2 triliun," ucap politisi Gerindra ini.
Ia juga menuturkan, bentuk-bentuk pelanggaran yang dimaksud adalah pertama, jangka waktu kerjasama yang melebihi 30 tahun; kedua, kompensasi tahunan tidak sesuai dengan persentase pendapatan; ketiga, sertifikasi Hak Guna Bangunan (HGB) yang dijaminkan pihak penerima BOT kepada pihak ketiga untuk memperoleh pendanaan, dan keempat, PT Cipta Karya Bumi Indah yang lepas tanggung jawab setelah kontrak kerjasama ditandatangani.
"Komisi XI Meminta dan mendukung KPK untuk mengusut tuntas kerugian ekonomis atas tambahan gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen di atas objek BOT yang secara tidak jelas terdefinisi dalam perjanjian," jelasnya.
Heri mengatakan, di samping pelanggaran agreement di atas, PT HIN patut diduga tidak patuh terhadap prinsip-prinsip penanaman modal yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2007, yang terkait dengan perpanjangan kontrak, yang mana kontrak 30 tahun yang baru berjalan 3 tahun sudah diperpanjang lagi 20 tahun tanpa evaluasi sama sekali.
0 komentar:
Posting Komentar