Statistik Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia yang dirilis Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan RI, menunjukkan posisi ULN Indonesia kepada Cina meroket 59 persen. Menariknya, dari 5 kreditor besar Indonesia, hanya utang ke Cina saja yang mengalami kenaikan hanya dalam waktu setahun.
Terkait hal tersebut Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Heri Gunawan memberikan tanggapan, bahwa dirinya sangat prihatin.
“Sudah kesekian kali kita mengingatkan pemerintah untuk tidak jor-joran menumpuk utang. Tapi, sepertinya pemerintah punya cara pikir yang berbeda. Kita tidak tahu persis apa yang ada dalam isi kepala pemerintah sekarang ini,”ujar Heri.
Apakah ini kebijakan ekspansi, ataukah kebijakan dari para pemburu rente, sementara kebijakan di dalam negeri dibuat kontraksi, kata Heri.
Naiknya ULN kepada Cina hingga 59 persen membenarkan dugaan bahwa pemerintah sekarang sungguh-sungguh memosisikan dirinya sebagai “pelayanan yang baik” bagi negeri tirai bambu itu. Pertanyaannya, “mengapa?” Tidak ada penjelasan yang detil. Pemerintah terkesan menutup-nutupi.
Menurut Heri banyak kasus ULN kepada Cina yang misterius seperti pinjaman kepada 3 Bank BUMN (Mandiri, BRI, BNI), dll. Hingga hari ini tidak ada penjelasan yang memuaskan dari pemerintah.
“Saya khawatir, dengan tidak adanya penjelasan yang komprehensif, pas kita bangun besok pagi, semakin menegaskan negara ini sudah tergadai,”kata Heri.
Dengan posisi seperti itu, ujar Heri, negara ini sedang dihadapkan dengan naiknya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Sekarang saja sudah di atas 30 persen. Sementara itu, posisi debt service ratio (DSR) terus meningkat di atas 50 persen. Artinya, beban utang bangsa ini semakin besar dan berat. Lebih dari setengah pendapatan ekspor hanya habis untuk membayar utang ke asing, kata Heri.
Heri mengatakan, beban yang harus dibayar itu akan terasa lebih berat lagi di tengah buruknya kinerja ekspor nasional. Kita semua tahu, penerimaan ekspor Indonesia, baik migas maupun nonmigas, semakin menurun. Data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2015 menunjukkan bahwa neraca perdagangan migas tercatat defisit sebesar USD1,2 miliar, lebih rendah 55,2 persen (qtq), sedangkan neraca perdagangan nonmigas hanya surplus sebesar USD4,3 miliar atau lebih rendah dari surplus triwulan sebelumnya sebesar USD5,2 miliar.
Kondisi itu seharusnya menjadi “alarm” bagi pemerintah. Peringatan keras yang bisa membuka mata dan hati pemerintah untuk tidak terus-menerus mencari “jalan pintas” dengan berhutang, ujar Heri.
“Kabinet yang gembar-gembor dengan slogan “Kerja.. Kerja… Kerja…” ditugaskan bukan untuk menggadaikan negeri ini kepada asing,”kata Heri.
0 komentar:
Posting Komentar