Jakarta (dpr.go.id) - Pendapatan negara dalam APBN 2016 yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun dari pajak, diperkirakan akan terjadi shortfall atau kekurangan pendapatan negara sebesar Rp300 triliun. Nilai yang sangat fantastis ini akan mengakibatkan defisit APBN 2016 bisa mencapai Rp480 triliun.
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan memaparkan hal tersebut usai mengikuti Rapat Paripurna DPR, Senin (27/6). Pandangan ini sekaligus juga merupakan padangan Fraksi Partai Gerindra dalam menyikapi RUU Pengampunan Pajak. Defisit itu mencapai 3,7 persen dari PDB. “Di tengah kondisi objektif yang sangat memprihatinkan tersebut, kita diberikan RUU Tax Amnesty dan Naskah Akademik oleh pemerintah sebagai solusi untuk mengatasi perkiraan shortfalls pendapatan negara tahun 2016 yang kami perkirakan sebesar Rp300 triliun.”
Diungkapkan Heri, realisasi penerimaan negara dalam lima bulan pertama 2016 ternyata lebih rendah daripada periode yang sama tahun lalu, baik PNBP maupun penerimaan perpajakan. Ini tak mampu diatasi dengan pengampunan pajak. Bila jadi disahkan, berarti program pengampunan pajak ini yang ketiga kali diterapkan di Indonesia. Negara-negara lain juga menerapkan program yang sama untuk menutupi kekurangan penerimaan.
“Secara empiris, umumnya tingkat keberhasilan pelaksanaan program tax amnesty sangat minim. Semua negara yang menjalankan program tax amnesty dapat dikatakan mempunyai alasan yang sama, yaitu pertama, membutuhkan dana untuk menutupi shortfalls atau kekurangan pendapatan. Kedua, membutuhkan repatriasi modal untuk memperkuat cadangan devisa. Dan ketiga, membutuhkan modal untuk menambah tabungan nasional,” ungkap Heri.
Dijelaskan Heri, sikap masyarakat dan para akademisi terhadap program pengampunan pajak terbagi dua kelompok. Kelompok pertama, berpendapat jika pengampunan pajak diundangkan, maka terjadi ketidakadilan bagi masyarakat khususnya bagi para wajib pajak yang selama ini patuh membayar pajak. Kelompok kedua, setuju pengampunan pajak diundangkan dengan alasan negara sedang butuh dana untuk pembangunan nasional. “Jika kedua pendapat tersebut merupakan tesa dan antitesa, maka Fraksi Gerindra merasa perlu untuk mengajukan sintesa.”
Saat ini, sambung Heri lagi, negara sedang menghadapi krisis pendapatan negara. Bila tak ada krisis, dapat dipastikan Fraksi Partai Gerindra menolak RUU Pengampunan Pajak menjadi UU. Karena dalam keadaan krisis pendapatan, maka fraksinya, kata Heri, menyatakan setuju dengan berbagai catatan kritis. Pertama, pemerintah harus membuktikan dengan kerja keras mengejar tambahan penerimaan negara sebesar Rp165 triliun. Fraksi Gerindra memprediksi keberhasilannya hanya Rp30 triliun saja.
Kedua, setetelah RUU Pengampunan Pajak diundangkan, Fraksi Partai Gerindra meminta pemerintah mengadakan reformasi pajak, sehingga dalam 3 tahun mendatang (2019) tax ratio Indonesia dapat mencapai minimal 16 persen dari PDB. Ketiga, bila RUU Pengampunan Pajak disahkan, diharapkan ini kebijakan yang terakhir kali bagi bangsa kita dan kelak tak ada lagi program pengampunan pajak.
Catatan kritis keempat, Fraksi Partai Gerindra meminta Pemerintah bekerja keras dan mengambil segala tindakan yang dipandang perlu untuk melakukan repatriasi modal yang diperkirakan berjumlah Rp11.000 triliun berada di luar negeri. Dan terakhir, mendesak pemerintah bekerja keras dan mengambil segala tindakan yang dipandang perlu dalam menambah jumlah wajib pajak dan meningkatkan jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT bulanan atau setiap tahun. (mh) foto: arief/mr.
0 komentar:
Posting Komentar