VIVA.co.id – Harga minyak dunia masih terpuruk. Hingga hari ini, “emas hitam” itu diperdagangkan di kisaran US$40 per barel, kurang dari separuh harga tahun lalu. Dengan alasan kondisi tersebut, pemerintah berencana untuk mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar yang rencananya per 1 April 2016.
Melihat hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan berpandangan bahwa sebelum mencabut subsidi solar, pemerintah sebaiknya terbuka ke publik tentang berapa harga keekonomian solar yang sebenarnya. Jangan tiba-tiba main potong.
"Kita semua tahu, harga BBM Indonesia masih relatif tinggi dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia. Dari dulu alasan pemerintah cabut subsidi karena akan dialihkan ke program-program produktif. Tapi, hingga hari ini, kita tidak pernah mendapat laporan detil kemana dana pengalihan itu didistribusikan. Bentuknya apa, berapa, di mana, kita tidak tahu persis," ujarnya, Rabu 30 Maret 2016.
Ia menjelaskan, saat ini volume subsidi solar di APBN 2016 sebesar 16 juta kilo liter. Setiap liternya disubsidi Rp1000. Berarti dana subsidi solar itu sebesar Rp16 triliun.
"Itu dana yang besar. Karenanya, pemerintah mesti seksama melakukan kajian atas penggunaan dana sebesar itu. Pengalihan dana subsidi solar menjadi Dana Ketahanan Energi (DKE) masih tetap tidak bisa diterima. Karena sampai saat ini DKE itu sendiri skemanya masih belum jelas," ujarnya.
Ia menambahkan, pencabutan subsidi solar pastinya akan menyebabkan inflasi. Efeknya dimulai dari naiknya biaya distribusi barang dan logistik.
"Selama ini, mayoritas angkutan logistik berbahan bakar solar. Jadi, begitu subsidi dicabut, harga-harga pasti kembali terkoreksi. Kenaikan inflasi mengancam. Dampak langsung inflasi bisa signifikan. Itu tentu akan turut mengoreksi target pertumbuhan ekonomi yang semula ditarget sebesar 5,3 persen. Itu berarti, target-target dalam APBN 2016 juga menjadi terancam," kata politisi Gerindra ini.
Lebih lanjut dijelaskan Heri, kenaikan inflasi akan berujung pada menurunnya daya beli masyarakat. Jadi, pencabutan subsidi sudah pasti akan berimbas pada ekonomi riil masyarakat yang saat ini sedang lesu.
"Itu tentu berisiko pada masyarakat miskin dan rentan miskin. Lebih-lebih, saat ini, kemiskinan sudah mencapai 28,51 juta orang. Dan itu sebagian besar disumbang oleh naiknya kebutuhan pokok. Mencabut subsidi yang tidak disertai dengan perbaikan cara dan pola manajemen energi yang baik, maka itu NOL besar. Karena itu, pemerintah harus segera membenahi manajemen energi nasional secara komprehensif," katanya.
Ia juga nenuturkan, sejak lama, peneliti-peneliti kita berbusa-busa bicara tentang energi alternatif, termasuk bio-solar yang sudah berhasil dikembangkan. Tapi, anehnya, temuan-temuan itu ibarat "kembang-kembang api yang menyala-nyala di awal, lalu tiba-tiba padam."
"Jika saja, pemerintah serius mengurusnya maka kita sudah pasti lebih efisien lagi dalam hal penggunaan energi. Uang triliunan rupiah bisa dihemat untuk hal-hal yang lebih produktif," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar